kip lhok
Beranda / Opini / Covid-19: Cara Menghadapinya dengan Tafakkur

Covid-19: Cara Menghadapinya dengan Tafakkur

Minggu, 03 Mei 2020 14:34 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh Dr Rita Khathir S.TP M.Sc

Setelah secara resmi Pemerintah menyatakan keadaan darurat untuk kasus corona virus disease covid-19, kondisi sosial kemasyarakatan agak terguncang. Hal ini disebabkan oleh karena cara pencegahan penularannya yang menuntut kita untuk melakukan social distancing (menjaga jarak dengan orang lain).

Berbagai pendapat pun mengalir melalui diskusi online di media sosial, ada yang mensupport tindakan Pemerintah dan adapula yang menyelenehkannya. Kecanggihan teknologi transportasi lintas Negara adalah metode spreading (penyebaran) yang tidak dapat terelakkan, sehingga kita yang hidup di era ini harus segera waspada dan bijaksana.

Social distancing adalah hal yang sulit dilakukan dalam kehidupan kaum muslimin. Berbagai kegiatan sehari-hari, bahkan peribadatan, banyak yang dilakukan secara bersama-sama. Namun kalau kita telisik kembali, sangat banyak pula ajaran Islam yang harus dilaksanakan secara individual atau mandiri. Menguji keimanan seseorang, bahkan dapat dibuktikan di kala kita sendirian, beribadah di tengah malam sunyi tanpa seorang pun yang tahu.

Keikhlasan juga dapat dibuktikan dengan melakukan kebaikan tanpa sepengetahuan orang lain dengan menyembunyikan identitas diri kita. Qu anfusakum wa ahliikum naaran, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. At-Tahriim: 6). Ayat ini juga menjelaskan tentang kewajiban kita untuk fokus pada diri sendiri dan keluarga, mengontrol segala aktifitas diri dan keluarga agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.

Mereview kembali aktifitas kita selama ini, 8 jam bekerja di luar rumah menuntut kita menitipkan anak kepada orang lain, apakah kepada khadim/khadimat rumah tangga, ataupun pada sekolah-sekolah penitipan.

Anak tidak mendapatkan pendidikan awal dalam rumah tangga dari ayah ibunya karena minimnya waktu bersama mereka. Kini saatnya kita fokus pada diri dan keluarga. “Ya Allah Engkau jadikanlah rumah tangga, surga sebelum surga, anak-anak cahaya mata, istri mengikut kata, Tuhan jadikanlah rumahku mesjid mengingatiMu, sumber ilham dan ilmu, tempat hiburan dan ketenanganku dan keluargaku”.

Mungkin selama ini kita lebih nyaman kalau menginap di hotel, kita lebih suka berlama-lama di warung kopi. Mari kita tukar tradisi ini dengan usaha menyamankan diri kita di rumah masing-masing. Mari kita prioritaskan dan lebih banyak tinggal di rumah. Di waktu ini kita akan menemukan kebahagiaan anak-anak yang lebih besar karena bisa bersama para orang tuanya.

Budaya sosial seperti khanduri (keramaian menjamu makan sanak keluarga kenalan) adalah salah satu budaya kita orang Aceh. Khanduri dilakukan dalam berbagai tema seperti pernikahan, kematian, mau naik haji/umrah, naik rumah baru, khanduri blang, khanduri maulid Nabi, khanduri aqiqah, khanduri sunnatan anak, dan masih banyak lagi. Khanduri ini seperti perlombaan sehingga setiap orang mau khandurinya adalah lebih besar dari yang lain.

Saya teringat percakapan beberapa bulan lalu ketika ada warga yang mengundang khanduri maulid ke rumahnya “Kak, datanglah maulid ke rumah kami”, “Ya Insya Allah, ini undangan ke-5, ramai ya orang khanduri di kampung kita”. “Ya, tapi khanduri rumah kami lebih besar dari rumah Pak Anu”, “Oh ya?”.

Sekian banyak kegiatan khanduri ini ternyata tidak berdampak pada penurunan angka kemiskinan atau kelaparan karena tujuan nya telah berubah demi popularitas, dan bahkan lebih banyak menjamu orang yang kenyang daripada orang yang lapar. Ada juga orang yang miskin terikut dalam perlombaan ini sehingga harus berhutang sana sini untuk terselenggaranya sebuah khanduri.

Dalam masa darurat corona, mari kita renungkan bersama, apakah Islam mengajarkan hal sedemikian? Corona menuntut kita untuk membatalkan semua rencana khanduri ke depan karena banyak mudharat yang akan ditimbulkan terutama case penularan covid-19.

Penyakit-penyakit sosial yang menjamur di tengah masyarakat mendapatkan masa penyembuhan melalui karantina Covid-19. Kita lihat pertumbuhan angka pengemis “orang yang berprofesi sebagai peminta-minta (tasawwul) untuk kepentingan pribadi” yang tinggi, walau Pemerintah sudah menghimbau agar masyarakat tidak memberikan uang pada pengemis, banyak orang tidak dapat menahan dirinya sehingga pertumbuhan angka pengemis tetap saja tinggi.

Profesi mengemis tidak sesuai dengan ajaran Islam. “Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya“. (Shohih. HR. Bukhari no. 1474, dan Muslim no. 1040 ).

“Barangsiapa meminta-minta kepada manusia harta mereka untuk memperbanyak hartanya, maka sesungguhnya dia hanyalah sedang meminta bara api. Maka silahkan dia kurangi ataukah dia perbanyak ”. (Shohih. HR. Muslim II/720 no.1041, Ibnu Majah I/589 no. 1838, dan Ahmad II/231 no.7163). Mari kita berdoa agar masa social distancing ini bermanfaat untuk menghilangkan para pengemis di daerah kita.

Lalu apakah kita tidak mampu menjalani hari-hari tanpa direct social contact? Teknologi telah memungkinkan kita melakukan online social contact. Social distancing yang harus kita jalani sekarang hanya in direct meaning, toh kita tetap bisa saling kabar mengabari. Kita dapat menjalani hari-hari karantina dengan tetap mengetahui informasi melalui jaringan sosial online. Bagaimana kita menyepelekan seruan Pemerintah, sementara Para ulama telah mengeluarkan fatwa menggugurkan pelaksanaan shalat jumat untuk sementara waktu, sampai Pemerintah menyatakan keadaan aman dari wabah covid-19. Kepatuhan kita bersama melakukan ini adalah kekuatan untuk mempersingkat masa darurat corona ini. “Taatilah Allah, Rasul dan Para Pemimpin di antara kamu” (QS. An. Nisa’ : 59).

Umat Islam adalah ummat yang pertengahan. Salah satu maknanya adalah kita bukan ummat yang super social sehingga tidak dapat hidup tanpa kegiatan sosial, dan kita juga bukan ummat yang super individual sehingga hidup dengan hanya mementingkan diri sendiri.

Kini saatnya kita membuktikan bahwa kita adalah ummat pertengahan, dan menjadi orang-orang yang selalu berpikir untuk kebaikan dan ketaqwaan. Allah SWT menurunkan wabah ini dengan kekuasaan Nya, tentu ada hikmah dibalik peristiwa ini, dan menjadi tugas kita adalah memetik hikmahnya dan menjadikannya sebagai sumber penguat keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Selama ini kita tidak hafal doa memohon perlindungan dari wabah, mari mulai sekarang kita hafalkan doa ini dan ajarkan pada anak cucu kita sebagai suatu kekuatan dari dalam.

Allahumma inni a’uuzubika minal barshi waljunuuni waljudzami wa minsayyiil asqaam. Ya Allah aku berlindung pada Mu dari penyakit supak, gila, kusta dan penyakit-penyakit yang buruk. Dengan segala rahmat Mu kabulkanlah ya Allah. Amiin.

Dr Rita Khathir S.TP M.Sc, Dosen Fakultas Pertanian Unsyiah dan Pemerhati Sosial. Email : rkhathir79@gmail.com

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda