Heboh Kenaikan UKT: Meluruskan Pandangan Kontroversial Pemerintah terhadap Dunia Pendidikan
Font: Ukuran: - +
Penulis : Teuku Alfin Aulia
Teuku Alfin Aulia, Mahasiswa Prodi IAT FUF UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Founder Halaqah Aneuk Bangsa
DIALEKSIS.COM | Opini - Baru-baru ini, publik Indonesia kembali dikejutkan dengan berita kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal), serta komentar kontroversial pihak Kemendikbud yang menyebut bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier.
Komentar kontroversial yang dikeluarkan oleh lembaga tertinggi negara yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan dan riset ini menimbulkan kesan yang tidak baik, terutama dalam kemajuan pendidikan serta semakin menambah pesimisme publik dalam terwujudnya Indonesia Emas di tahun 2045 nantinya. Hal ini tercermin melalui kebijakan pemerintah yang masih sangat kurang memperhatikan bidang pendidikan.
Sejatinya, kebutuhan tersier adalah kebutuhan yang bersifat pelengkap, yang sering kali dihubungkan dengan gaya hidup dan prestise sosial. Berbeda dengan kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) dan sekunder (pendidikan, keamanan, transportasi), kebutuhan tersier biasanya dianggap tidak mendesak untuk kelangsungan hidup sehari-hari.
Nilai pendidikan tinggi seharusnya tak serta merta disamakan begitu saja dengan gaya hidup, karena pada kenyataannya dunia kerja dewasa ini tak hanya melihat kepada skill yang dimiliki oleh para karyawan maupun calon karyawan begitu saja, tapi turut menuntut pengakuan akademik yang diakui melalui ijazah ataupun lainnya.
Sekilas, kami kembali mengingat sebuah pidato Presiden Jokowi di tahun 2023, dimana pada saat itu beliau juga menyatakan bahwa ijazah dianggap tidak begitu penting jika dibandingkan dengan skill dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang.
"Semua negara, sekarang ini persaingannya ada di situ. Bukan ijazahmu apa? Bukan adu ijazah, tapi adu skill, adu kompetensi," kata Presiden Jokowi.
Harusnya kedua hal ini, yakni administrasi dan substansi, tak disepelekan dan dibandingkan satu sama lainnya, karena memang sama penting kaitannya. Jika pandangan-pandangan seperti ini terus dipelihara oleh pemerintah, tentu pendidikan di Indonesia akan terus menghadapi berbagai kontroversi kebijakan karena adanya dogma yang salah dalam pembangunan pendidikan kita selama ini yang terkesan diabaikan.
Klaim pemerintah yang ingin mewujudkan impian Indonesia emas di tahun 2045 harusnya dapat dipertanyakan kembali, dengan sejauh manakah kiranya pendidikan dapat dipandang menjadi hal yang penting dan sekunder bagi pembangunan bangsa ke depannya.
Pada dasarnya, pendidikan merupakan suatu hal yang begitu penting bagi setiap insan. Allah SWT telah menganugerahkan kepada setiap manusia kemampuan yang beraneka ragam dalam menangkap dan memahami setiap ilmu pengetahuan yang ada.
Selain sebagai pembangun sumber daya masing-masing individu, pendidikan dalam perjalanannya juga turut mampu membangun sumber daya manusia lebih menyeluruh dan meluas bila diperhatikan dengan baik dan benar oleh pemangku kepentingan.
Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Bangsa, pernah berkata, "Kekuatan rakyat itulah jumlah kekuatan tiap-tiap anggota dari rakyat itu, segala daya upaya untuk menjunjung derajat bangsa tidak akan berhasil kalau tidak dimulai dari bawah, sebaliknya rakyat yang sudah kuat akan pandai melakukan segala usaha yang perlu atau berguna untuk kemakmuran negeri." Karenanya, sudah tak ayal lagi pendidikan harus menjadi faktor terpenting dalam mencapai kemakmuran.
Mari belajar dari sejarah
Indonesia, China, dan Korea Selatan merupakan tiga negara yang memiliki akar permasalahan yang hampir sama di tahun 60-an, mulai dari kemiskinan, perang saudara, jumlah populasi yang tinggi, kurangnya pemerataan pembangunan, hingga ketertinggalan dan keterbelakangan menjadi permasalahan yang begitu kompleks terjadi di negara-negara tersebut.
Meski memiliki akar permasalahan yang relatif sama, namun ketiga negara tersebut memiliki kebijakan yang berbeda-beda dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang begitu rumit tersebut.
Dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang begitu kompleks tersebut, China dan Korea Selatan mengeluarkan kebijakan yang relatif hampir sama. Kedua negara tersebut melakukan investasi besar-besaran terhadap bidang pendidikan yang kala itu sedang berkembang di negara-negara tersebut.
Pengeluaran pemerintah Korea Selatan untuk pendidikan sangat besar kala itu. Contohnya saja pada tahun 1975 yang jumlahnya mencapai 220 miliar won, setara dengan 2.2 persen dari produk nasional bruto atau 13.9 persen dari total pengeluaran pemerintah. Bahkan pada tahun 1986, belanja pendidikan Korea Selatan telah mencapai 3.76 triliun won, atau 4.5 persen dari GNP, dan 27.3 persen dari alokasi anggaran pemerintah.
Anggaran dana yang cukup besar tersebut nyatanya tak hanya diterapkan di Korea Selatan saja. Pemerintah China nyatanya juga turut melakukan peningkatan besar-besaran terhadap peningkatan kualitas dan efisiensi pendidikan di negeri tirai bambu ini yang juga terus ditingkatkan setiap tahunnya. Total dana pendidikan nasional negeri Mao Zedong ini telah mencapai rata-rata 20% per tahun. Tercatat dana Pendidikan Nasional mereka hampir mencapai 548 miliar yuan pada tahun 2002, lima kali lebih banyak dibanding tahun 1993.
Penerapan tersebut membawa Korea Selatan dan China mampu bertransformasi menjadi negara maju di belahan Asia yang mampu menyaingi negara maju lainnya. Demam pendidikan di Korea Selatan pada era 80-an dan 90-an menandai era baru bagi kemakmuran dan demokratisasi di negara tersebut. Perlahan, Korea Selatan yang dulunya dikenal menjadi salah satu negara yang porak-poranda akibat perang saudara yang berkepanjangan, kini berubah menjelma menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Di sisi yang sama, Korea Selatan memiliki persentase sarjana sebanyak 98% dan memiliki kemampuan literasi sebanyak 100%, berbanding jauh dengan Indonesia. Melalui demam pendidikan yang lahir dari kebijakan pemerintah yang begitu memerhatikan pendidikan, Korea mampu membuktikan perkembangan yang signifikan dalam bidang perkembangan teknologi di negara tersebut. Beberapa perusahaan besar dunia dibidang otomotif dan teknologi perlahan tumbuh pesat di negeri tersebut, dan bahkan turut menjadi kiblat teknologi dunia pada era ini.
Demikian halnya dengan Republik Rakyat China yang turut menerapkan kebijakan aktif terhadap peningkatan pendidikan dan keterbukaan terhadap asing. Alhasil, China mampu menurunkan tingkat kemiskinan mereka dari 88 persen pada tahun 1981 menjadi 0,7 persen pada tahun 2015. Di sisi yang sama, sebuah penelitian menyebutkan bahwa jumlah penerima PhD di China kini bahkan lebih banyak dari Amerika.
Wajah China kini telah jauh berbeda. Negeri tirai bambu tersebut kini menjelma menjadi negara adikuasa dunia yang memegang peran penting dalam kebijakan negara-negara di kawasan, akibat kebijakan pemerintah yang begitu berpihak kepada pendidikan di negara tersebut.
Bagaimana dengan Indonesia?
Semenjak kemerdekaan, ekonomi Indonesia begitu merosot akibat embargo asing yang terjadi akibat kebijakan politik Indonesia masa Orde Lama, dibawah pimpinan Soekarno. Kondisi ekonomi yang buruk ini disinyalir juga terjadi akibat Pembangunan Infrastruktur masif yang tak terlalu produktif untuk perkembangan ekonomi, seperti pembangunan Monumen Nasional, Gelora Senayan, Ganefo, dan lainnya. Pembangunan infrastruktur yang terkesan memaksa kala itu membuat ekonomi Indonesia begitu merosot tajam.
Berganti rezim, bergantilah kebijakan. Demikianlah tepatnya, ekonomi yang begitu merosot di era Orde Lama membuat perhatian pemerintah baru yang berkuasa terhadap perkembangan pendidikan dan penelitian sangatlah kurang diperhatikan. Ketika kondisi ekonomi mulai membaik di era Orde Baru, pemerintah malah lebih memfokuskan penggunaan APBN ke arah pembangunan infrastruktur dan industrialisasi melalui program ambisius REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
Berbagai macam perusahaan industri mulai bergeliat lahir dan berkembang di Indonesia, namun meninggalkan permasalahan mendasar terkait sumber daya manusia yang begitu kurang kala itu. Tercatat besarnya anggaran yang digelontorkan terhadap pendidikan pun begitu kecil. Pada akhir Orde Baru di tahun 1997/1998, realisasi anggaran pendidikan hanya berkisar sebesar Rp4,5 triliun, dari anggaran APBN yang seluruhnya mencapai Rp101 triliun atau 4,5 persen dari APBN.
Program ambisius yang ditinggalkan oleh kedua orde tersebut, sedikit tidak tentu berdampak positif bagi Indonesia. Namun, nyatanya kedua rezim tersebut meninggalkan pekerjaan rumah yang lebih besar. Besarnya sumber daya alam yang bersiap dikeruk tak disambangi dengan kemampuan manusia yang memadai, membuat Indonesia masih selangkah tertinggal dari dua negara di atas.
Besarnya sumber daya alam yang dimiliki Indonesia tak sebanding dengan kemampuan manusia Indonesia dalam memanfaatkan sumber daya alamnya, ditambah dengan infrastruktur yang telah ada, membuat tujuan pembangunan menjadi sia-sia. Bahkan, mungkin saja hanya dinikmati oleh segelintir golongan tertentu.
Kasus korupsi yang ugal-ugalan terjadi di Indonesia dewasa ini juga dinilai dapat terwujud dari kondisi masyarakat yang kurang terdidik dengan baik dan benar. Tentu kita tak lagi asing mendengar bahwa kelompok yang kurang terdidik akan lebih mudah diatur sesuai keinginan pemangku kepentingan.
Kesalahan-kesalahan yang terjadi di masa lalu seharusnya tidak boleh terulang kembali oleh pemerintah. Program peningkatan pendidikan sudah seharusnya menjadi program penting yang harus benar-benar diperhatikan, terutama dalam menjamin dan mewujudkan kemakmuran bangsa dan negara. Ke depannya, narasi-narasi negatif terhadap peningkatan dan perkembangan pendidikan tidak boleh dikeluarkan oleh pihak pemangku kebijakan, apalagi bila itu seolah-olah meremehkan nilai pendidikan itu sendiri.
Sudah semestinya usaha pemerintah dalam mewujudkan Indonesia Emas tidak hanya dapat dilakukan dengan pembangunan infrastruktur yang masif. Pembangunan edukasi manusia Indonesia juga seharusnya dilakukan dengan lebih masif dan tidak dipandang sebelah mata begitu saja.
Selain sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas, dalam sebuah manuskrip kuno Undang-Undang Dasar Kesultanan Aceh yang dikenal masyhur dengan Qanun Meukuta Alam Al Asyi juga turut menyebutkan pentingnya pendidikan dalam mewujudkan kemakmuran. Hal ini tertera dalam Bab 4, Pasal 60 terkait Rukun dan Syarat Negara yang berbunyi sebagai berikut:
"Kemakmuran hanya dapat terwujud dengan terwujudnya keamanan (stabilitas). Keamanan (stabilitas) hanya bisa terwujud dengan terjaganya keadilan, dan keadilan hanya bisa terjaga dengan tingginya kualitas pendidikan dan ilmu pengetahuan.” [**]
Penulis: Teuku Alfin Aulia (Mahasiswa Prodi IAT FUF UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Founder Halaqah Aneuk Bangsa)