kip lhok
Beranda / Opini / Di Aceh, PNS adalah Masa Depan

Di Aceh, PNS adalah Masa Depan

Selasa, 31 Agustus 2021 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Akhsanul Khalis, S.IP, M.P.A. [Foto: Ist.]


"Misteri ijazah tidak ada gunanya, Ketekunan tidak ada artinya. Akan merampok takut penjara. Menyanyi tidak bisa, bunuh diri kutakut neraka. Menangis tidak bisa".

Penggalan bait lagu di atas berjudul “Balada Pengangguran”. Sebuah lagu bernada kritik sosial yang dinyanyikan musisi legendaris Indonesia, Iwan Fals. Bait lagu itu mencermikan sisi depresi akibat ketimpangan sosial. Depresi dalam arti betapa suramnya mencari sebuah pekerjaan yang layak.

Situasi “kebekuan” akibat kesulitan mencari pekerjaan juga menyelimuti sarjana di Aceh. Keterbatasan lapangan kerja saat ini semakin mempersulit daya serap tenaga kerja. Sehingga mempengaruhi minat dan mengarah kepada corak pekerjaan tertentu yang eksklusif.

Situasi yang kian terdesak karena tidak tersedia variasi pekerjaan. Pilihan menjadi "Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah kunci". Berebut profesi sebagai PNS suatu keniscayaan.

Kutukan CPNS

Saat ini PNS merupakan hal yang paling diminati dalam benak anak muda Aceh. Tak dapat dipungkiri profesi PNS sebagai magnet yang memiliki daya tarik luar biasa.

Banyak sarjana lulusan universitas terkemuka, dalam dan luar negeri tidak luput juga dari godaan ingin menjadi PNS. Tak jarang juga keinginan menjadi PNS mendapatkan cibiran segelintir orang: “hari gini masih bercita-cita jadi PNS”. Bagi mereka yang mencibir. Beranggapan, profesi PNS sudah kuno.

Komentar itu pun patut kita ragukan, kemungkinan hanya ada dua. Pertama, bisa jadi orang itu memendamkan perasaan kecewa tidak lulus PNS.

Kedua, layaknya gengsi penggemar rahasia film India, benci tapi suka. Malu-malu menyatakan keinginan jadi PNS, padahal dalam hati suka.

Tinggal memilih berdiri pada kategori mana antara kedua itu. Intinya idealisme anti-CPNS dipertanyakan, saat ini secara kolektif mindset menjadi PNS sulit dielakkan.

Keinginan bekerja sebagai PNS bukanlah problem tenaga kerja di Aceh semata, tetapi juga nasional. Kelihatan di Aceh pilihan bekerja menjadi PNS terkesan lebih diterima selera pasar.

“Selera pasar” itu terbentuk karena kebiasaan (habituasi) terkait pola pikir masyarakat. Anggapan masyarakat, profesi PNS bisa memberikan jaminan masa depan: punya gaji bulanan dan segala hak istimewa yang ada.

Profesi PNS menjadi contoh standar kesuksesan dalam kelas sosial. Jangan merasa heran apabila setiap dibuka lowongan CPNS disambut antusias. Kesempatan kerja sudah di depan mata.

Tingkat antusiasme menjadi calon PNS bisa dilihat berdasarkan gejala sosial masyarakat. Besar kemungkinan setiap mahasiswa setelah lulus langsung “tancap gas” giat mempelajari materi CPNS yang terkenal tingkat kesulitannya.

Mempelajari setiap materi ujian CPNS dilewati berbilang hari dan bulan dengan penuh suka duka. Bukan hal aneh setelah sarjana kembali mengulang ilmu matematika dasar dan wawasan kebangsaan. Buku-buku semasa perkuliahan sementara bertengger di lemari menunggu pensiun dini.

Tak hanya itu, pemandangan lain yang tak kalah dramatis. Terlihat wajah lelah penuh iba rela mengantri berjam-jam pada hari pelaksanaan ujian CPNS.

Terbayang guratan wajah peserta CPNS yang dilanda rasa khawatir. Kelihatan seperti akan menjalani detik prosesi eksekusi mati.

