Beranda / Opini / Heuristik Problematika Ketahanan Pangan dan Komoditas Politik

Heuristik Problematika Ketahanan Pangan dan Komoditas Politik

Selasa, 26 November 2024 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Muhammad Yuzan Wardhana

Muhammad Yuzan Wardhana, S.P., M.E.P (Dosen Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala). Foto: Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Opini - Politik beras merupakan kebijakan dan strategi yang berkaitan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi beras. Topik ini sering kali dikaitkan dengan kebijakan subsidi, ekspor-impor, keamanan pangan, serta pembangunan pertanian. Dalam konteks kenegaraan, politik beras dapat menjadi elemen penting dalam agenda politik.

Kebijakan pemerintah terkait beras mencakup keberpihakan terhadap petani, pengelolaan logistik, penentuan harga, subsidi, dan insentif lainnya untuk mendorong produksi, mewujudkan distribusi yang efisien, dan mengantisipasi dampak inflasi.

Di sisi lain, negara-negara pengimpor beras memiliki kebijakan berbeda, seperti menjaga stabilitas harga dan pasokan, mengatasi ketahanan pangan, serta melindungi konsumen dari ancaman kelaparan hingga gizi buruk. Dengan demikian, politik beras tidak hanya mencakup kebutuhan nasional tetapi juga strategi internasional.

Beras, sebagai makanan pokok dan komoditas utama, memiliki dampak politik yang signifikan secara global. Peran vitalnya mencakup ketahanan pangan, pembangunan sektor pertanian, dan kehidupan jutaan orang yang terlibat dalam rantai pasokannya, baik sebagai petani maupun konsumen. Faktor politik seperti subsidi pemerintah, perjanjian dagang, dan kebijakan ekspor-impor sering memengaruhi stok, harga, dan akses pasar.

Dalam menghadapi perubahan iklim, prakiraan cuaca yang akurat menjadi kebutuhan mendesak. Petani membutuhkan informasi untuk mengantisipasi dampak kekeringan, banjir, atau fenomena alam lain yang dapat memengaruhi hasil panen.

Dengan prakiraan yang tepat, sumber daya air dapat dikelola lebih baik, dan teknik irigasi yang efisien dapat diterapkan. Hal ini penting agar kebijakan produksi beras tetap berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan iklim.

Namun, tantangan nyata muncul ketika kebijakan pemerintah lebih berfokus pada ekstensifikasi pangan yang justru mengorbankan lahan produktif untuk perkebunan sawit. Ditambah lagi, minat generasi muda terhadap pertanian semakin menurun, menciptakan ancaman serius terhadap regenerasi petani.

Sementara itu, kebijakan food estate dianggap sebagai solusi ketahanan pangan, meskipun risikonya adalah kerusakan lingkungan akibat deforestasi.

Sejarah telah mencatat masa kelam ketika rakyat harus mengantre demi sekarung beras karena kelangkaan dan kesulitan ekonomi. Kini, fenomena serupa terulang, terutama saat momentum politik lima tahunan.

Bantuan sosial yang seharusnya menyejahterakan rakyat justru digunakan sebagai alat politik. Apakah ini mencerminkan ketulusan pemerintah, atau sekadar cara untuk meraih simpati rakyat?

Di tengah ancaman perubahan iklim global, penting untuk membandingkan kondisi di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Thailand. Dua negara terakhir bahkan masih mampu mengekspor beras.

Namun, di Indonesia yang dikenal subur, justru harga beras melonjak tajam, dengan ancaman inflasi seperti yang telah diperingatkan oleh Menteri Keuangan. Mengapa ini bisa terjadi?

Meski teknologi terus berkembang dan pembangunan semakin maju, kita masih menghadapi siklus kemiskinan yang berulang.

Apakah ini mencerminkan ketidakmampuan kita untuk keluar dari pola lama? Kebijakan pangan seharusnya tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan politik semata, tetapi juga harus berlandaskan keberpihakan terhadap petani dan keberlanjutan pangan.

Dari berbagai tantangan ini, diperlukan kebijakan yang arif dan bijaksana. Jika politik beras terus menjadi alat transaksi politik, maka kita akan menghadapi dampak negatif yang lebih besar, termasuk melemahnya moral masyarakat yang terjebak dalam siklus “kenikmatan sementara”.

Seyogianya, kebijakan pangan dirancang dengan optimisme dan berlandaskan keadilan. Bersahabat dengan alam dan memanfaatkan hikmah di balik musibah adalah langkah awal menuju ketahanan pangan yang sejati.

Penulis: Muhammad Yuzan Wardhana, S.P., M.E.P (Dosen Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda