kip lhok
Beranda / Opini / Ceumeulhoe: Kata yang Mulai dilupakan

Ceumeulhoe: Kata yang Mulai dilupakan

Selasa, 07 Juni 2022 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Akhsanul Khalis M.P.A. [Foto: Istimewa]


Sebagai orang yang besar dan hidup dalam tradisi kaum petani. Kita merasakan pergeseran nilai tradisional masyarakat petani (agraris) khususnya di Aceh. Saat ini prosesi meugoe (bertani): mengolah sawah dari tahap membajak tanah (keumeukrok), menanam (seumula), memanen(keumeukoh; ceumeulhoe) tidaklah serumit dulu, semua kian praktis dan mudah. Atas nama efisiensi produksi pangan dan kesejahteraan, penggunaan dan penguasaan alat pertanian terus dikembangkan ke arah mekanisasi pertanian.

Tradisi dan segala istilah bahasa dalam dunia meugoe pun mungkin bisa diprediksi kedepannya akan digeser menuju jurang kepunahan. Selama fase revolusi dunia pertanian, selain merubah cara teknik bertani sekaligus juga menghilangkan istilah dalam bahasa Aceh.

Di antara ketiga cara dalam proses bertani itu, kemungkinan salah satu istilah yang akan mulai asing diucapkan dan didengarkan adalah kata ceumeulhoe. Karena saat ini teknik memanen total mengunakan proses mekanisasi. Contohnya mengunakan Combine harvester yang merupakan salah satu tipe mesin panen yang bisa dioperasikan sekaligus untuk kegiatan memotong, memegang, merontok dan membersihkan.

Maka tidak heran cara memanen ala "high-technology" agak kurang cocok disebut dengan kata ceumeulhoe. Saat ini tak heran, petani di Aceh mulai sering menyebutkan istilah memanen padi: 'koh pade ngon meusen', tidak sesederhana dengan kata ceumeulhoe.

Memang istilah ceumeulhoe bagi generasi tua di Aceh tentu lebih banyak yang tahu, dibandingkan generasi muda saat ini - generasi milenial s.d Z-. Kalau dilakukan survey ke generasi muda yang tinggal di desa -lebih ke masyarakat sub urban/kota-. Kita tanya apa itu ceumeulhoe ? bisa dipastikan menjawab: rata-rata tidak tahu. Namun sebagian generasi milenial kelahiran (tahun 80 s.d 90-an) yang memang hidup dalam kultur agraris meskipun tinggal di kota, ingatan mereka bisa dipastikan tidak asing dengan istilah ceumeulhoe.

Mengenal Ceumeulhoe

Kata ceumeulhoe merupakan akar kata dari lhoe, kalau diartikan secara leterlek dalam bahasa Indonesia akan sulit dicari padanan kata yang pas. Lhoe itu bisa dimaksudkan dalam konteks dunia petani: merontokkan bulir-bulir padi dari tangkainya dengan cara dipaksa baik itu di injak-injak,dipukul-pukul ke lantai yang sudah ada alas tikar. Pada masa perkembangannya cara ceumeulhoe sedikit lebih berkembang dengan mengunakan mesin perontok manual dan belum terlalu praktis: masih banyak menggunakan tenaga manusia .

Secara tradisional, kebiasaan dalam dunia meugoe, proses mengolah sawah dari hulu ke hilir dilakukan bersama-sama. Begitu juga prosesi ceumeulhoe juga dilakukan secara bersama-sama dalam suatu komunitas/keluarga petani.

Sebelum melakukan kegiatan ceumeulhoe. Ketika waktu panen telah tiba, pekerjaan pertama yang dilakukan adalah "keumeukoh" artinya rumpun padi harus dipotong pakek sabit/arit atau celurit dan kemudian disatukan dengan diikat. Rumpun padi yang sudah diikat dalam bentuk gulungan dinamakan "nibai".

Para petani dengan berbagai usia mau itu tua muda, perempuan dan laki-laki semua terlibat untuk mengangkat nibai satu persatu. Agar nanti dilakukan proses perontokan bulir padi (ceumeulhoe). Nibai Kemudian dibawa untuk dikumpulkan dan disusun rapi dalam bentuk lingkaran pada satu tempat agak kering dan lapang. Dalam bahasa Aceh proses itu disebut (peuphui nibai)

Kegiatan ceumeulhoe yang meskipun menguras tenaga dan lama, suasananya tetaplah meriah: suara ibu-ibu sesekali menyelipkan canda mengisi waktu sembari tangan memisahkan bulir padi dengan jerami. Kaum laki-laki tidak ikut ketinggalan juga, sesekali berteriak mengetarkan melemparkan humor-humor segar. Ketawa sumringah sambil menanti bulir-bulir padi jatuh dari tangkainya yang menjuntai.

Sesi istirahat: berteduh dan makan bersama (meuramin) serangkaian nilai kesakralan di tengah prosesi ceumeulhoe. Kaum perempuan sudah menyiapkan dengan segala bekal makanan dan minuman: nasi putih, sambal, ikan asin, telur asin, kuah plik u yang sering kali menggugah selera, dan tidak lupa dengan seduhan minuman penutup yaitu kopi.

Akhir kebersahajaan

Inti kehidupan masyarakat agraris pada dasarnya adalah kehidupan kolektif. kehidupan kelas petani disemai dan dipupuk dengan semangat kebersamaan; kehidupan saling berbagi. Maka dalam tradisi meugoe juga banyak mengantur distribusi ekonomi rumah tangga masyarakat desa. Sebelum adanya mekanisasi pertanian, proses meugoe dari hulu ke hilir semua ikut terlibat tanpa memandang gender. Misalkan datang musim panen keumeukoh, pekerjaan ini dominan dilakukan oleh kaum laki-laki.

Modal mereka hanya tenaga dan skill mengunakan sabit pemotong padi, dengan kemampuan itu mereka mendapatkan upah kerja harian. Begitu juga seumula (menanam) dan ceumeulhoe (memanen) itu banyak digeluti oleh kaum perempuan. Banyak petani perempuan turun ke sawah dengan berbagai lintas usia, mereka juga akan memperoleh upah kerja harian dari hasil keringatnya.

Nah akan terasa berbeda ketika proses mekanisasi pertanian secara total dari hulu ke hilir. Alat-alat atau mesin pertanian itu hanya mampu dimiliki oleh segelintir orang. Untuk petani miskin mustahil mampu mereka miliki. Jadi proses distribusi ekonomi rumah tangga masyarakat akan terasa timpang. Dan petani perempuan dan laki-laki yang selama ini bergantung dari hasil upah harian seumula, terutama waktu keumeukoh dan ceumeulhoe seharusnya mereka banyak mendapatkan peluang kerja.

Padahal musim panen adalah musim suka cita bagi petani miskin, perempuan janda, anak yatim. Mereka bergantung hidup menjadi petani upahan. Mereka keluar di pagi hari sampai pulang di penghujung petang, demi mengambil nibai pindah dari satu petak sawah ke sawah lainnya. Akhirnya kita menyaksikan, selain kehilangan istilah bahasa lokal; dari sawah-sawah di Aceh ada petani miskin yang kian tersisihkan.

Pemujaan terhadap desa sebagai tempat yang tenang, bersahaja itu sudah sirna dihimpit dominasi industrialisasi. Dan yang menjadi pertanyaannya" apakah kebijakan mekanisasi pertanian dari hulu ke hilir kesejahteraan petani terjamin ? terutama bagi petani yang tanpa memiliki lahan sawah sendiri.

Posisi dilematis ini, atas kehendak perbaikan: kebijakan peningkatan dan keuntungan hasil pertanian, mekanisasi sektor pertanian memang tidak bisa terelakkan. Namun kita juga tidak bisa mengelak atas konsekuensi kesenjangan sosial-ekonomi di tengah kehidupan masyarakat desa dan hilangnya suatu tradisi adat, budaya dan bahasa.

Seperti yang diungkapan Tania Li tentang 'Govermentality' dalam bukunya The Will To Improve (2012), dimana 'kepengaturan' cenderung diterima tanpa paksaan yang pada suatu saat justru dimanfaatkan oleh kepentingan elit-elit borjuasi kecil. Dan menurut Tania Li yang sudah melakukan penelitian etnografi selama 20 tahun pada desa adat di Sulewesi. Ia menemukan narasi pembangunan di desa adat hanya terkesan asal modern dan berpikir seperti masyarakat "kota". []

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda