Hukum dan Data: Kunci Sukses Kredit Usaha di China dan Dubai
Font: Ukuran: - +
Penulis : Zamzami Mohammad

Penulis: Zamzami Mohammad, Pemerhati Sosial Ekonomi. Foto: doc Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Opini - Di China, sistem perbankan telah mengintegrasikan data usaha secara menyeluruh untuk memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha. Mekanisme ini tidak hanya menjamin transparansi, tetapi juga mengoptimalkan penyaluran kredit sesuai dengan kinerja dan integritas usaha. Sistem tersebut dapat dijadikan studi kasus dalam penerapan teori informasi asimetris dan prinsip transparansi di tengah ekonomi modern.
Setiap usaha yang terdaftar sebagai nasabah bank di China secara otomatis terekam dalam sistem. Jika omzet usaha melebihi batas tertentu yang tercermin dari mutasi saldo bank - bank, yang berperan sebagai perpanjangan tangan negara, akan mengajak pemilik usaha untuk mengajukan kredit. Langkah ini didasarkan pada undang-undang yang mewajibkan bank memberikan kredit guna mendukung pengembangan usaha. Dengan demikian, pemilik usaha tidak perlu khawatir soal akses pembiayaan karena sistem telah mengatur mekanisme kredit secara otomatis.
Pendekatan tersebut juga mengatasi masalah informasi asimetris. Misalnya, seorang pengrajin tempe dapat dengan cepat diketahui credit rating-nya melalui data mutasi bank dan laporan distributor. Jika tercatat pernah gagal bayar, permohonan kredit akan segera ditolak. Sebaliknya, apabila data menunjukkan kinerja yang baik, pencairan kredit dapat dilakukan dalam hitungan hari, umumnya tidak lebih dari tujuh hari. Pendekatan ini sejalan dengan teori keagenan, di mana pengawasan intensif membantu meminimalkan moral hazard serta meningkatkan akuntabilitas.
Setelah pencairan kredit yang berlangsung maksimal dalam satu bulan—petugas bank tidak sekadar menyelesaikan transaksi finansial. Mereka secara proaktif menghubungi pemilik usaha untuk memberikan pendampingan. Pendekatan ini bukan untuk mengambil fee, melainkan untuk membina dan memantau perkembangan usaha. Fasilitas bunga dari negara disesuaikan dengan kemajuan usaha, yang diukur melalui outcome seperti penyerapan tenaga kerja, pembayaran pajak, dan rekam mutasi saldo bank. Semakin baik kinerja usaha, semakin besar pula subsidi bunga yang diterima, sehingga mendorong perkembangan usaha secara sehat.
Digitalisasi juga merambah ke sektor perizinan. Sejak penerapan e-government pada tahun 2000, perizinan pabrik di China diajukan secara online dengan sertifikat digital. Proses verifikasi dilakukan secara langsung oleh petugas pemerintah yang menanyakan kebutuhan tenaga kerja dan ketersediaan keterampilan. Bila ternyata keterampilan yang tersedia belum mencukupi, usaha dapat memperoleh kompensasi berupa pengurangan pajak guna menutupi biaya pelatihan. Sistem ini memastikan bahwa izin usaha tidak dijadikan ajang pungutan liar, melainkan sebagai instrumen untuk meningkatkan efisiensi produksi.
Selain itu, sejak 2007 China telah memiliki database rantai pasokan online yang memungkinkan usaha terdaftar mengakses informasi pemasok secara langsung. Kebijakan ini menghilangkan peran broker yang tidak transparan, sehingga hanya produsen atau pemasok yang memenuhi kualifikasi yang dapat bertransaksi. Peraturan ketat dalam Undang-Undang Pajak dan Persaingan Usaha juga menolak praktik nepotisme, mendorong kompetisi sehat, serta menguntungkan pelaku usaha yang benar-benar berkomitmen.
Sebagai perbandingan, Dubai meskipun tidak memiliki sumber daya alam seperti minyak atau lahan subur—telah berhasil membangun reputasinya sebagai pusat keuangan dan pengelolaan family office kelas dunia. Kepastian hukum dan transparansi yang terjaga menjadi magnet bagi investor global. Kepercayaan inilah yang memungkinkan Dubai mengungguli negara-negara penghasil minyak seperti Nigeria dan Venezuela dalam hal pusat bisnis jasa dan keuangan.
Tidak ada sistem yang sempurna, mengingat keterbatasan manusia. Namun, penerapan hukum yang konsisten dan pengawasan berbasis data memungkinkan terciptanya lingkungan usaha yang adil dan transparan. Kepastian hukum tidak hanya bergantung pada ketebalan perangkat hukum seperti KUHP, melainkan juga lahir dari karakter pemimpin nasional yang kuat dan anti korupsi. Inilah fondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kisah dari China dan Dubai menegaskan bahwa keunggulan dalam sistem ekonomi modern bukan semata-mata ditentukan oleh kekayaan sumber daya alam, melainkan oleh kemampuan pemerintah menciptakan lingkungan usaha yang adil, transparan, dan mendukung inovasi. Dengan sistem yang berlandaskan pada kepastian hukum dan integritas data, kompetisi sehat dapat terwujud, membuka peluang bagi pelaku usaha untuk berkembang sekaligus menekan praktik kecurangan melalui penerapan sanksi hukum yang tegas.
Pendekatan semacam ini menyiratkan bahwa keberhasilan suatu sistem ekonomi modern sangat bergantung pada integritas data dan konsistensi penerapan hukum. Kepastian hukum, sebagai fondasi dari kepercayaan masyarakat dan pelaku usaha, membuka ruang bagi peluang dan inovasi sebuah pelajaran berharga yang patut dicermati oleh negara-negara lain dalam upaya mengoptimalkan perekonomian mereka.
Penulis: Zamzami Mohammad, Pemerhati Sosial Ekonomi
Berita Populer

.jpg)