Kamis, 22 Mei 2025
Beranda / Opini / Dokter Spesialis: Antara Materialisme dan Layanan Ikhlas yang Mungkin Terlupakan

Dokter Spesialis: Antara Materialisme dan Layanan Ikhlas yang Mungkin Terlupakan

Kamis, 22 Mei 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Nasrul Zaman

Nasrul Zaman, Dosen Pascasarjana Fakultas Kedokteran USK. Foto: Nukilan.id


DIALEKSIS.COM | Opini - Di tengah dinamika dunia kedokteran yang semakin berkembang pesat, muncul berbagai fenomena seperti kasus bullying yang terus meningkat, penolakan pasien oleh oknum dokter, konspirasi dokter dengan industri farmasi dan berbagai fenomena lain yang kian menggelisahkan kalangan dokter senior, yaitu kecenderungan materialistis yang berkembang di kalangan dokter spesialis muda. Profesi dokter spesialis kini kian dibayangi orientasi materialistis, menjauh dari esensi pengabdian yang seharusnya melekat dalam pelayanan medis.

Fenomena materialisme di kalangan dokter spesialis muda mencerminkan pergeseran nilai yang serius dalam profesi medis. Didorong oleh tekanan sosial, gaya hidup konsumtif, dan daya tarik penghasilan tinggi, banyak dari mereka kini lebih mengutamakan keuntungan finansial daripada pelayanan bermakna. Padahal, pendidikan spesialisasi yang mereka tempuh sebagian besar dibiayai oleh negara dengan harapan pengabdian tulus kepada masyarakat. 

Ironisnya, investasi publik ini justru sering dilupakan, tergantikan oleh orientasi profit yang mengabaikan kualitas layanan dan empati terhadap pasien. Akibatnya, terjadi jurang lebar antara idealisme profesi dan praktik nyata di lapangan. Keikhlasan tergeser oleh ambisi ekonomi, memicu kegelisahan para dokter senior yang menegaskan bahwa kedokteran adalah panggilan moral, bukan sekadar profesi berorientasi untung. Tulisan ini mengajak kita merenungkan kembali makna sejati profesi dokter: antara tanggung jawab publik dan godaan profit semata.

Jika dari sudut pandang faktor ekonomi dan sosial mendorong dokter spesialis muda mengejar keuntungan materi demi mempertahankan gaya hidup tinggi di tengah tekanan biaya hidup dan ekspektasi sosial. Gaya hidup konsumtif serta tuntutan masyarakat akan layanan instan memperkuat orientasi profit, sekaligus mengikis esensi pengabdian dan empati dalam praktik medis. Akibatnya, profesi dokter kian terjebak dalam dilema antara idealisme pelayanan dan realitas komersialisasi.

Pendidikan medis yang terlalu menekankan aspek teknis cenderung mengabaikan pembentukan karakter, etika, dan nilai kemanusiaan. Akibatnya, banyak dokter spesialis muda unggul secara klinis namun minim kesadaran moral dan tanggung jawab sosial, sehingga esensi pelayanan yang ikhlas dan empatik terpinggirkan dalam praktik medis mereka.

Belum lagi dihadapi dominasi orientasi materi di kalangan dokter spesialis mengancam turunnya kualitas layanan kesehatan. Fokus pada profit menggeser empati dan komunikasi, merusak hubungan dokter-pasien, menurunkan kepuasan, dan melemahkan efektivitas perawatan jangka panjang. Ketika layanan medis diperlakukan sebagai transaksi, esensi kemanusiaannya pun hilang.

Mirisnya lagi materialisme yang tumbuh di kalangan dokter spesialis mencoreng citra profesi medis, menggeser persepsi publik dari panggilan mulia menjadi ajang mencari keuntungan dan jalan menuju kaya. Hal ini mengikis kepercayaan masyarakat, merusak relasi dokter-pasien, dan mengancam integritas sistem layanan kesehatan yang adil dan bermartabat.

Mengatasi materialisme dokter memerlukan reformasi pendidikan kedokteran yang menyeimbangkan keahlian teknis dengan pembentukan karakter, etika, dan tanggung jawab sosial. Kurikulum harus menanamkan empati dan dedikasi agar lahir dokter yang tidak hanya kompeten, tapi juga ikhlas melayani seluruh lapisan masyarakat.

Untuk itu pemulihan nilai pengabdian dalam profesi medis menuntut peningkatan kesadaran sosial para dokter, terutama atas pendidikan yang dibiayai publik. Melalui kolaborasi profesi, pemerintah, dan lembaga pendidikan, dokter harus didorong untuk menyeimbangkan tujuan finansial dengan komitmen moral dan pelayanan empatik bagi masyarakat.

Sebagai profesi yang seharusnya berlandaskan pada pengabdian dan kemanusiaan, kedokteran harus kembali mengedepankan nilai-nilai ikhlas dalam pelayanan kepada masyarakat. Kecenderungan materialistis yang berkembang di kalangan dokter spesialis muda tidak hanya merusak kualitas pelayanan kesehatan, tetapi juga mengancam integritas profesi kedokteran itu sendiri. 

Pendidikan kedokteran yang terlalu berfokus pada keahlian teknis tanpa diimbangi dengan pembentukan karakter dan pemahaman tentang tanggung jawab sosial memperburuk kondisi ini. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi seluruh elemen terkait—baik institusi pendidikan, organisasi profesi, maupun pemerintah untuk mendorong perubahan melalui reformasi pendidikan kesehatan dan peningkatan kesadaran sosial. 

Faktanya dokter spesialis, yang pendidikannya sebagian besar dibiayai oleh negara, harus menyadari bahwa tanggung jawab mereka tidak hanya sebatas pada kemampuan klinis, tetapi juga pada pengabdian kepada masyarakat. Melalui refleksi mendalam terhadap esensi profesi medis dan komitmen terhadap pelayanan yang lebih humanis, diharapkan dokter spesialis dapat kembali menjadi teladan dalam memberikan perawatan yang berkualitas dan penuh empati, demi menciptakan sistem kesehatan yang lebih adil dan merata.

Penulis: Nasrul Zaman, Dosen Pascasarjana Fakultas Kedokteran USK

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
hardiknas