Beranda / Opini / Dilema Politik Pragmatis dan Agama di Aceh

Dilema Politik Pragmatis dan Agama di Aceh

Minggu, 01 September 2024 21:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Ilham Catur Fhata
Ilham Catur Fhata, S.E., M.Sc alumni Ovidius University Of Constata dan Kassel University, Germany. Foto: dok pribadi

DIALEKSIS.COM | Opini - Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PILKADA) telah memasuki tahapan pendaftaran calon kandidat yang mana pemilihan kali ini banyak hal diluar kebiasaan yang dipikirkan atau diprediksi oleh masyarakat Indonesia. Termasuk di Aceh, yang mana daerah tersebut memiliki identitas, karakteristik, norma dan budaya yang berbeda dari daerah lainnya dikarenakan otonomi khusus yang diperoleh.

Aceh dengan nilai historisnya yang tidak boleh lepas kaitannya dengan nilai agama, karena Aceh merupakan daerah pertama yang menganut Agama Islam dari masa Kerajaan Samudra Pasai. Maka sejatinya kita sebagai masyarakat Indonesia wajib mencintai dan merawat sejarah itu seperti yang dikatakan bapak proklamator kita yaitu Bung Karno atau Ir. Soekarno yang berbunyi “Jas Merah (Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah)”.

Indonesia yang juga dikenal dengan penduduk agama Islam terbesar kedua ini juga memiliki peran penting dalam Organisasi Kerjasama Islam, sepatutnya kita menjaga nilai Islamnya dan menjadi contoh dikancah Internasional ketika berhadapan dengan negara yang berpenduduk mayoritas agama Islam atau negara Islam dari negara Timur Tengah yang mana menjadi sorotan dunia akan polarisasinya, sedangkan kita tidak.

Lantas nilai itu seolah-olah akan lenyap dalam proses politik yang sedang berlangsung saat ini, ketika kita melihat para ahli agama atau ulama di Aceh yang mengudurkan diri dalam kepengurusannya dari lembaga yang mengurusi hal politik. Apakah itu ada kaitannya dengan politik pragmatis dari pusat? Yang mana telah termarjinalkan atau tereduksi kepercayaan akan politik agama pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019. Jika kita melihat itu sebagai jawabannya, maka itu tidak benar, Presiden Jokowi dengan menggandeng Wakil Presiden Ma’aruf Amin yang merupakan tokoh agama juga memenangkan kontestasi tersebut. Pragmatisme itu juga lepas kaitannya dari tokoh Agama sehingga mempengaruhi hasil elektoral.

Siapapun para kandidat yang terpilih sebagai kepala daerah kedepan wajib hukumnya untuk merangkul kembali para Ulama di Aceh dan mengikutsertakan mereka dalam pengambilan keputusan juga merawat nilai-nilai Islam. Karena peran tokoh agama sangat penting dalam menjaga pluralisme yang ada di Indonesia.

Indonesia bukanlah Negara sekuler yang tidak melibatkan agama dalam urusan politik dan juga bukanlah negara agama Islam yang hanya menekankan nilai teokrasi yang berakhir melahirkan hipokrisi moral maupun etika seperti yang terjadi di Timur Tengah. Sudah jelas tertuang pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini menegaskan bahwa karakter bangsa telah

menempatkan Tuhan pada tempat tertinggi yang sangat istimewa didalam jiwanya, sehingga Agama memiliki peran strategis dalam mengkonstruksikan dan memberikan kerangka nilai serta norma dalam membangun struktur negara dan pendisiplinan masyarakat.

Negara Sekuler dan Negara Islam

Merujuk pada negara sekuler yang mana penduduk dengan Agama Islam mendominasi di Negaranya seperti Turki dan Negara Arab Saudi dengan Bani Saud yang menjadikan Negara tersebut sebagai Negara Islam, apakah kita dapat mencontohkannya? Maka mari kita lihat indeks toleransi dan keberagaman masing-masing negara tersebut. Pada tahun 1923-1928 para imigran yang datang dari geografi Arab seperti Damaskus, Aleppo, Benghazi, Madinah, Tripoli, dan Beirut ke Republik Turki kawasan Konya dan sekitarnya. Saat masa transisi Kekaisaran Ottoman dan Republik Turki, penerimaan kaum muslim terbuka lebar bukan tanpa sebab melainkan faktor Perang Dunia Pertama dan Perang Kemerdekaan Turki yang menyebabkan kemerosotan struktur politik, sosial dan ekonomi. Karena ekonomi Turki pada tahun-tahun itu sangat bergantung pada pada pertanian dan peternakan, kebutuhan akan tenaga kerjapun muncul. Bangsa Arab yang bermigrasi ke Turki dari masa itu sampai sekarang terus tumbuh, sehingga menjadi persoalan bagi warga lokal atau orang Turki itu sendiri terlebih inflasi yang merupakan kemerosotan ekonomi dan perang di timur tengah yang terus bergejolak membuat Turki tetap membuka ruang migrasi bagi para pengungsi. Peningkatan rasisme melawan bangsa Arab terus terjadi di Turki berdasarkan Betul Dogan Akkas dalam tulisannya “How increasing racism has cahanged the Arab perception of Turkey” bagaimana menggambarkan xenofobia yang terjadi dan data statistik orang Arab yang tinggal di Turki.

Jika kita berpegang teguh akan Agama meskipun bukan Negara Agama, maka hal-hal tersebut tidak akan terjadi karena pada kitab suci jelas tertulis untuk saling tolong menolong bagi sesama manusia. Warga Negara Turki yang sudah meninggalkan jauh nilai-nilai agama seolah tidak mempertimbangkan lagi ajaran agamanya sehingga segala sesuatu yang dilakukan tidaklah bedasarkan norma agama lagi, karena sekulerismenya.

Melihat Negara dinasti Bani Saud yang biasa kita kenal sebagai Arab Saudi yang merupakan negara Teokrasi, biasanya dinasti tidaklah mencerminkan nilai-nilai Demokrasi sehingga tidak memberikan kesempatan bagi mereka yang bukan darah biru untuk menjadi seorang pemimpin, yang mana juga sempat menjadi negara miskin yang bergantung pada pertanian subsisten dan wisata religinya. Kesetaraan, dan kesejahteraan rakyatnyapun masih tidak berimbang antara bangsawan atau pejabat dan warga kelas menengah kebawahnya. Sehingga kemiskinan moral dan materil terus berlanjut hingga sekarang, ketimpangan diukur dengan gini coefficient yang mencapai 86% atau 0.8 sehingga dapat dikatakan dengan negara yang memiliki nilai ketimpangan sosial yang tinggi.

Penulis:  Ilham Catur Fhata, S.E., M.Sc alumni Ovidius University Of Constata dan Kassel University, Germany

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI