DIALEKSIS.COM | Opini - Baru-baru ini dunia pendidikan di Indonesia dihebohkan oleh kasus mahasiswa bunuh diri akibat perundungan (bullying) oleh sejumlah mahasiswa yang diduga merupakan teman satu angkatannya. Kasus ini terjadi di sebuah kampus ternama di Bali, Indonesia, yaitu Universitas Udayana (Unud).
Seorang mahasiswa yang menjadi korban TAS (22) dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), yang tewas setelah melakukan bunuh diri dengan melompat dari lantai dua gedung FISIP. Tak sampai disitu setelah mendengar kabar bahwa TAS tewas akibat bunuh diri, teman-teman satu angkatannya kerap masih melakukan perundungan dalam bentuk verbal melaui chat whatsapp group dengan melontarkan ejekan dan olokan kepada korban.
Selayaknya mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di kampus, kasus tersebut sangat menunjukan tidak adanya hati nurani dan rasa empati terhadap korban.
Kampus hanyalah sebagai miniatur dalam mencari pengetahuan dan pengalaman. Namun di lingkungan kampus saja para pelaku berperilaku dan bersikap yang tak pantas dan tak etis.
Lantas bagaimana jika para pelaku perundungan ini dilepas begitu saja tanpa ada sanksi yang tegas dan membuatnya jera, bagaimana kondisinya ketika mereka masuk ke ruang-ruang sosial dan masyarakat, apakah agen-agen perubahan yang seperti ini yang diharapkan? Akan sangat fatal jika para pelaku diberikan keringanan bahkan dibiarkan begitu saja.
Kampus harus menjadi penengah dalam kasus ini, bagaimana kompensasi yang kampus berikan terhadap korban dan keluarga yang telah dirugikan sebagai korban perundungan, bagaimana kampus bertindak tegas dengan memberikan sanksi yang adil terhadap para pelaku bullying, dan bagaimana kampus menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif, nyaman serta aman bagi para mahasiswanya.
Kabarnya bahwa sebagian mahasiswa yang menjadi pelaku sudah mendapatkan sanksi, baik dari kampus dan juga organisasi mahasiswa, yaitu berupa pengurangan nilai softskill selama satu semester dan pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan pada organisasi mahasiswa di kampus.
Menurut penulis, sanksi tersebut masihlah ringan, belum bisa dikatakan adil karena tidak setimpalnya antara kerugian bagi korban dan sanksi bagi pelaku. Apalagi perundungan ini menyebabkan satu nyawa hilang sia-sia.
Pemerintah sendiri melalui Kemendiktisaintek telah menyediakan payung hukum berupa Permendikbud Nomor 55 Tahun 2024 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Pada Pasal 75 tercantum dengan jelas sanksi bagi mahasiswa pelaku kekerasan, mulai dari tingat ringan hingga berat.
Harapannya dari kejadian tersebut bisa menjadi pelajaran bagi pihak kampus, mahasiswa dan civitas akademika agar lebih memperhatikan dan menciptakan lingkungan yang sehat sehingga kedepannya tidak ada lagi praktik-praktik perundungan di kampus.
Kini, implementasi yang tegas dan konsisten menjadi kunci, sehingga kasus perundungan mahasiswa seperti yang dialami TAS tidak akan terulang lagi, dan setiap kampus dapat menjamin keamanan mahasiswanya.
Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya kepada TAS dan keluarga yang ditinggalkan, turut berduka cita untuk Pendidikan Indonesia. [**]
Penulis: Al Muzzammil Yusuf (Mahasiswa International Islamic Economic Program, Universitas Syiah Kuala)