kip lhok
Beranda / Opini / Geliat Produk Lokal Aceh

Geliat Produk Lokal Aceh

Jum`at, 23 April 2021 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Jabal Ali Husin Sab

Produk-produk kerajinan dari eceng gondok yang diproduksi para pengrajin di Aceh Singkil, perlu memperoleh akses pasar dan akses permodalan. (Foto: dok. pinbis)


Pengalaman saya berinteraksi dengan seorang mahasiswa pascasarjana dari Korea Selatan sekitar 7 tahun yang lalu, mereka lebih bangga memakai gadget buatan dalam negeri ketimbang ikut trend dunia di saat handphone i-phone bernama Apple gubahan Steve Jobs merajai pasar telepon genggam di seluruh dunia.

Karena kebanggaan mereka terhadap budaya dalam negeri, juga produk-produk dalam negeri, akhirnya Korea Selatan dengan musik K-Pop nya serta industri perfilman melalui Drakor (drama korea), style fashion anak-anak Gangnam (Beverly Hills nya Seoul atau Menteng nya Seoul) heboh se-dunia. 

Itu semua berawal dari kecenderungan mereka terhadap sesuatu yang berbau dalam negeri (ata droe) dan bukannya cenderung mencopas gaya Amrik atau cenderung bangga dengan barang impor. Biar dibilang trendi!

Juga dari cerita teman yang kuliah di China. Mereka di sana hampir semuanya punya Michat, sebagaimana kita semua di Indonesia punya whatsapp. Bahkan mereka berbelanja, membayar bus, kereta listrik dan transportasi umum lainnya juga dengan michat. Nongkrong di cafe dan makan di restaurant bayar dengan michat. Di Indonesia sekarang sebagian sudah pakai Gopay atau produk uang digital lainnya.

Aceh pernah punya nostalgia tersendiri dengan produk lokal. Seperti sirup kurnia yang unit usahanya sekarang sudah pindah ke Sumatera Utara, kecap asin Cap Angsa dan Cap Singa dari Langsa yang sudah mulai tenggelam. 

Pasar kecap dan saus sambal di level murah dikuasai nama dari Sumatera Utara, seperti saus Dena. Sementara di level menengah masih dijuasai nama raksasa seperti kecap bango, sambal indofood, sambal ABC dan Sasa.

Saya juga teringat dulu sesaat sebelum atau sesudah Referendum. Aceh pernah punya merk rokok bernama NAD yang mirip Dji Sam Soe. Saya ingat salesnya menawarkan produk di koperasi, istilah untuk warung kami di Gampong Payatieng, Kecamatan Peukan Bada, yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari SMP dan SMA Peukan Bada serta kantor camat yang sempat jadi pos tentara pada masa konflik. Namun kini rokok NAD pun tinggal nama. Juga minuman limun ice cream soda, sarsaparila, yang kini hanya tinggal kenangan.

Saya mengimpikan kita kembali punya banyak produk-produk lokal yang tak harus besar hingga menginvasi pasar nasional atau dunia. Cukup jadi produk yang dikonsumsi sehari-hari secara lokal hingga menjadi karakter atau kultur kekinian yang menunukkan identitas kita. 

Seperti Bika Ambon dengan kota Medan. Atau seperti Ade Kak Nah dengan Meureudu. Tinggal kita perbanyak Kak Nah-Kak Nah yang lain. Dan kita tumbuhkan kesadaran untuk mau dan bangga memakai produk lokal kita sendiri. Sebagaimana kita para lelaki Banda Aceh tidak bisa lepas dari kopi Ulee Kareng semisal Solong wa furu'ihim: Taufik, Chek Yuke, Dekmie.

Dulu, produk-produk itu tumbuh dari pasar secara alami. Belum ada stimulus APBA trilyunan atau program pengembangan ekonomi mikro yang sedang marak ala Bang Sandiaga Salahuddin Uno.

Peran Pemerintah Aceh

Di tengah pandemi Covid-19 yang turut berdampak pada keberlangsungan ekonomi, khususnya kecil dan mikro, perlu perhatian besar dari pemerintah untuk mempertahankan keberlangsungan produk-produk lokal Aceh yang telah beredar di pasaran.

Juga diperlukan rencana strategis dalam menargetkan lahirnya pengusaha mikro, kecil dan menengah yang melahirkan berbagai varian produk yang diterima oleh pasar. 

Sepengamatan penulis, selain dari bantuan usaha untuk usaha yang sudah berjalan, belum ada semacam program strategis dan masif yang dilakukan pemerintah, khususnya dinas terkait yakni Diskop UKM untuk berupaya ekstra dalam melahirkan usahawan-usahawan kecil yang mampu menjual produk buatan lokal untuk bersaing di pasar lokal, regional maupun nasional.

Jumlah anggaran yang cukup ditopang oleh APBA harusnya diimbangi dengan strategi yang matang, terencana dan berlangsung dalam jangka waktu yang berkelanjutan. Jadi tidak hanya menggelontorkan sejumlah dana, namun tidak diimbangi dengan rencana strategis serta pelayanan pendampingan yang dapat diakses oleh masyarakat secara menyeluruh.

Padahal upaya menciptakan lahirnya usahawan-usahawan kecil dan menengah adalah jalan yang paling tepat untuk mengatasi masalah kemiskinan di Aceh dan memperkecil resiko ledakan pengangguran di Aceh paska pandemi, khususnya bagi kalangan generasi muda.[]

Penulis: Jabal Ali Husin Sab (kolumnis, pelaku dunia usaha, warga Darussalam Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda