Beranda / Opini / Gerakan Baru Pasca Damai Aceh

Gerakan Baru Pasca Damai Aceh

Selasa, 15 Agustus 2023 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Jabal Ali Husin Sab


Jabal Ali Husin Sab - Esais, pegiat di Komunitas Menara Putih.


DIALEKSIS.COM | Opini - Aceh telah memasuki usia 18 tahun perdamaian. Dengan perdamaian yang terajut hingga kini, Aceh teoah mampu menjalankan perubahan politik dan tata kelola pemerintahan yang fundamental. Hal tersebut ditandai dengan pemberian otonomi khusus, transformasi GAM menjadi partai politik lokal dan pelaksanaan kekhususan seperti formalisasi syariat Islam dan pengukuhan institusi Wali Nanggroe. Namun sejauh ini, ekspektasi masyarakat Aceh pasca damai masih belum terwujud.

Ekspektasi publik tentang Aceh pasca damai yang makmur dan sejahtera hingga kini masih menjadi harapan yang tak mampu direalisasikan oleh pemerintah daerah. Hal ini terlihat dari angka kemiskinan yang tinggi, masalah pengangguran dan ketersediaan lapangan kerja, isu stunting dan gizi buruk, serta angka pertumbuhan ekonomi rata-rata yang berada di bawah angka nasional, bahkan lebih rendah dibandingkan beberapa provinsi lain di Sumatera.

Meskipun triliunan dana telah digelontorkan untuk Aceh tiap tahunnya, masalah kesejahteraan masih menjadi isu utama. Beberapa periode rezim gubernur yang berkuasa di Aceh gagal menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik. Pemerintah daerah tidak mampu memaksimalkan anggaran belanja yang besar sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi masyarakat. 

Permasalahan Tata Kelola Anggaran

Salah satu masalah yang menjadi penghalang bagi kemajuan Aceh adalah soal tata kelola anggaran daerah. Porsi anggaran belanja daerah dapat dikatakan bermasalah. Belanja rutin pemerintah daerah yang terlalu besar, jumlahnya hampir setengah total anggaran belanja daerah. Besarnya belanja rutin digunakan untuk kebutuhan belanja birokrasi, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.

Tentu beberapa kebijakan baik sudah dicapai pemerintahan sebelumnya di Aceh tidak dapat dinafikan. Misalnya di bidang infrastruktur, pembangunan jalan di Aceh terbilang masif. Pemerintahan di Aceh pasca damai juga sudah berhasil melahirkan kebijakan jaminan sosial di bidang kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang kini sistem penyelenggaraannya dijalankan di bawah BPJS. Namun dana Otsus yang besar itu di sisi lain belum mampu dimanfaatkan untuk akselerasi ekonomi yang maksimal.

Jika melihat pada data neraca perdagangan Aceh, mayoritas ekspor daerah bertumpu pada industri ekstraktif dari pertambangan. Sementara peran sektor ekonomi masyarakat yang didominasi oleh pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan tidak mencapai setengah dari komoditas yang diperdagangkan ke luar Aceh. 

Komoditas perdagangan yang menjadi tumpuan ekonomi daerah pun masih terbatas dan bertumpu hanya pada beberapa komoditas. Diversifikasi komoditas untuk menopang perekonomian daerah, khususnya di bidang pertanian belum dapat diwujudkan. Menyimpulkan data statistik yang dirilis BPS tiap tahun, kondisi pembangunan Aceh relatif stagnan dan jalan di tempat.

Urgensi Gerakan Kultural di Aceh

Terlepas dari perosalan struktural dan institusional, problem substansial lain yang membuat Aceh hari ini gagal untuk maju dan berkembang perlu untuk dikaji dan dktemukan.

Aceh belum berhasil memanfaatkan status otonomi khusus untuk akselerasi pembangunan dan kesejahteraan karena tata kelola pemerintahan yang buruk. Buruknya tata kelola pemerintahan hari ini di Aceh disebabkan oleh faktor minimnya tanggungjawab dan komitmen manusianya, yakni kalangan elit, khususnya politisi dan birokrat.

GAM yang bertransformasi menjadi Partai Aceh yang selama 18 tahun terakhir meraih kursi mayoritas di parlemen dan beberapa kali menduduki jabatan gubernur, belum membuktikan komitmen yang nyata untuk kesejahteraan masyarakat. Komitmen perjuangan para mantan kombatan tersebut belum bisa dirasakan oleh masyarakat Aceh.

Visi pembangunan Aceh pasca damai pernah dirumuskan oleh masyarakat sipil dengan semboyan ‘Aceh Baru’. Namun kekuatan masyarakat sipil di Aceh makin lama makin lemah, tergerus dan kehilangan perannya. Mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dalam kampanyenya pernah menawarkan konsep ‘Aceh Hebat’, sebuah konsep pembangunan yang cukup visioner di atas kertas, namun Irwandi sendiri harus berhenti dari jabatan gubernur karena terjerat kasus korupsi.

Aceh pasca damai butuh lebih dari sekedar pendekatan politik dan kebijakan. Lebih dari itu, untuk mewujudkan sistem dan tata kelola pemerintahan yang baik, Aceh perlu juga mempertimbangkan aspek sosio-kultural.

Perlu adanya sebuah gerakan kultural baru di Aceh yang mengonsolidasikan niat baik dan tekad bersama untuk mewujudkan Aceh yang maju dan sejahtera, sebagaimana cita-cita yang kerap digaungkan ketika Aceh baru saja memasuki fase perdamaian kala itu.

Perlu ada gerakan kultural yang menyadarkan masyarakat Aceh tentang pentingnya kepentingan kolektif di atas kepentingan kelompok maupun individu. Untuk mengonsolidasikan gerakan kultural tersebut, kaum cendekiawan, akademisi, ulama dan kelompok masyarakat sipil harus mampu duduk kembali bersama untuk menyamakan visi dan pandangan.

Gerakan kultural yang dimaksud adalah panggung perjuangan baru masyarakat Aceh yang bertujuan mewujudkan esensi perdamaian. Mungkin banyak aktor-aktor dan para pihak dalam gerakan sosial di Aceh yang terlibat dalam perdamaian kini sudah memasuki usia senja. Sudah semestinya estafet perjuangan merawat dan mengisi perdamaian ini diserahkan dan dilanjutkan oleh kalangan muda.

Penyadaran kalangan muda Aceh terhadap sebuah gerakan kultural yang mengedepankan kepentingan kolektif Aceh di hadapan pragmatisme dan oportunisme elit berkuasa sekarang adalah kunci untuk dapat mengubah masa depan Aceh agar cita-cita perdamaian dapat terlaksana.

Tentu gerakan kultural yang dibahas disini bukan sebatas gerakan sosial politik yang hanya melihat dan mengatasi masalah yang hanya ada di permukaan. Namun yang lebih mendasar dan fundamental adalah bagaimana gerakan kultural baru menjadi sebuah gerakan yang merasuk ke dalam kesadaran dan alam pandangan masyarakat Aceh.

Kita disini tidak hanya membahas masalah mengoreksi kebijakan pemerintah. Namun masalah lahirnya pemerintah yang melahirkan kebijakan yang pro rakyat adalah hasil akhir dari gerakan kultural yang dimaksud.

Alam kesadaran dan pandangan orang Aceh harus dibina dan dibangun kembali dari reruntuhan sisa-sisa ingatan tentang konflik. Orang Aceh harus kembali memiliki karakternya sebagai sebuah entitas masyarakat yang beradab, berpegang pada konsep dan nilai-nilai positif dan progresif, memiliki etos dan semangat untuk membangun, untuk bekerja, memiliki rasa kepercayaan antar satu sama lain, memiliki semangat koperatif, menjadikan kepentingan kolektif atas nama Aceh sebagai suatu entitas masyarakat berada di atas kepentingan pragmatisme sesaat yang semu.

Gerakan kultural ini adalah gerakan moral dan spiritual yang perlu mengedepankan ilmunya para ulama. Gerakan intelektual yang memerlukan semangat kesadaran dan keahlian praktis akademisi dan kaum cendikia. Gerakan ekonomi yang membutuhkan kemampuan koperatif dari pengusaha dan saudagar. Gerakan kemanusiaan dan kebudayaan yang membutuhkan nurani para aktivis kemanusiaan, seniman dan sastrawan.

Gerakan ini perlu melibatkan semua elemen dalam kepentingan masa depan Aceh yang secara moral telah dicerai-beraikan oleh kepentingan politik yang pragmatis. Untuk itu Aceh butuh lebih dari sekedar memperbaiki sistem dan tatanan politik dan pemerintahan. Aceh butuh memperbaiki dirinya mulai dari dasar, dimulai dari jiwa, alam pikiran, karakter dan watak baru untuk Aceh baru.

Penulis

Jabal Ali Husin Sab - Esais, pegiat di Komunitas Menara Putih.

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda