Beranda / Opini / Di Balik Kebijakan PPN 2025: Menimbang Manfaat dan Risiko

Di Balik Kebijakan PPN 2025: Menimbang Manfaat dan Risiko

Sabtu, 21 Desember 2024 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Alif Alqausar

DIALEKSIS.COM | Opini - Pada penghujung tahun 2024, masyarakat Indonesia dihadapkan pada kebijakan kontroversial pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025, dengan pengecualian untuk sembako. Kebijakan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Pengumuman resmi disampaikan melalui Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, pada Senin, 16 Desember 2024. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan jajaran menteri Kabinet Merah Putih lainnya hadir dalam pengumuman tersebut.

Kebijakan ini menuai kritik tajam dari berbagai lapisan masyarakat, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Meskipun kenaikan hanya sebesar 1%, dampak akumulatifnya terhadap total belanja konsumen dinilai sangat signifikan.

Gelombang protes muncul di berbagai platform media sosial, dengan munculnya petisi penolakan yang mendapat dukungan luas. Per tanggal 20 Desember 2024, petisi bertajuk "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" telah mengumpulkan lebih dari 142.000 tanda tangan dari target 150.000 di platform change.org. Tagar #PajakMencekik dan #TolakKenaikanPPN menjadi trending topic di media sosial.

Aksi protes tidak hanya terbatas pada petisi online. Berbagai kelompok masyarakat, mulai dari aktivis perempuan, mahasiswa, hingga komunitas penggemar budaya pop seperti K-Popers, Wibu, dan gamers, mengorganisir demonstrasi ke Kantor Sekretariat Negara. Sebagai bentuk perlawanan alternatif, muncul pula gerakan gaya hidup minimalis yang mengajak masyarakat mengurangi konsumsi barang-barang terdampak PPN.

Jika korelasikan menurut teori ekonomi Keynesian, konsumsi rumah tangga merupakan komponen krusial dalam pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, penurunan konsumsi akibat kenaikan PPN dapat memicu efek multiplier negatif terhadap perekonomian secara keseluruhan.

Studi empiris yang dilakukan oleh Simon James (2012) terhadap negara-negara berkembang menunjukkan bahwa setiap kenaikan PPN sebesar 1% berkorelasi dengan penurunan pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 0,32-0,51% dalam periode 2-3 tahun. Temuan ini sejalan dengan teori elastisitas harga permintaan, di mana kenaikan harga (termasuk pajak) akan mempengaruhi kuantitas permintaan barang dan jasa.

Akibat kenaikan pajak tersebut, direspon Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, dalam CORE Economic Outlook 2025, menegaskan bahwa tahun 2025 merupakan tahun krusial bagi Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% dan visi negara maju 2045. Namun, target ini sulit tercapai jika konsumsi masyarakat, yang berkontribusi 50-55% terhadap PDB, tidak dijaga stabilitasnya.

Selanjutnya dalam perspektif makroekonomi, penurunan konsumsi masyarakat dapat memicu efek domino:

  1. Investasi sebagai motor pertumbuhan ekonomi kedua terbesar berpotensi melemah akibat penurunan permintaan domestik.
  2. Penerimaan negara dari PPN mungkin tidak akan meningkat signifikan jika volume transaksi menurun.
  3. Potensi peningkatan ketimpangan ekonomi, mengingat beban pajak regresif cenderung lebih berat dirasakan oleh kelompok berpendapatan rendah.

Data menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, sekitar 9,7 juta orang dari kelas menengah telah mengalami penurunan kelas ekonomi. Fenomena ini mengkhawatirkan mengingat kelas menengah menyumbang 40% dari total konsumsi nasional.

Lantas apa esensi dari kesimpulannya, meskipun pemerintah berargumen bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk menjaga kesehatan fiskal negara, berbagai analisis menunjukkan bahwa dampak negatifnya terhadap konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi mungkin lebih besar dibandingkan potensi peningkatan penerimaan negara. Kebijakan ini perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan fiskal negara dan kesejahteraan masyarakat.

Penulis:  Alif Alqausar (mahasiswa komunikasi penyiaran Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI