Beranda / Opini / Ideologi Partai Aceh, Pilkada 2024 dan Harmonisasi Hubungan Aceh-Pusat

Ideologi Partai Aceh, Pilkada 2024 dan Harmonisasi Hubungan Aceh-Pusat

Minggu, 28 Juli 2024 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Jabal Ali Husin Sab

Penulis: Jabal Ali Husin Sab (analis politik di lembaga kajian Saman Strategic Indonesia)


DIALEKSIS.COM | Opini - Pilkada Aceh yang dilaksanakan pertama kali pasca penandatanganan MoU Helsinki ditandatangani pada tahun 2007 dimenangkan oleh Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Pasangan ini mendapatkan dukungan dari eks Kombatan GAM lapangan ataupun para pasukan Angkatan Gerakan Aceh Merdeka. Sementara pesaing terberatnya, pasangan Ahmad Humam Hamid dan Hasbi Abdullah didukung oleh para tokoh petinggi GAM di luar negeri.

Eskalasi ketegangan politik yang melibatkan kekerasan berlangsung cukup mengkhawatirkan semenjak Pilkada langsung digelar pada tahun 2007 dan Pilkada berikutnya yang berlangsung di tahun 2012 dan 2017. Pasca pecahnya Partai Aceh sebagai partai lokal yang menjadi representasi partai mantan kombatan dengan dibentuknya Partai Nasional Aceh oleh Irwandi Yusuf yang juga diisi oleh mantan kombatan, ketegangan dan rivalitas antara kubu Partai Aceh yang dimotori oleh Muzakir Manaf atau Mualem dengan PNA yang dipimpin oleh Irwandi Yusuf, menjadi penyebab merebaknya ketegangan dan kekerasan yang terjadi di Pilkada di tahun 2012 dan 2017.

Namun apabila kita coba memproyeksikan potensi ketegangan politik yang melibatkan kekerasan fisik di Pilkada tahun 2024 kali ini, dapat dipastikan bahwa potensi tersebut makin lama makin minim.

Faktor yang memastikan potensi kekerasan di Pilkada semakin berkurang disebabkan oleh situasi dan kondisi keamanan daerah yang hari ini makin kondusif, penegakan hukum dan kesiapan aparat penegak hukum yang cukup sigap untuk melakukan upaya penertiban dan pengamanan, serta tokoh-tokoh GAM yang dulunya berpotensi menjadi aktor penggerak dalam eskalasi kekerasan, hari ini telah ter-deradikalisasi dalam situasi dan kondisi Aceh yang terbilang kondusif.

Deradikalisasi mantan kombatan GAM atau dengan kata lain, mantan kombatan GAM telah terintegrasi dengan baik ke dalam struktur masyarakat. Dimana mantan kombatan GAM telah menjadi seperti anggota masyarakat biasa yang kini memiliki profesi dan pekerjaan masing-masing. Faktor usia mantan kombatan GAM yang rata-rata telah mencapai usia 50 ’an tahun juga menjadi alasan bahwa tokoh-tokoh ini akan semakin kecil potensinya untuk memicu eskalasi kekerasan di Aceh.

Perihal Ideologi Partai Aceh

Partai Aceh yang menjadi representasi politik mantan kombatan GAM, sejak di awal berdirinya partai ini, ideologi, visi dan misi partainya berfokus pada perjuangan mewujudkan implementasi penuh butir-butir perjanjian MoU Helsinki yang dalam aturan hukum kenegaraan Indonesia diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Sering berjalannya waktu sejak perjanjian ini disepakati, pada kenyataannya, butir-butir perjanjian tersebut yang diterjemahkan ke dalam UUPA, undang-undang ini belum bisa terealisasi sepenuhnya. Banyak kendala yang dihadapi di pusat untuk bisa mewujudkan impelementasi penuh UUPA yang dinilai memiliki kedudukan hukum “lex spesialis”.

Pada kenyataannya, masih terjadi tumpang-tindih antara UUPA dengan undang-undang lainnya, juga belum diterbitkannya peraturan pemerintah lain, atau turunan aturan hukum lain, agar UUPA dapat terimplementasi secara penuh. Akibatnya tersebar opini dan anggapan yang menganggap bahwa pemerintah pusat tidak punya itikad baik atau bekerja setengah hati untuk memberikan kewenangan penuh kepada Aceh sebagai daerah otonomi khusus. Dalam hal ini, Partai Aceh turut menyampaikan tanggapan keras terhadap pemerintah pusat terkait implementasi UUPA dan kewenangan penuh Aceh yang tak kunjung diwujudkan oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, Partai Aceh seolah curiga terhadap pemerintah pusat dan kerap menyampaikan komentarnya terkait hal tersebut.

Namun di beberapa tahun terkahir, Partai Aceh terkesan mengubah pola komunikasinya dengan pemerintah pusat. Partai Aceh kemungkinan sadar bahwa untuk mewujudkan implementasi penuh UUPA, perlu membangun hubungan yang harmonis dan melakukan diplomasi yang strategis dengan pemerintah pusat. Mungkin petinggi Partai Aceh sadar bahwa mereka perlu mengubah pola diplomasi dan komunikasi agar tidak dilihat sebagai ancaman oleh pemerintah pusat dan agar perjuangan politik PA mewujudkan implementasi UUPA dapat terlaksana.

Hubungan Aceh-Pusat

Salah satu tokoh politik yang mampu meredakan ketegangan antara Partai Aceh dan pemerintah pusat adalah presiden terpilih Prabowo Subianto yang dikenal punya hubungan baik dengan Muzakir Manaf. Prabowo melalui partainya Gerindra pernah mengangkat Muzakir Manaf menjadi Ketua Dewan Penasehat DPD Gerindra Aceh yang berarti menjadikan Partai Aceh sebagai koalisi politik Gerindra di Aceh.

Langkah Prabowo tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat mantan kombatan GAM merasa memiliki “teman” atau “sekutu” di Jakarta. Dengan posisi politik PA yang turut mendukung Prabowo dalam Pilpres dan terpilihnya Prabowo sebagai presiden di Pilpres 2024, membuat Partai Aceh dan eks Kombatan lebih kooperatif terhadap pemerintah pusat dan merasa bahwa aspirasi politik mereka akan didengar dan tersampaikan di pusat. Hal ini juga menjadi faktor mengapa Pilkada 2024 akan lebih minim potensi konflik dan kekerasan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dengan terpilihnya Prabowo sebagai presiden, hubungan Partai Aceh dan eks Kombatan dengan pemerintah pusat dapat dipastikan akan lebih harmonis.

Petinggi Partai Aceh, struktur mantan kombatan serta simpatisan Partai Aceh memiliki harapan dan optimisme kepada Prabowo Subianto selaku aliansi politiknya untuk dapat merealisasikan cita-cita perjuangan Partai Aceh dalam memperjuangkan implementasi penuh MoU Helsinki melalui pelaksanaan kekhususan Aceh yang tertuang di UUPA. Sinyal pusat untuk memperpanjang dana Otsus juga terlihat jelas dari isyarat yang diberikan Prabowo, juga pernyataan Ketua Partai Demokrat AHY, anak Mantan Presiden SBY, koalisi politik Prabowo yang memiliki hubungan historis dengan Aceh.

Melalui pertaruhan di Pilkada 2024, Muzakir Manaf dan Partai Aceh akan berupaya untuk menang dan mewujudkan implementasi UUPA sebagai bentuk kekhususan Aceh yang menjadi basis perjuangan ideologis mereka. Perjuangan ideologis Partai Aceh di tahun 2024 ini tampaknya akan lebih berpotensi diakomodir oleh pusat, khususnya oleh presiden terpilih Prabowo yang menganggap Muzakir Manaf dan Partai Aceh sebagai rekan dan mitra strategis di daerah yang kepentingannya penting untuk diakomodir. Komitmen Koalisi Indonesia Maju sepertinya akan memudahkan harapan perjuangan Mualem dan Partai Aceh untuk dapat terwujud.

Penulis: Jabal Ali Husin Sab (analis politik di lembaga kajian Saman Strategic Indonesia)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda