DIALEKSIS.COM | Opini - Tidak terasa sudah berjalan dua dekade telah berlalu sejak penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005. Kesepakatan itu mengakhiri konflik bersenjata di Aceh sekaligus memberikan hikmah besar melahirkan Otonomi Khusus (Otsus).
MoU Helsinki menjadi tonggak sejarah, bukan hanya sebagai penutup babak kelam konflik, tetapi juga pintu masuk bagi transformasi semua lini kehidupan sosial masyarakat, politik, dan ekonomi di Aceh.
Namun, seiring berjalannya waktu berlalu dua dekade, Otsus yang akan berakhir pada 2027 menimbulkan pertanyaan sederhananya adalah sejauh mana perdamaian dan otonomi khusus benar-benar menghadirkan perubahan berarti bagi rakyat Aceh?
Kita ketahui bersama pasca-perdamaian, Aceh memasuki era demokratisasi. Lahirnya partai lokal, terutama Partai Aceh, dan desentralisasi kekuasaan menjadi bukti keberhasilan MoU Helsinki dalam mengakomodasi aspirasi rakyat.
Meski begitu, dinamika politik juga melahirkan tantangan baru. Fenomena dinasti politik semakin menguat, dengan jabatan bupati, walikota, hingga kursi legislatif kerap diisi keluarga atau kroni elite tertentu. Mantan kombatan mendominasi politik, namun sebagian gagal mengubah semangat perjuangan menjadi kebijakan pro-rakyat. Partisipasi publik pun menyempit, dimana masyarakat sipil, perempuan, dan pemuda sering sekadar jadi penonton dalam pengambilan kebijakan.
Hal semakin terlihat jelas terjadinya polarisasi antara kekuatan lokal dan pemerintah pusat juga masih terasa. Jika tak dikelola dengan baik, kondisi ini berpotensi mengikis stabilitas yang telah dibangun selama 20 tahun.
Sejak 2008, Aceh menerima lebih dari Rp120 triliun dana Otsus. Infrastruktur tumbuh pesat: jalan, pelabuhan, bandara, hingga sekolah baru bermunculan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh pun meningkat, dari 66,7 pada 2005 menjadi 73,3 pada 2023.
Namun, pembangunan manusia belum sepenuhnya merata. Angka kemiskinan Aceh masih di atas rata-rata nasional, dengan kesenjangan tajam antara kota dan desa. Akses pekerjaan layak terbatas, sementara partisipasi politik perempuan di legislatif masih sekitar 20%, jauh di bawah kuota 30%.
Trauma konflik juga masih membekas, terutama di kalangan generasi muda yang tumbuh dengan narasi romantisme perjuangan, bukan visi ke depan.
Mirisnya lagi kondisi ekonomi Aceh masih bergantung pada migas dan pertanian, sementara diversifikasi industri berjalan lambat. Sekitar 30 persen APBA masih ditopang dana Otsus dan bagi hasil migas.
Padahal nyata keberkahan sumber daya alam, Aceh memiliki potensi besar di sektor pariwisata, kopi Gayo, dan industri kreatif. Sayangnya, hanya 20 persen petani yang terhubung dengan pasar global; sisanya masih bergantung pada tengkulak. Minimnya industri pengolahan membuat nilai tambah lebih banyak dinikmati pihak luar.
Di bidang budaya, identitas Aceh semakin kuat. Namun penerapan syariat Islam kerap menuai kontroversi karena lebih menekankan aspek simbolis dibandingkan keadilan sosial.
Media lokal berperan penting dalam mengawal perdamaian, tetapi kebebasan pers sering terbelenggu kepentingan politik. Pemberitaan kerap bias, berpihak pada elite, atau terjebak sensasionalisme.
Di era digital, media sosial membuka ruang kritik, namun juga rentan terhadap hoaks dan disinformasi yang bisa memecah belah masyarakat.
Berakhirnya Otsus pada 2027 menjadi ujian terbesar bagi Aceh. Selama ini dana Otsus menyumbang sekitar 30 - 40 persen APBA, sehingga kemandirian fiskal menjadi tantangan serius.
Untuk itu, Aceh perlu menata ulang arah pembangunan dimulai dari reformasi politik memfokuskan kepada pencegahan monopoli kekuasaan dan korupsi, dilanjutkan mengubah cara perlakuan arah pembangunan menjadi inklusif yang melibatkan perempuan, pemuda, dan kelompok marginal.
Selain itu dibutuhkan tindakan nyata diversifikasi ekonomi melalui pariwisata, pertanian organik, dan energi terbarukan. Terakhir diperlukan sebagai pilar penting yakni penguatan media independen sebagai penopang demokrasi lokal dan nasional di Aceh.
Perdamaian adalah pencapaian besar, tetapi tidak boleh berhenti sebagai romantisme sejarah. Dua puluh tahun seharusnya cukup bagi Aceh untuk berefleksi: apakah akan menjadi contoh sukses transformasi pasca-konflik, atau justru terjebak dalam ketergantungan dan stagnasi?
Jawabannya ada pada elite politik, akademisi, aktivis, hingga generasi muda Aceh. Jika mampu belajar dari masa lalu tanpa terbelenggu olehnya, masa depan Aceh yang mandiri dan sejahtera bukan sekadar mimpi.
Penulis: Firdaus Mirza Nusuary , Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala