DIALEKSIS.COM | Opini - Membaca salah satu media online, saya dikejutkan dengan sebuah narasi. Dalam tulisan yang tidak jelas siapa penulisnya, media online itu memberikan narasi tentang calon dirut BAS, Syahrul. Narasi yang diuraikan mengatakan bahwa Syahrul merupakan penerjemah mantan panglima GAM, Tgk. Abdullah Syafii.
Klaim bahwa Syahrul pernah menjadi penerjemah Panglima GAM harus dibuktikan. Ini bagian penting dalam sejarah Aceh, bukan sekadar bumbu politik. Sangat disayangkan bila hal itu tidak tercatat dalam sejarah resmi. Kita perlu mendesak para kombatan GAM, saksi sejarah, dan para jurnalis yang pernah meliput agar memverifikasi klaim tersebut. Benar atau tidak, ini bukan hanya menyangkut Syahrul sebagai calon dirut BAS, melainkan demi kepentingan sejarah Aceh itu sendiri.
Bila klaim itu benar, berarti selama ini ada kelalaian kita. Nama seorang penerjemah yang punya posisi penting dalam komunikasi GAM dengan dunia luar justru hilang dari catatan sejarah. Padahal, posisi penerjemah dalam konflik sangat strategis. Ia menjembatani pesan, menjaga narasi, dan menjadi pintu bagi dunia internasional memahami konflik Aceh. Kelalaian mencatat sosok itu sama artinya dengan membiarkan bagian penting dari sejarah hilang begitu saja.
Sebaliknya, bila klaim itu tidak benar, maka ia masuk dalam kategori delusi. Francis Bacon, seorang filsuf yang banyak menulis tentang metode ilmiah, menyebut delusi semacam itu sebagai “idola teater” -- yakni kesesatan yang lahir dari cerita-cerita atau panggung sandiwara, di mana manusia percaya sesuatu hanya karena narasi yang terus dipentaskan, bukan karena bukti. Idola teater ini berbahaya, sebab ia menciptakan ilusi tentang prestasi atau kedekatan dengan tokoh besar, padahal faktanya tidak demikian.
Kita juga bisa memakai kacamata Karl Popper. Bagi Popper, sebuah klaim haruslah bisa diuji dan difalsifikasi. Jika ada yang menyatakan “Syahrul penerjemah Panglima GAM”, maka harus ada bukti sejarah: foto, rekaman, kesaksian, atau arsip media internasional yang menegaskan peran itu. Bila klaim tidak bisa diuji, maka ia hanya menjadi mitos. Dan mitos semacam ini rawan dipakai untuk pencitraan, terutama dalam arena politik atau jabatan publik.
Di sini letak bahayanya. Bila sebuah bank daerah, seperti BAS, dipimpin oleh seseorang yang membangun legitimasi dengan klaim tak teruji, maka yang dipertaruhkan bukan hanya reputasi pribadi, melainkan stabilitas lembaga. Idola teater mungkin laku dalam panggung politik, tetapi tidak relevan dalam dunia profesional perbankan. Perusahaan membutuhkan personal branding yang nyata, yang teruji lewat rekam jejak, bukan sekadar pencitraan.
Ia yang ingin memimpin di level tertinggi harus pernah teruji di level bawah. Seorang calon dirut BAS, misalnya, sebaiknya punya pengalaman memimpin cabang atau minimal cabang pembantu. Dahulu, Muhammad Syah pernah menjabat pimpinan cabang Kuala Simpang sebelum menduduki posisi lebih tinggi. Artinya, ada proses pengujian kemampuan manajerial yang konkret.
Saya tidak tahu apakah AD/ART BAS mengatur soal kriteria calon direktur utama. Bila regulasi itu ada, tentu kita bisa menilai secara objektif. Namun bila tidak ada, wajar saja bila BAS sulit berkembang. Sebab, orang-orang bisa saja menduduki kursi tertinggi hanya karena dekat dengan penguasa, bukan karena pernah teruji memimpin.
Di dunia politik, hal ini biasa. Citra bisa dibangun lewat framing, retorika, bahkan klaim tanpa bukti. Namun BAS bukan lembaga politik. Ia adalah lembaga keuangan yang mengelola dana publik, terutama rakyat Aceh. Di sini, logika “idola teater” harus ditinggalkan. BAS memerlukan pemimpin yang punya integritas, kapasitas, dan rekam jejak, bukan sekadar citra.
Kalau pun benar Syahrul pernah menjadi penerjemah Panglima GAM, maka posisi yang lebih cocok untuk dirinya adalah di bidang komunikasi -- misalnya sebagai juru bicara BAS. Itu justru akan menjadi nilai tambah. BAS bisa bangga memiliki humas atau jubir yang pernah berinteraksi dengan wartawan asing. Namun untuk posisi direktur utama, yang dibutuhkan adalah konseptor, manajer strategis, dan pemimpin organisasi yang matang, bukan sekadar keahlian bahasa.
Terakhir, mari kita ingat kembali sabda Rasulullah dalam hadis riwayat al-Bukhari no. 59: “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.”
Hadis ini sangat relevan. Kekuasaan dan amanah harus diberikan pada ahlinya. Bila tidak, kehancuran tinggal menunggu waktu. Maka bila BAS ingin maju, pilihlah pemimpin berdasarkan bukti rekam jejak dan kompetensi, bukan klaim tanpa dasar. [**]
Penulis: Don Zakiyamani (pegiat literasi)