Filosofi Jabatan Penjabat Kepala Daerah
Font: Ukuran: - +
Penulis : Yusuf Al Qardhamy
Penulis: Dr. M. Yusuf Al Qardhamy, MH, Analis Sejarah dan Hukum
DIALEKSIS.COM | Opini - TERDAPAT empat istilah yang lazim digunakan dalam sistem birokrasi di Indonesia, yakni Plh, Plt, Pjs, dan Pj. Plh (pejabat harian) adalah jabatan sementara pejabat pemerintahan karena pejabat yang menempati jabatan sebelumnya berhalangan. Adapun Plt (pelaksana tugas) adalah pejabat yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap.
Plh dan Plt tidak berwenang dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran. Plh dan Plt tidak boleh melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai. Secara normatif, Plt dan Plh tidak perlu dilantik dan diambil sumpahnya, hanya cukup dilakukan dengan Surat Perintah dari pejabat pemerintah lebih tinggi yang memberikan mandat.
Sementara Pjs (pejabat sementara) adalah pejabat tinggi madya/setingkat atau pejabat tinggi pratama yang ditunjuk Mendagri untuk melaksanakan tugas kepala daerah atau wakil kepala daerah karena kepala daerah/wakilnya sedang cuti terutama dalam melaksanakan kampanye.
Sedangkan Pj (penjabat) adalah yang menggantikan kepala daerah atau wakil kepala daerah selama tahapan kampanye hingga pelantikan kepala daerah terpilih (definitif). Perbedaan antara Pjs dan Pj adalah Pjs menggantikan pejabat definitif kepala daerah yang berhalangan sementara karena menjalankan cuti di luar tanggungan negara seperti kampanye, sedangkan Pj menggantikan pejabat definitif kepala daerah yang berhalangan tetap seperti habis masa jabatan sehingga sampai terpilih kepala daerah yang baru.
Secara umum, baik kepala daerah definitif maupun jabatan pejabat pemerintahan yang disebutkan di atas harus menjalankan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), meliputi: kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik.
AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi pejabat pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain berpedoman kepada AUPB di atas, seorang pejabat negara atau pejabat pemerintahan harus berpedoman pada asas penyelenggaraan pemerintahan negara yang terdiri atas: kepastian hukum, tertib penyelenggara negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, dan keadilan.
Pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang meliputi: larangan melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang, dan/atau larangan bertindak sewenang-wenang. Pejabat pemerintahan dianggap telah mencampuradukkan wewenang apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan di luar cakupan bidang atau materi bewenang yang diberikan dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan.
Pejabat pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan tanpa dasar Kewenangan dan/atau bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Apabila mengacu kepada Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi secara jelas disebutkan bahwa mutasi PNS harus memperhatikan prinsip larangan konflik kepentingan.
Dalam Surat Edaran Menteri Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 19 Tahun 2023 tentang Mutasi/Rotasi Pejabat Pimpinan Tinggi menyatakan, PJT atau Pejabat Pimpinan Tinggi (kepala dinas, badan, dan seterusnya) yang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama yang sudah dilantik sebelum masa dua tahun dilarang diganti kecuali melanggar ketentuan perundang-undangan.
Yang termasuk dalam hierarki peraturan perundangan meliputi: UUD 1945 TAP MPR, UU/Perpu, PP, Perpres, dan Perda/Qanun provinsi dan Perda/qanun kabupaten/kota.
Filosofi Jabatan Pj
Kepala daerah definitif maupun wakilnya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai pejabat negara atau pejabat pemerintahan dilarang melakukan beberapa tindakan, meliputi: membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu dilarang membuat kebijakan yang merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, menjadi pengurus suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah atau pengurus yayasan bidang apa pun, menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri dan/atau merugikan daerah yang dipimpin, melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan.
Beberapa poin di atas tidak boleh dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang definitif apalagi yang hanya penjabat (Pj). Dua hal pokok yang harusnya perlu diperhatikan oleh Pj kepala daerah adalah ketidakberpihakan dan pelayanan yang baik sebagai asas AUPB.
Asas ini perlu dan penting sebagai acuan penggunaan wewenang bagi Pj dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, seorang Pj harus berpedoman pada asas penyelenggaraan pemerintahan negara yang cukup penting selain kepastian hukum, yaitu asas kepentingan umum, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, dan keadilan. Asas keadilan harus dimaknai secara luas, yaitu berupa tindakan yang tidak merugikan kepentingan pejabat negara atau pejabat pemerintahan (kepala pemerintahan) setelah Pj tidak lagi memiliki kewenangan.
Jangan sampai kebijakan Pj merugikan kepala pemerintahan yang definitif. Pj harus menjaga kepentingan yang lebih besar dan kemanfaatan yang besar. Pj juga harus memastikan tidak ada konflik kepentingan atau kemanfaatan pribadi atau kelompok/golongan.
Pj adalah penjabat dari ASN (Aparatur Sipil Negara) yang menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama yang seharusnya memiliki cahaya batin, penglihatan batin dan kekuatan batin sehingga selama ia menjabat mampu membuat orang lain lebih baik dan memastikan kebaikan itu bertahan kendati ia tidak lagi menjabat.
Pemimpin atau penjabat kepala daerah sebaiknya konsisten berpikir solusi, bukan menciptakan masalah selama kepemimpinannya. Ia harus berpikir integratif dan tidak menafikan integritas sebagai modal bagi pejabat negara atau pejabat pemerintahan.
Seorang penjabat kepala daerah tidak hanya mengutamakan regulasi yuridis sehingga menafikan etika filosofis. Kombinasi keduanya akan menghasilkan kekuatan super dan membudayakan kebaikan supel, yaitu sebuah harapan dan cita-cita ideal pemimpin pemerintahan di semua level sehingga terwujud pemerintahan deontologis dan teleologis.
Urgensi Etika Pejabat Pemerintahan
Etika atau dalam terminologi Islam dikenal dengan akhlak. Akhlak atau etika di birokrasi pemerintahan dan kehidupan masyarakat bukan hanya perlu, tetapi penting. Etika adalah norma atau nilai yang menjadi pedoman perilaku dan tindakan manusia.
Etika lebih berharga daripada ilmu dan jabatan tinggi kendati ia tidak termasuk ke dalam ruang lingkup hukum positif. Salah satu nilai etika paling tinggi adalah menghargai orang lain, yakni menghargai kepala daerah yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat sebagai penanggang jawab utama pemerintahan dalam jangka waktu tertentu.
Secara legal dan legis tindakan melanggar etika tidak dapat diberikan sanksi berat, seperti pemecatan (impeachment), tetapi ia dapat merenggang dan mengganggu hubungan birokratis dan pengabaian terhadap hasil demokratis.
Akibatnya, muncul konsekuensi negatif dalam lingkup kerja pemerintahan. Publik akan memberikan stigma, bahkan mem-framing Pj tersebut sebagai birokrat yang tidak baik. Bila hal ini terjadi tentu kurang baik dalam perjalanan karir seorang birokrat atau pejabat pemerintahan.
Seorang Pj harusnya tidak mampu di-pressure oleh kekuatan manapun, ia harus tegak lurus melaksanakan tugas sesuai regulasi dengan tetap berpedoman kepada deontologis dan teleologis sebagai pedoman utama.
Seorang Pj tidak perlu terlalu jauh mampu diintervensi oleh kepentingan pragmatisme orang (pejabat) yang merekomendasikannya di jabatan itu. Ia harus berpikir jauh dengan menelaah semua hierarki norma secara intrinsik dan holistik.
Norma yuridis bukan hanya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda, UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Adminstrasi Pemerintahan, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, tetapi termasuk semua Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden serta Peraturan Menteri terkait mutasi/rotasi pejabat dengan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama, dan sebagainya.
Penulis: Dr. M. Yusuf Al Qardhamy, MH, Analis Sejarah dan Hukum