Perasaan khawatir itu akan membuncah lagi ketika tes dikatakan usai. Sedetik kemudian, keterangan hasil tes di layar komputer menjadi asbab ekspresi wajah langsung berubah. Kelihatan raut wajah nanar efek menelan pil pahit kekecewaan, tidak lulus.

Klimaksnya saling berbagi motivasi : kalimat penghibur terucap dari bibir peserta tes, dengan nada berat, setengah terbata-bata. Ucapan itu menjadi penawar rasa kecewa bagi mereka yang belum beruntung. Hal itu tidak sedikit pun menyurutkan harapan dalam menggapai mimpi mendapatkan SK PNS.

Tidak menunggu waktu lama. Perasaan pupus gagal lulus tes CPNS bukanlah masalah besar. Karena angka peserta yang tidak lulus sangatlah besar. Sudah menjadi ciri tabiat manusia : takut merasa sendiri. Alasan itu mampu mengembalikan semangat yang sebelumnya sempat runtuh dihantam kegetiran.

Detik itu juga motivasi muncul lagi: dengan tagline “menunggu seleksi CPNS tahun depan”. Konon katanya, sarjana di Aceh rata-rata pernah mengikuti minimal tiga kali tes CPNS.

Fenomena lain yang juga tidak kalah menggelitik pikiran dan hati kita. Tentang kondisi tekanan psikis setiap orang tua. Mereka harap-harap cemas memikirkan dan menunggu kapan anak dan menantunya lulus sebagai PNS.

Mungkin ada yang ingin bertabayun agar terbebas dari asumsi, silahkan survei sendiri. Perkara seberapa besar indeks kebahagian orang tua di Aceh bila mempunyai anak plus menantu berprofesi sebagai PNS.

Nah, kisah dramatis dan ironis tentang dunia persilatan CPNS tidak berbeda dengan kisah Sisifus di dalam karya essai Albert Camus.

Camus terkenal sebagai filsuf dan sastrawan beraliran filsafat absurdisme. Sebuah filsafat yang menjelaskan kesia-sian manusia dalam mencari makna tentang kehidupan.

Mitos Sisifus kemudian hari ditenggarai sebagai rujukan bagi yang menyukai genre filsafat absurditas. Mengenai Sisifus, Ia adalah seorang raja yang menerima kutukan Dewa Zeus.

Bentuk kutukannya yaitu berupa mendorong batu besar ke puncak gunung dalam waktu tak terhingga. Ketika batu sudah sampai ke puncak gunung, dalam sesaat batu itu kembali jatuh menggelinding ke bawah.

Sisifus terus melakukan pekerjaan itu sampai berulang-ulang kali. Pekerjaan itu bagi kita kelihatan tidak bisa diterima nalar akal sehat dan sia-sia belaka. Tapi bagi Sisifus, Ia telah menjalani hukuman itu dengan tabah dan bahagia.

Ada pelajaran menarik yang kita petik antara kutukan Sisifus dengan pemburu SK PNS. Keduanya tetap merasakan kebahagiaan kendati terbentur dan berkali-kali gagal. Itulah absurditas manusia: unik, sulit dipahami dan terkadang tidak masuk akal.

Biar pun ingin mengambil jalan pemberontakan mengakhiri kutukan CPNS. Maka itu bukan opsi yang tepat saat ini. Sudah tentu akan berujung sia-sia melawan arus. Profesi PNS sudah amat berakar dalam imajinasi di saat ketiadaaan pilihan pekerjaan yang pasti di Aceh.

Pikiran sudah pada tahap menuju absurd: dangkal dan serba salah oleh situasi. Dalam kepasrahan agar batin sanggup berdamai dengan keadaan. Lahirlah gelak tawa -guyonan, nyeleneh- tentang dimensi sosial-ketenagakerjaan di Aceh.

Kata-kata nyeleneh itu hadir di tengah masyarakat. Salah satunya seperti tersebut dalam idiom bahasa Aceh “Meunyoe kon PNS, pulang peng!“. Terjemahan bebasnya, “di Aceh kalau mau hidup stabil sejahtera kuncinya mesti PNS/birokrat”.

Penulis: Akhsanul Khalis, S.IP, M.P.A

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda