Fenomena Kambuhan Krisis Caleg di Pemilu
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Opini - Bila tak ada aral melintang, pendaftaran bakal calon anggota legislatif (Caleg) untuk Pemilu 2024 paling lambat akan dibuka pada tanggal 1 sampai dengan 14 Mei 2023. Merujuk ke landasan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Penyelenggara Pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menerima daftar bakal caleg (bacaleg) sembilan bulan sebelum pemungutan suara yakni pada 14 Mei 2023.
Pihak KPU sendiri beberapa waktu lalu telah mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 tahun 2024 tentang pencalonan perseorangan peserta pemilihan umum anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. PKPU ini menjadi pedoman dan landasan administratif bagi pencalonan legislatif pada Pemilu 2024. Baik pada tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga DPR RI.
Selanjutnya pada Pemilu 2024 mendatang, terdapat 24 partai yang akan berlaga dalam gelanggang demokrasi Indonesia. Partai tersebut terdiri dari 17 Partai Politik Nasional dan 7 Partai Politik Politik Lokal Aceh.
Ketujuh belas parnas tersebut antara lain : (1) Partai Kebangkitan Bangsa; (2) Partai Gerakan Indonesia Rayal; (3) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; (4) Partai Golkar; (5) Partai Nasdem; (6) Partai Buruh; (7) Partai Gelombang Rakyat Indonesia; (8) Partai Keadilan Sejahtera; (9) Partai Kebangkitan Nusantara; (10) Partai Hati Nurani Rakyat; (11) Partai Garda Perubahan Indonesia; (12) Partai Amanat Nasional; (13) Partai Bulan Bintang; (14) Partai Demokrat; (15) Partai Solidaritas Indonesia; (16) Partai Perindo; (17) Partai Persatuan Pembangunan.
Kemudian Parlok Aceh terdiri dari (18) Partai Nangroe Aceh; (19) Partai Generasi Atjeh Beusaboh Tha'at Dan Taqwa; (20) Partai Darul Aceh; (21) Partai Aceh; (22) Partai Adil Sejahtera Aceh;(23) Partai Solidaritas Independent Rakyat Aceh dan (24)Partai Ummat.
Berbicara pencalonan legislatif, ada fenomena nyata yang membuat suatu pergeseran dinamika dari masyarakat dalam mewarnai kontestasi di Pemilu 2024 menjadi caleg, bahkan selalu terulang kembali disetiap momentum Pemilu. Walaupun tidak ada upaya serius memperbaiki, apa itu fenomenanya? saat ini partai partai dihadapi dengan kesulitan mencari caleg yang diusung oleh partainya atau partai politik di Pemilu 2024 mendatang.
Konon lagi syarat wajib kuota perempuan sebesar 30% akan sulit dipenuhi partai politik, jika berkaca dipengalaman Pemilu lalu maupun Pemilu 2024 mendatang. Dalam konteks kekinian kebutuhan caleg dan kuota perempuan wajib dipenuhi ternyata tidak mampu, hal ini kembali terulang setiap jelang pendaftaran partainya ke dapil tertentu.
Fenomena Kambuhan Kala Pemilu
Kondisi krisis kader parpol untuk di ikut sertakan dalam pemilu sebenarnya bukan pada Pemilu 2024 saja terjadi. Pada pemilu sebelumnya, parpol juga kesulitan untuk mencukupkan kouta caleg dalam ajang kontestasi pesta demokrasi. Fenomena krisis ini kerap kambuh dalam setiap Pemilu. Tidak hanya menimpa partai Gurem atau partai baru. Bahkan sejumlah partai besar juga disejumlah wilayah kerap angkat bendera putih untuk memenuhi ketercukupan kouta caleg dalam daftar calon. Seperti di wilayah Papua misalnya. Dari hasil penelusuran media, sejumlah partai mengaku kesulitan mencari kader untuk di calegkan di wilayah tersebut.
Pada pemilu 2019 lalu, partai-partai baru yaitu Berkarya, partai Garuda, PKPI tidak mampu memenuhi Baceleg untuk seluruh propinsi kabupaten kota seluruh Indonesia, bahkan dikabupaten Bandung tidak ada satupun caleg PKPI .
Beranjak ke Pemilu 2024, sebut saja partai yang sudah punya nama, seperti Partai Amanat Nasional. Di wilayah Sulawesi Selatan, DPW PAN Sulses mengaku kesulitan memenuhi kouta. Padahal, tahapan penyerahan nama-nama daftar bakal calon Legislatif sementara (DCS) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya tersisa beberapa bulan lagi.
Terkait keterwakilan perempuan, dalam PKPU 10 Tahun 2023 keterwakilan perempuan harus ada dalam setiap dapil. Pada Pasal 8 huruf c disebutkan : “daftar Bakal Calon sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) di setiap Dapil”. Kemudian diperinci lagi dalam Pada Pasal 8 huruf d : “setiap 3 (tiga) orang Bakal Calon pada susunan daftar Bakal Calon sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib terdapat paling sedikit 1 (satu) orang Bakal Calon perempuan.”
Mencermati sebab kesulitan berpartai memenuhi kebutuhan bacaleg tidak terlepas dari sejumlah faktor. Diantaranya dominasi partai penguasa, yang telah memiliki basis yang kuat hingga ke grassroot karena politik bansosnya. Banyak dari parpol baru yang gagal menggaet tokoh, lantaran tokoh yang diincar enggan maju dari partai non penguasa, karena di wilayahnya telah dipegang oleh partai penguasa.
Sementara, partai-partai kecil yang calonnya pas-pasan, hanya berharap jika pemilihan nanti menggunakan sistem proporsional tertutup atau suara ditentukan oleh suara partai. Sebab dengan sistem itu, caleg yang mendapat nomer urut di bawah tiga, kemungkinan enggan untuk bertarung habis-habisan. Sementara caleg dengan nomer urut 1,2 dan 3, juga diprediksi tak akan berkampanye habis-habisan karena akan memanfaatkan suara dari caleg nomer urut di bawahnya.
Namun partai besar cenderung bakalan menolak sistem proprosional tertutup yang hingga kini masih dibahas di meja Mahkamah Konstitusi. Partai besar berasalan nantinya, dengan sistem tertutup, hampir mustahil bagi masyarakat yang menjadi caleg dan bukan sebagai pengurus partai untuk bersaing.
Dilihat dari sesi perilaku politik, minimnya minat masyarakat untuk mendaftar menjadi caleg juga tak dapat dilepaskan dari munculnya perilaku apatis terhadap politik. Khususnya di wilayah tertinggal “ seperti Aceh- yang mana bila kondisi wilayah tersebut tertinggal, masyarakat di wilayah tersebut cenderung enggan untuk berpartisipasi politik secara aktif.
Terlebih masyarakat tentunya berhitung bila mereka tidak memiliki modal finansial cukup maupun modal sosial mumpuni untuk berkontestasi dalam gelanggang politik. Tentunya mereka tidak ingin bakal menjadi bulan bulanan - alih alih babak belur- dalam panggung demokrasi lima tahunan. Bukan hanya malu karena tak terpilih, namun dana tabungan juga bakal terkuras untuk prosesi pencalonan.
Soal Klasik Keberadan Partai
Persoalan klasik yang dihadapi partai baru, partai gurem nan kecil dalam memenuhi ketercukupan caleg sekaligus lolos ke parlemen, hemat penulis, paling tidak disebabkan tiga faktor utama.
Pertama, mayoritas partai baru, kecil/gurem tidak punya figur kuat yang mampu menarik simpati publik. Akibatnya mereka kesulitan menarik masyarakat untuk bergabung ke partainya menjadi caleg.
Kedua, jaringan yang lemah di akar rumput. Seperti sudah diketahui secara umum, bahwa partai gurem dan partai baru lemah dalam hal infrastruktur politik di akar rumput. Kondisi infrastruktur politik yang belum matang menjadikan gerak politik di akar rumput menjadi terhambat. Jangankan untuk memenuhi ketercukupan caleg. Bahkan untuk sekedar lolos verifikasi administrasi dan faktual di KPU agar dapat menjadi peserta pemilu partai partai ini harus berjibaku hingga ke Bawaslu.
Ketiga, tak punya dana untuk mengoperasikan mesin parpol dan berkampanye jelang Pemilu 2024. Berbeda dengan partai yang lolos dan memiliki kursi di parlemen, konon lagi lolos di senayan. Partai baru dan partai gurem umumnya memiliki modal finansial terbatas karena tidak didukung oleh pendanaan dari negara. Regulasi saat ini masih mengatur bantuan pendanaan partai oleh negara hanya berlaku bagi partai partai yang memiliki kursi di parlemen.
Ini belum lagi berbicara partai lokal Aceh yang baru kali ini menjadi peserta Pemilu, dimana akan menghadapi tantangan “ekstra” dibandingkan parnas. Hal ini karena khusus bagi parlok aceh, ada ketentuan daftar calon harus 120 persen. Sebagaimana diatur Pasal 17 Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota menjelaskan bahwa daftar bakal calon memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.
Daftar calon yang lebih banyak dari parnas mengharuskan juga parlok untuk mengikut sertakan calon perempuan yang lebih banyak dibandingkan parnas. Memang tidak ada kewajiban parlok harus mengikut sertakan 120 persen calon dalam daftar calon. Namun tentu dengan semakin sedikit calon dalam daftar calon, peluang untuk meraup suara pemilih juga semakin kecil. Sehingga potensi suara pemilih akan bergeser ke partai kompetitor. Secara kalkulasi politik hal ini tentu merugikan partai tersebut.
Akibatnya mandeknya pengkaderan partai, tidak heran kemudian parpol baru dan gurem memakai strategi jalan pintas untuk mencukupi kouta caleg. Daftar calon di isi oleh kerabat, sanak saudara dan handai tauladan. Tidak heran kemudian pemilih timbul tanda tanya ketika dalam bilik suara. Karena banyak terdapat nama caleg yang tidak tahu sepak terjangnya maupun kapasitasnya dalam politik.
Strategi baru, Terobosan Baru
Menilik fenomena yang telah dibahas diatas, maka tak pelak parpol disatu sisi harus memiliki stategi baru yang memiliki terobosan baru agar partainya mampu mencukupi caleg dalam daftar calon sekaligus meraup simpati pemilih di bilik suara Pemilu mendatang.
Menurut Tjiptono dan Chandra (2012) Strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus dan dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para target pasar di masa depan.
Suatu organisasi (partai politik) yang memiliki kekuatan yang tidak mudah ditiru oleh pesaing dipandang sebagai organisasi yang memiliki Distinctive Competence, yaitu tindakan yang dilakukan oleh partai politik agar dapat melakukan kegiatan lebih baik dibandingkan kompetitornya.
Menurut Kotler dan Armstrong (2008), identifikasi Distinctive Competence dalam suatu organisasi meliputi : pertama, Keahlian Tenaga Kerja dan kedua, Kemampuan Sumber Daya.
Dua faktor tersebut menyebabkan suatu organsiasi atau perusahaan dapat lebih unggul dibandingkan dengan kompetitornya. Semua kekuatan tersebut dapat diciptakan melalui penggunaan seluruh potensi sumber daya yang partai dan dimiliki caleg, seperti peralatan dan proses penyampaian program yang canggih, penggunaan jaringan cukup luas, penggunaan sumber daya yang punya keahlian tinggi, dan penciptaan brand image positif.
Walhasil, parpol baru dan parpol gurem dalam Pemilu 2024 harus mampu menerapkan Distinctive Competence dalam rangka menembus gedung parlemen sekaligus mencukupi kouta caleg. Apabila hal ini tidak teratasi tentunya parpol tersebut tidak memiliki keterwakilan caleg yang cukup di Pemilu 2024, khususnya parpol baru. Parpol baru dan gurem disadari menghadapi beban berat menghadapi pemilu 2024.
Parpol kini harus bekerja ekstra untuk meraih simpati pemilih di satu sisi, disisi lain juga harus mampu meyakinkan masyarakat agar mau bergabung ke dalam partainya untuk berpartisipasi sebagai caleg. Tak pelak parpol baru dan parpol baru harus bekerja ekstra pada Pemilu 2024 kali ini. Atau bila tidak siapkan otomatis tersingkir dari arena demokrasi. []
Penulis: Aryos Nivada (Direktur Utama Lingkar Sindikasi Grub)