DIALEKSIS.COM | Opini - Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar akan segera digelar di seluruh Indonesia. Sejumlah provinsi telah menetapkan waktu pelaksanaan, sementara lainnya menyesuaikan dengan kehadiran Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia. Komitmen Ketua Umum untuk hadir langsung di 38 provinsi menunjukkan keseriusan partai dalam regenerasi kepemimpinan.
Provinsi seperti Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan tengah menyelaraskan jadwal Musda dengan agenda Ketua Umum. Di Aceh, persiapan terus dimatangkan untuk menjamin pelaksanaan Musda yang aman, tertib, dan produktif dalam menghasilkan kepemimpinan yang visioner, membumi, serta siap bertarung di panggung politik menjelang Pilkada.
Arahan Bahlil Lahadalia yang tegas dalam mengakhiri gaya politik lamban dan penuh keraguan menjadi landasan penting. “Yang kita butuhkan adalah keberanian politik untuk melangkah cepat dan tepat,” tegasnya dalam berbagai forum.
Partai Golkar Aceh terakhir kali mencalonkan kader sendiri dalam Pilkada 2006 melalui pasangan Malek Raden dan Sayed Fuad Zakaria. Meski belum berhasil, langkah tersebut menunjukkan keberanian politik yang patut diapresiasi. Namun, dalam tiga Pilkada terakhir (2012, 2017, dan 2024), Golkar Aceh hanya menjadi pendukung calon dari luar kader. Ini menjadi catatan penting bagi DPP dan DPD I Golkar Aceh, sudah saatnya kader internal kembali tampil sebagai aktor utama, bukan sekadar penonton.
Ketua DPD I Golkar Aceh yang akan terpilih ke depan harus memiliki visi besar, mentalitas bertarung, serta kesiapan politik untuk maju sebagai Calon Gubernur Aceh 2029. Baik melalui kekuatan internal maupun koalisi strategis, arah Golkar ke depan harus berani menetapkan kader sebagai lokomotif perubahan.
Dari beberapa calon yang mencuat, inilah figur-figur potensial, nah siapa yang paling siap, biar masyarakat dan pemilik suara yang menilai, diantaranya :
Andi Harianto Sinulingga (Andi HS), putra Aceh Tenggara ini adalah kader murni Partai Golkar dan telah lama berkecimpung di tingkat nasional. Latar belakangnya sebagai kader HMI serta pengaruh kuat Golkar di Aceh Tenggara, wilayah yang konsisten mengirim kader ke DPR Aceh menjadi kekuatan tersendiri. Secara geografis dan historis, Andi HS adalah representasi basis partai yang otentik, dan secara personal dinilai memiliki kapasitas untuk memimpin serta maju sebagai calon Gubernur Aceh.
Nama kedua ada Teuku Raja Keumangan (TRK), Simbol perlawanan dari Barat Selatan Aceh. Setelah kembali terpilih sebagai anggota DPRA dari Dapil 10, TRK mengambil langkah berani dengan mengundurkan diri dan mencalonkan diri sebagai Bupati Nagan Raya dan menang.
Langkah ini mencerminkan keberanian politik yang langka. Kini sebagai kepala daerah, TRK membawa representasi geopolitik penting dan dinilai layak didorong menjadi Ketua DPD I sekaligus kandidat Gubernur Aceh dari kader internal.
Sosok TRK sendiri saat ini menjabat sebagai Bupati Nagan Raya yang berada diwilayah Barat Selatan Aceh. Keterwakilan wilayah ini juga menjadi aspek penting dalam pertimbangan Calon Ketua Golkar Aceh ke depan di bidang pembagunan kewilayahan. Seperti kesempatan Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia yang berasal dari tanah Papua. Apalagi posisi dirinya tercitrakan warisan Golkar, maknanya mulai dari kakeknya pendiri Golkar, bapaknya kader Golkar hingga dirinya sendiri menjadi kader tulen Golkar. Dari sisi jejak pengalaman teruji baik di legislatif maupun eksekutif, sehingga nilai personalnya diatas rata - rata.
Nama ketiga ada Mukhlis Takabeya, pengusaha sukses dan politisi berpengaruh dari Pantai Timur Aceh. Di bawah kepemimpinannya, Golkar Bireuen meraih 9 kursi DPRK dan menduduki kursi Ketua DPRK. Kini menjabat sebagai Bupati Bireuen setelah memenangi Pilkada 2024. Dengan basis politik yang kuat dan elektoral yang strategis di kawasan timur, Mukhlis memiliki modal politik yang solid untuk naik ke level provinsi.
Nama berikutnya ada Bustami Hamzah. Memang Bustami bukan kader murni, namun ambisinya untuk menjadi Gubernur Aceh membuatnya tertarik memimpin DPD I Golkar. Ia disebut-sebut sudah menjalin komunikasi tingkat tinggi, termasuk sowan ke Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Hubungan kedekatan dengan lingkar kekuasaan nasional menjadi peluang tersendiri, terutama karena Jokowi memiliki kedekatan dengan Ketua Umum Golkar saat ini. Jika benar-benar berkomitmen membangun partai dari dalam, dan bukan sekadar menjadikan Golkar sebagai “tiket”, maka peluang Bustami tetap terbuka.
Nama berikutnya ada Lukman CM, figur senior dan loyalis Golkar yang telah lama berkiprah, terutama dalam jalur politik-bisnis. Meski belum pernah mencalonkan diri dalam kontestasi elektoral, ia dikenal dekat dengan kekuasaan.
Namun, belum tampak keberanian politik yang diperlukan untuk memimpin partai dalam pertarungan besar seperti Pilkada. Ini menjadi pertimbangan penting, loyalitas tanpa militansi bisa menjadi beban strategis.
Hingga kini belum ada satu pun calon yang secara terbuka mendeklarasikan diri. Dinamika internal masih cair dan penuh manuver. Para kandidat terus bergerak di bawah radar untuk meraih restu dari DPP dan Ketua Umum. Belum mengkristalnya dukungan dari DPP menunjukkan bahwa komunikasi politik intensif dan lobi di tingkat pusat menjadi kunci.
Namun, penting diingat bahwa arah partai tidak hanya ditentukan oleh restu politik, tetapi juga oleh kapasitas, konsistensi, dan kesiapan finansial calon. Dalam ekosistem politik modern, ketiga hal ini menjadi penentu keberhasilan memimpin partai sekaligus mencalonkan diri di Pilkada.
Musda ke-12 Partai Golkar Aceh bukan hanya tentang memilih Ketua DPD I. Ini adalah panggung untuk menunjukkan arah baru partai, menegaskan kesiapan kader untuk tampil sebagai pemain utama di Pilkada 2029, dan merebut kembali peran sentral Golkar dalam pembangunan Aceh.
Ke depan, Ketua terpilih harus bukan hanya organisatoris, tetapi juga strategis dan elektabel. Karena pada akhirnya, tujuan utama partai adalah menghadirkan kepemimpinan yang membawa kesejahteraan rakyat, bukan sekadar memenangkan kursi kekuasaan.
Penulis: Teuku Kemal Fasya, Dosen FISIP Universitas Malikussaleh sekaligus Pengamat Politik