kip lhok
Beranda / Opini / Covid-19, Pelemahan Harga Minyak, Serta Dampaknya Bagi Migas Aceh

Covid-19, Pelemahan Harga Minyak, Serta Dampaknya Bagi Migas Aceh

Selasa, 31 Maret 2020 15:24 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Andy Arfah

Sejak awal tahun 2020 harga minyak mentah dunia mulai terkoreksi, melemah beberapa US Dollar per barrel dari rata-rata harga sepanjang tahun 2019 lalu. Bahkan dalam satu bulan terakhir ini penurunannya semakin tajam, Brent Oil sebagai salah satu jenis acuan harga minyak dunia turun hingga pernah menyentuh angka $26/Barrel, harga terendah selama lebih dari 15 tahun terakhir.

Apa yang menyebabkan harga minyak kembali terjun bebas seperti sekarang ini? Tulisan ini mencoba untuk mengupas sedikit faktor yang menentukan harga minyak dunia dan akan menganalisa dampaknya bagi sektor Migas Aceh.

Faktor Penentu Harga Minyak Dunia

Seperti yang sudah jamak dipahami, faktor fundamental dari terbentuknya harga suatu komoditas adalah fungsi dari pasokan (supply) dan permintaan (demand). Saat pasokan suatu barang/komoditas terbatas dan permintaan kebutuhan akan barang/komoditas tersebut meningkat, maka harga akan bergerak naik, begitu pula sebaliknya.

Demikian pula halnya dengan faktor penentu harga minyak dunia, komponen pasokan dan permintaan memegang peran yang fundamental. Faktor-faktor yang sering kita dengar seperti seperti meningkatnya eskalasi geopolitik, embargo, perlambatan ekonomi, stock minyak dunia, terbatasnya kapasitas kilang-kilang pengolahan, dan lain sebagainya adalah faktor-faktor pembentuk pasokan dan permintaan.

Jika ditinjau pada periode kuartal pertama tahun ini, penurunan harga minyak awalnya dipicu oleh menurunnya sisi permintaan yang disebabkan oleh wabah virus corona. Dimulai dari melambatnya ekonomi di China, Korea Selatan, Italia, dan dengan semakin massif nya dampak wabah corona maka perlambatan ekonomi terjadi hampir di seluruh belahan bumi.

Sebagai catatan, China adalah negara importir minyak terbesar didunia hingga mencapai sekitar 8 Juta barrel perhari, sehingga perlambatan ekonomi di China cukup berpengaruh terhadap permintaan minyak dunia. Sebagai data pembanding, berdasarkan data dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020 lifting minyak bumi Indonesia dipatok sebesar 755 ribu barel per hari dan lifting gas bumi sebesar 1,191 juta barel setara minyak per hari.

Menanggapi penurunan harga minyak tersebut, pada awal Maret lalu organisasi negara-negara eksportir minyak dunia yang tergabung dalam OPEC melakukan perundingan dengan Rusia guna membahas rencana pemotongan pasokan produksi. Perundingan berjalan cukup alot hingga akhirnya tidak membuahkan kesepakatan. OPEC yang dimotori oleh Saudi Arabia mendorong pengurangan pasokan minyak sebesar 1,5 juta barel per hari. Sementara disisi lain Rusia lebih memilih mempertahankan produksi pada tingkat saat ini hingga akhir kuartal kedua.

Respon Saudi atas gagalnya kesepakatan pengurangan produksi untuk mengimbangi permintaan yang terpukul akibat wabah virus corona tersebut cukup mengejutkan, dari semula mengusulkan untuk melakukan pengurangan produksi agar harga terkoreksi positif, Saudi malah berbalik memberikan discount harga jual atas minyak mentahnya.

Tak cukup dengan respon tersebut, mereka juga menambah kapasitas produksinya hingga dunia dibanjiri dengan produksi yang melimpah. Akibatnya, sesuai dengan hukum dasar terbentuknya harga, harga minyak mentah tergelincir dan terus melemah bertahan dibawah $30/bbl dalam beberapa hari ini.

Pertanyaan selanjutnya adalah kira-kira berapa lama kondisi harga minyak rendah ini akan bertahan?

Dengan biaya produksi negara tersebut yang berkisar dibawah $10/Bbl, sepertinya Saudi Arabia masih akan menikmati ‘perang harga’ minyak ini.

Perlambatan ekonomi dunia akibat wabah virus corona juga diprediksi masih akan tetap berlangsung beberapa bulan kedepan, sehingga tetap akan menekan sisi permintaan. Disisi lain, rendahnya harga minyak ini diperkirakan akan memukul produksi Amerika Serikat.

Pemenuhan kebutuhan minyak Amerika Serikat saat ini bertumpu pada produksi dari minyak serpih (shale oil) yang memiliki ongkos produksi cukup besar dan tidak akan ekonomis pada kondisi harga minyak rendah hingga dibawah $50/Bbl. Dalam jangka menengah, maka lapangan-lapangan yang memproduksi minyak serpih akan gulung tikar, sehingga Amerika Serikat kembali akan menggantungkan pemenuhan kebutuhan minyaknya dari import.

Saudi Arabia sebagai negara produsen minyak terbesar di dunia tentu akan mengharapkan dapat menikmati ceruk pasar impor minyak Amerika tersebut seperti sebelum era Shale Oil Boom dimana mereka adalah pemasok terbesar atas kebutuhan impor minyak Amerika.

Dengan melihat kondisi tersebut, walaupun harga minyak akan merangkak naik namun dapat diperkirakan kondisi harga minyak dibawah $50/bbl ini akan bertahan hingga beberapa waktu ke depan.

Dampak terhadap Migas Aceh

Dari sisi penerimaan dana bagi hasil migas, penurunan harga minyak dibanding harga rata-rata tahun lalu tentu akan berakibat pada terkoreksinya penerimaan dana bagi hasil migas Aceh. Target penerimaan DBH dan Dana Tambahan DBH-Migas dalam APBA 2020 sebesar Rp 516 miliar mungkin akan berat untuk terealisasi.

Dari sisi aktifitas hulu migas, volatilitas harga menjadi faktor ketidakpastian dalam menentukan tingkat keekonomian suatu pengembangan lapangan. Dalam kondisi harga minyak yang rendah seperti saat ini, investor migas (di Indonesia dikenal dengan istilah KKKS “ Kontraktor Kontrak Kerja Sama), tentu akan melakukan peninjauan kembali rencana kerja dan anggaran mereka saat ini.

Untuk KKKS yang mengelola Wilayah Kerja (Blok) Produksi, berkaca dari pengalaman tahun 2015-2016 lalu saat harga minyak juga turun cukup tajam, agar dapat terus bertahan dalam menghadapi masa-masa sulit tersebut, KKKS akan memprioritaskan pekerjaan mereka pada kegiatan-kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan produksi, sementara kegiatan penunjang serta pengembangan lapangan sedapat mungkin akan benar-benar dioptimisasikan biaya dan aktifitasnya.

Proyek-proyek pengeboran pengembangan lapangan akan dievaluasi kembali keekonomiannya, jika tidak cukup ekonomis maka akan disusulkan untuk ditunda pekerjaannya hingga naiknya harga minyak dan tercapai keekonomiannya kembali.

Aksi selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan negosiasi kontrak dengan perusahaan penunjang, agar tetap kompetitif harga dan volume pekerjaan dalam kontrak umumnya akan dikurangi, sehingga akan menyebabkan pengurangan kegiatan pada perusahaan penunjang migas juga.

Untuk KKKS yang beroperasi pada Wilayah Kerja-Wilayah Kerja Eksplorasi, rendahnya harga minyak ini akan sangat memukul mereka. Umumnya anggaran eksplorasi dari kantor pusat perusahaan juga akan ditinjau ulang, karena secara psikologis daya tarik untuk meneruskan kegiatan eksplorasi menjadi lesu dikarenakan bila ditemukan cadangan minyak sekalipun, akan sulit membuat Rencana Pengembangan Lapangan (POD) yang ekonomis dengan harga jual minyak yang rendah ini sekalipun dalam rejim kontrak cost recovery.

Mesti diingat pengembalian biaya operasi (cost recovery) KKKS dalam rejim kontrak tersebut dilakukan dengan minyak yang diproduksikan. Dari tahapan eksplorasi hingga keluar tetesan produksi minyak pertama pada umumnya memakan waktu yang amat panjang.

Dalam kondisi harga minyak rendah seperti ini penulis teringkat kembali kata-kata bijak dari Jawaharlal Nehru, “Crisis and deadlocks when they occur have at least this advantage, that they force us to think”.

Semoga dalam kondisi harga minyak rendah dan perlambatan ekonomi seperti saat ini para pemangku kebijakan dan kontraktor migas bisa lebih berfikir out of the box untuk mendapatkan terobosan-terobosan baru agar tetap kompetitif sehingga tetap mampu mengeksekusi rencana-rencana kerja yang sudah ada.

Semoga harga minyak dunia dapat lebih cepat membaik, dan pertumbuhan ekonomi Aceh kedepan akan terus meningkat.

Andy Arfah, Profesional Migas asal Aceh “ Saat ini bekerja sebagai Perencana Bisnis dan Analis Keputusan pada salah satu perusahaan Migas Multinasional, tulisan merupakan Opini pribadi Penulis

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda