Cendekiawan Tak Berdialektika
Font: Ukuran: - +
Penulis : Akhsanul Khalis MPA
Akhsanul Khalis MPA
DIALEKSIS.COM | Meminjam kata-kata Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terbesar Indonesia: "adil sejak dalam pikiran". Mungkin Pram mengatakan itu untuk mempertegas kegelisahan atas aktivisme intelektual pada zamannya.
Kegelisahan Pram melihat aktivisme intelektualitas ketika itu, juga hal yang sama kita lihat saat ini. Dimana-mana kita sering melihat dan mendengar cendekiawan berubah beringas dan brutal ketika berhadapan dengan mereka yang berbeda pikiran dan sudut pandang.
Pengaruh Kekuasaan
Menjawab kegelisahan: kenapa level cendekiawan ikut-ikutan terjerumus ke dalam sikap intoleransi terhadap perbedaan pikiran? Jawaban menarik dari Edward Said dalam bukunya Peran Intelektual (1995) bisa menjelaskan fenomena itu. Ringkasnya, Said menjelaskan tentang istilah pemikatan Intelektual. Menurut Edward Said, intelektual dijadikan subordinat oleh kekuasaan agar meredam suara kritikan, sehingga memuluskan praktek penyimpangan kerja kekuasaan.
Bukti pemikatan kaum intelektual oleh kekuasaan sudah kita rasakan saat ini. Pemikatan itu kian sempurna dijadikan kekuatan untuk membungkam perbedaan dan kritikan. Lahirlah cendekiawan berpikiran oportunis yang berubah menjadi "tukang fatwa" penguasa. Tak jarang cendekiawan idealis dan berpikir kritis pun bisa dihukum, hanya gara-gara mengkritik elit penguasa dan oligark. Dan tak dipungkiri kedepan banyak cendekiawan progresif yang berbeda ideologi: pikiran dan tulisannya diboikot.
Beda pandangan berarti sama dengan musuh yang harus diwaspadai dan dikucilkan dari lingkaran sosial. Bahkan tidak jarang terjadi culture cancel (budaya penolakan;boikot massal) sesama intelektual dan kepada semua orang.
Baik di Indonesia atau luar negeri masih banyak ditemukan cendekiawan cum politikus marah-marah ketika berdebat demi menjaga citra rezim kekuasaan. Tak jarang kita menyaksikan politikus pro rezim penguasa yang bergelar Doktor, Profesor ketika ada yang mempertanyakan soal kebijakan, bisnis-bisnis elit kekuasaan. Dengan mudah mereka menebar ketakutan bagi pengkritik: main ancam-ancaman dengan resiko dipidanakan.
Di luar negeri, kaliber ilmuwan bahasa: Noam Chomsky, pengkritik sejati pemerintah Amerika Serikat, dikucilkan dari dunia akademik, bahkan banyak ilmuwan yang tidak senang dengan Chomsky. Bahkan menuduhnya tidak punya otoritas keilmuwan berbicara tentang analisa politik.
Itu sangat bertolak belakang dengan semangat demokrasi, justru hidup di alam demokrasi memberikan ruang kebebasan untuk berpartisipasi dengan mendebatkan isu dan berbagai wacana publik yang sedang berkembang. Suatu wacana yang baik justru wacana yang diperdebatkan di tengah publik, bukan wacana yang dibisukan tanpa cela.
Kelemahan para cendekiawan dalam berdialektika bukti keberhasilan penetrasi kekuasaan. Pemikatan intelektual efektif meninabobokkan segala persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara, Intelektual tidak lagi berpihak kepada yang tertindas dan lemah, justru menindas.
Para pendaku cendekiawan itu, sebenarnya hanya menjadi penumpang gelap dalam sistem demokrasi untuk mendapatkan akses ke kekuasaan. Ketika mereka dekat dengan penguasa. Mereka akan berkhianat, ikut pula menindas. Bukti keajegan dialektika cendekiawan di hadapan penguasa, bukan kali ini saja tapi hampir seusia umat manusia mengenal sistem kekuasaan.
Mungkin kondisi keajegan cendekiawan di hadapan penguasa dan menyerah kepada ketidakadilan relate dengan apa yang diungkapkan Edward Said berdasarkan pemikiran Julien Benda dalam karyanya La Trahison Des Clercs tentang 'pengkhianatan intelektual'. Benda justru menganjurkan, cendekiawan berfungsi sebagai sosok moralis yang melawan pemikiran mainstream dengan menolak 'hasrat-hasrat awam' yang gagal berdialektika.
Belajar dari Sejarah Kelam
Kita semua pernah mendengar dan membaca sejarah partai Nazi di Jerman. Partai berideologi fasisme yang dipimpin oleh diktator Adolf Hitler. Di dalam partai Nazi banyak bernaung intelektual-intelektual Jerman yang kemudian hari menjadi pelaku kejahatan kemanusiaan selama perang Dunia II.
Kolaborasi paling epic antara intelektual dengan kekuasaan dominan berhasil dicontohkan partai Nazi, kolaborasi itu berhasil menciptakan kaum demagog (politik penghasutan dan kebencian) seperti sosok intelektual terkenal Joseph Goebbels. Propaganda menjadi senjata utama kaum demagog. Penghasutan dan suara kebencian di ruang publik menjadi pemandangan biasa. Para Intelektual itu bisa berubah menjadi pendukung dan corong suara kekuasaan otoriter.
Ini hal yang pernah diungkapkan juga dalam penelitian Hannah Arendt, seorang ilmuwan politik, dia menceritakan tentang kasus Adolf Eichmann. Seorang perwira Hitler yang melakukan praktik genosida terhadap Yahudi. Adolf Eichmann padahal sosok yang cukup terpelajar tapi kenapa Ia sanggup berbuat biadab seperti itu?
Selama proses interview, jawabannya Eichmann memang biasa-biasa saja : alasan dia membunuh Yahudi, hanya ingin menjalankan perintah atasan. Kedataran (biasa saja) jawaban itu, menurut Arendt: Kekuasaan otoritarianisme berhasil membuat nalar Eichmann mendangkal atau sering disebut banalitas berpikir.
Eichmann seorang yang berlatar belakang terdidik gagal berdialog antara dirinya sendiri -dia yang kehilangan dirinya-. Ini bukti bahwa wajah kejahatan tidak mesti kelihatan mengerikan. Seseorang kelihatan intelek, lurus pun bisa lebih biadab.
Akhirnya selama Nazi berkuasa banyak cendekiawan dimanfaatkan untuk bekerja mempersekusi dan mengintimidasi kelompok minoritas yang berbeda ras, etnis, agama, aliran politik. Selain itu mereka juga bekerja menyeleksi pikiran dan buku-buku sesuai ideologi rezim penguasa. Buku diseleksi: yang tidak sesuai, dihancurkan.
Berpikir Monolitik
Fernando Baez dalam buku termasyurnya Penghancuran Buku: Dari Masa Ke Masa (2013), Baez mengutip gambaran novel 1984 karya George Orwell tentang negara otoriter yang sengaja membentuk lembaga sensor khusus untuk menemukan dan menghapus masa lalu. Buku-buku ditulis ulang dan versi aslinya dihancurkan dalam perapian rahasia. Joseph Goebbels sendiri adalah seorang biblioklas (penghancur buku) yang tekun melancarkan pembakaran buku oleh Nazi pada 1933.
Menurut Baez, secara umum karakter biblioklas adalah orang yang berpendidikan, berbudaya, perfeksionis, dengan bakat intelektual yang tidak biasa, cenderung depresif, tidak mampu menolerir kritik, egois, mitomania (bohong patologis), dan berada dalam lembaga yang mewakili kekuatan yang sedang berkuasa (kelompok dominan), karismatik, dengan fanatisme berlebihan pada agama atau paham tertentu.
Sebagai penutup, apa yang disebutkan Baez, Edward Said, Julien Benda itu cukup memberikan makna tentang cendekiawan yang gagal berdialektika. Sungguh tanggung jawab intelektual itu sangat besar. Mengutip kembali kata-kata Pram: adil sejak dalam pikiran.
Betapa banyak cendekiawan tanpa ditandai rasa bersalah memanfaatkan mimbar-mimbar agama, forum organisasi masal, media sosial untuk menghasut, memfitnah, memperlihatkan sikap arogansi, mempraktikan bullying baik itu dengan kekerasan verbal maupun tulisan terhadap mereka yang berbeda pandangan pemikiran, politik dan agama. Cendekiawan gagal mengedepankan dialektika: pikiran tidak dibalas dengan pikiran kontsruktif tetapi dibalas memakai “pentungan”.
Situasi seperti itu bisa diukur seberapa kadar intelektualitas cendekiawan publik hari ini, hanya berdebat sebuah isu, kebetulan tidak sesuai dengan seleranya, kemudian berlagak otoriter. Memang cendekiawan yang alam berpikirnya monolitik dan kebetulan hidup di bawah ketiak kekuasaan memang agak sulit berdialektika.
Dipastikan wujud pikiran cendekiawan seperti itu menjadi toxic dalam demokrasi. Kemudian kebebasan berpendapat menemui titik nadirnya. Masyarakat hidup dalam bayang-bayang ketegangan dan kehilangan kenikmatan bercakap-cakap sebagai warga negara.
Penulis
Akhsanul Khalis MPA Alumni Magister Administrasi Publik UGM