Beranda / Opini / Implementasi Syariat Islam di Aceh: Antara Kemakmuran dan Tantangan

Implementasi Syariat Islam di Aceh: Antara Kemakmuran dan Tantangan

Minggu, 29 September 2024 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Teuku Alfin Aulia

 Teuku Alfin Aulia, Founder Halaqah Aneuk Bangsa, Penerima Beasiswa PBNU Al Azhar Mesir. Foto: dok pribadi


DIALEKSIS.COM | Opini - Aceh, sebagai wilayah yang dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", memiliki sejarah panjang dalam penerapan syariat Islam. Sejak masa kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-17, syariat Islam telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Aceh. Namun, dalam perkembangannya, implementasi syariat Islam di Aceh di era modern telah menimbulkan perdebatan dan tantangan tersendiri, terutama dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi dan sosial. Beberapa kelompok dan golongan menganggap syariat islam sebagai salah satu faktor yang menghambat Aceh kembali makmur. Lalu benarkah hal ini?

Kemakmuran Aceh di Masa Lalu

Pada masa kejayaannya di abad ke-17 dan 18, Aceh pernah mencapai tingkat kemakmuran yang luar biasa. Hal ini tidak terlepas dari penerapan syariat Islam yang baik dan adil oleh para sultan Aceh saat itu. Aceh menjadi salah satu episentrum peradaban dunia di Selat Malaka, dengan penguasaan atas perdagangan lada yang mencapai separuh pasar Eropa. Kerangka ekonomi yang digerakkan secara massif dan terkoordinir dengan baik, didukung oleh sistem hukum yang berlandaskan syariat Islam, menjadikan Aceh sebagai pusat kekuatan ekonomi di kawasan Asia Tenggara.

Periode kejayaan Aceh ini mengalami pasang surut, hingga pada akhir abad ke-19, Belanda memproklamirkan Perang terhadap Aceh, yang memberikan dampak buruk bagi kondisi sosial-ekonomi masyarakat Aceh. Embargo ekonomi yang diterapkan oleh Belanda membuat kekuatan ekonomi Aceh dan perdagangan lada dunia ikut remuk. Masyarakat Aceh turut menyambut proklamasi perang tersebut, dengan mengobarkan perang semesta yang membuat perang ini terus berlangsung, hingga menggugurkan korban mencapai 1.000.000 jiwa (menurut Hassan Tiro). Secara lebih luas Masyarakat Aceh lebih memfokuskan perhatiannya pada jihad melawan Belanda dengan perang total yang secara tidak langsung cukup berdampak bagi peradaban dan kondisi sosial Masyarakat Aceh.

Pasca Kemerdekaan Indonesia, Aceh sempat kembali memiliki kekuatan ekonomi yang baik di awal-awal kemerdekaan. Para pengusaha dan Masyarakat Aceh kala itu dengan ketangguhan ekonominya, dapat memodali berbagai kebutuhan yang dibutuhkan negara Indonesia yang baru saja diproklamirkan. Namun, kebijakan pemerintah pusat yang kemudian memusatkan kegiatan ekspor-impor di Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara, berlanjut dengan konflik bersenjata yang berkepanjangan sesudahnya, akhirnya kembali memperlambat pembangunan Aceh.

Penerapan Syariat Islam di Era Modern

Dipenghujung abad ke-20, ditengah rangkaian konflik bersenjata yang semakin meletus di Aceh setelah penerapan DOM, membuat pemerintah mengeluarkan inisiatif hukum guna meredakan konflik, dengan mengizinkan penerapan syariat Islam di Aceh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. Penerapan syariat secara lebih menyeluruh kembali mendapat momentum dengan ditandatanganinya perjanjian damai antara GAM & RI ditahun 2005, yang ditransmisikan didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Melalui undang-undang ini, Aceh diberikan kewenangan untuk menerapkan syariat Islam sebagai landasan hukum dan pembangunan di wilayahnya.

Penerapan syariat Islam di Aceh, terutama melalui Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, menuai berbagai reaksi dari berbagai pihak, terutama dari komunitas HAM internasional. Mereka menyatakan kekhawatiran atas penerapan hukum cambuk dan kriminalisasi hubungan seksual di luar nikah.

Di sisi lain, beberapa kalangan masyarakat Aceh meyakini bahwa penerapan syariat Islam merupakan hak mereka sebagai bagian dari kebebasan beragama. Hamdani, seorang pakar hukum dari Universitas Malikussaleh, berpendapat bahwa rakyat Aceh memiliki hak untuk menerapkan hukum Islam sebagai bagian dari kebebasan beragama, dan perda penerapan syariat di Aceh sah secara hukum karena undang-undang Indonesia mengizinkannya.

Dampak Penerapan Syariat Islam terhadap Ekonomi dan Sosial

Meskipun penerapan syariat Islam di Aceh memiliki landasan hukum yang kuat, dampaknya terhadap perkembangan ekonomi dan sosial di Aceh masih menjadi perdebatan. Beberapa isu yang sering dikaitkan dengan implementasi syariat Islam di Aceh antara lain:

1. Lesunya Investasi di Aceh

Fenomena lesunya investasi di Aceh selama beberapa dekade dinilai oleh sebagian pihak terjadi karena regulasi syariat Islam yang ketat. Hal ini membuat beberapa investor asing merasa khawatir dan enggan menanamkan modalnya di Aceh. Gubernur Aceh pada tahun 2018 bahkan menyatakan hukuman cambuk bagi pelanggar syariat Islam tidak boleh lagi dilakukan di tempat umum, sebagai upaya untuk menarik kembali minat investasi.

2. Pertumbuhan Ekonomi yang Lambat

Pertumbuhan ekonomi Aceh dalam sepuluh tahun terakhir tercatat sebagai yang terendah di Sumatera, dengan rata-rata hanya 2,66 persen. Ekonomi Aceh masih sangat bergantung pada sektor primer, seperti pertanian dan pertambangan, dengan minimnya sektor industri pengolahan. Sebagian pihak menganggap kebijakan Lembaga Keuangan Syariah di Aceh yang mewajibkan penerapan sistem syariah sebagai salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan ekonomi.

3. Pertumbuhan Pariwisata yang Rendah

Aceh, sebagai wilayah yang menerapkan syariat Islam, dianggap oleh sebagian pihak kurang menarik bagi wisatawan, terutama wisatawan asing. Beberapa item yang harus dikembangkan dalam pariwisata, seperti hiburan malam, dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Akibatnya, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Aceh masih jauh tertinggal dibandingkan daerah lain di Indonesia.

Menepis narasi yang dikembangkan selama ini terkait syariat islam dan tantangan investasi, Wali Nanggroe Aceh, PYM Malik Mahmud Al-haytar didalam sebuah kesempatan pernah menyebut bahwa setidaknya ada tiga hal yang membuat investasi di Aceh masih terus mandek sampai saat ini yakni regulasi, infrastruktur serta sumber daya manusia.

Bank dunia, melalui laman BBC yang terbit pada tahun 2015 silam, pernah menyebutkan bahwa setidaknya ada dua besar faktor yang sebenarnya menjadi penghambat investasi di Aceh yaitu ketersediaan infrastruktur dan korupsi. Infrastruktur di Aceh belum terlalu memadai baik serta masih sangat tertinggal jauh, bahkan Aceh berada diposisi keenam sebagai salah satu provinsi dengan jalan rusak terpanjang di indonesia. 

Transportasi yang mendukung iklim investasi dan penguatan ekonomi di aceh pun sangat belum memadai. Hal ini dinilai patut disayangkan karena Aceh sebagai provinsi otonom juga mendapatkan suntikan dana Otsus dari Pemerintah Pusat setiap tahunnya. 

Faktor korupsi juga turut memperhambat berkembangnya kepercayaan investor, hal ini patut disayangkan terjadi di Aceh, sebagai wilayah yang menerapkan nilai-nilai agama tidak sepantasnya praktek korupsi dapat berkembang merajalela, padahal aturan syariat islam sendiri begitu memberi hukuman yang tegas terhadap prilaku ini, namun disisi lainnya pemerintah selaku pemangku kebijakan juga tak kunjung meregulasikan aturan tersebut didalam menjamin bersihnya pemerintahan yang turut menjamin sehatnya Iklim Investasi diwilayah ini.

Dari segi pertumbuhan ekonomi yang lambat, menurut kepala BI Banda Aceh, hal ini dapat terjadi kerena hasil produksi Aceh yang saat ini umumnya berasal dari hasil pertanian dan pertambangan. Belum dapat diolah diaceh, sehingga harus dijual dalam bentuk mentah dan tidak memberikan dampak atau nilai tambah ekonomi pada sektor lainnya.

Sektor pariwisata yang masih tertinggal jauh dari daerah lainnya. menurut penulis dapat terjadi karena kurangnya perhatian Pemerintah Aceh selama ini terhadap sektor pariwisata terutama pada sektor pariwisata halal. Berdasarkan laporan yang berjudul Global Muslim Travel Index (GMTI) 2023, kunjungan wisatawan muslim mencapai 110 juta pada 2022. Jumlah tersebut melonjak hingga 323,1% jika dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 26 juta kunjungan. Aceh ditahun 2022 justru diperkirakan hanya kedatangan sekitar 1,2 juta turis mancanegara yang didalamnya telah masuk kategori muslim maupun nonmuslim.

Selain itu posisi Aceh yang bukan sebagai daerah transit internasional merupakan salah satu penyebab utama lemahnya pariwisata diaceh. Aceh sebagai salah satu daerah yang memiliki potensi pariwisata yang cukup tinggi harus segera berbenah. Dalam hal ini, pemeritah Aceh harus mengerahkan segala upayanya guna meningkatkan sektor pariwisata, terutama pariwisata muslim atau halal tourism di Aceh yang selama ini masih kurang diperhatikan.

Menepis narasi-narasi yang menabrakkan antara penerapan syariat islam dan perkembangan Aceh. Faktor-faktor lain, sebagaimana yang telah disebutkan diatas, seperti kurangnya infrastruktur, tingginya kasus korupsi, dan minimnya perhatian pemerintah selama inilah yang pada dasarnya menjadi alasan utama mandeknya perkembangan Aceh dewasa ini.

Prospek Kemakmuran Aceh di Masa Depan

Sebagai daerah otonom, Aceh memiliki peluang besar untuk kembali mencapai kemakmuran, seperti yang pernah diraih di masa lalu. Dengan kekayaan alam yang melimpah, serta regulasi hukum yang berlandaskan syariat Islam, Aceh sebenarnya memiliki modal yang cukup kuat untuk membangun kemandirian ekonomi dan sosial.

Beberapa negara Islam lain, seperti Arab Saudi dan Iran, telah membuktikan bahwa penerapan syariat Islam tidak harus menghambat pembangunan ekonomi. Bahkan, beberapa negara tersebut kini menjadi pusat ekonomi dan keuangan syariah global.

Pemerintah Aceh, sebagai pemangku kebijakan, harus mampu merumuskan regulasi yang tepat dan sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa mengesampingkan nilai-nilai syariat Islam. Selain itu perlu dilakukannya penyeimbangan antara aturan syariat, perlindungan HAM, dan kebutuhan pembangunan ekonomi dan sosial lainnya.

Penegakan Syariat Islam sejatinya, tak hanya terbatas pada penerapan hukum hudud dan jinayat saja. Syariat Islam pada dasarnya juga menekankan pentingnya penerapan nilai-nilai tranparansi, keadilan, akuntabilitas, serta jaminan pelayanan yang memudahkan Masyarakat. Nilai-nilai ini nyaris seringkali ditinggalkan oleh para pemangku kebijakan di Aceh selama ini.

Penerapan syariat islam seharusnya juga tak dilakukan setengah-setangah maupun sesuka hati. Perlu adanya penerapan syariat islam secara kaffah dan lebih menyeluruh demi terjaganya stabilitas di Aceh kedepannya.

Pemerintah Aceh juga harus lebih proaktif dalam mengedukasi masyarakat, baik internal maupun eksternal, terkait penerapan syariat Islam di Aceh. Pemahaman yang baik dan terbuka akan membantu menghilangkan stigma negatif yang selama ini melekat pada implementasi syariat Islam di Aceh.

Dengan mengedepankan pendekatan yang seimbang dan komprehensif, Aceh memiliki potensi besar untuk kembali menjadi episentrum peradaban dan ekonomi di Asia Tenggara, sebagaimana masa kejayaannya di masa lalu. Penerapan syariat Islam yang diimplementasikan dengan baik dan bijaksana diharapkan dapat menjadi landasan bagi tercapainya kemakmuran yang berkelanjutan bagi masyarakat Aceh.

Penulis: Teuku Alfin Aulia, Founder Halaqah Aneuk Bangsa, Penerima Beasiswa PBNU Al Azhar Mesir.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda