Beranda / Opini / Balada Secangkir Kopi

Balada Secangkir Kopi

Minggu, 20 Agustus 2023 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

[Fakhruddin, Penikmat secangkir kopi yang kebetulan seorang dosen di FEB USK. Foto: For Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Wahai sahabatku si secangkir kopi pahit, maafkan aku karena dalam beberapa hari ini jarang menemuimu. sungguh aku merindukanmu, tampilanmu memang hitam pekat namun elegan dan selalu mampu menenangkan hatiku, membantuku menemukan ide-ide yang terkadang gila tapi efektif untuk menyelesaikan masalahku. Ukuranmu yang mini tidak menghalangimu menemaniku melalui gelapnya malam dan pahitnya rasamu membuatku mampu menelan pahitnya kehidupan ini. Engkau membuat aku menyadari bahwa setiap kepahitan yang dilalui bersama rasa sabar, Syukur dan tawakkal kepada Allah SWT akan membawa kepada kebaikan, terima kasih sabahatku.

Secangkir kopi sahabatku, ketemani kau malam ini, agar kita bisa melewati malam yang dingin menusuk tulang. Namun berada disisimu memberikan kehangatan yang tidak terkira. Tiba-tiba memori masa lalu muncul di ingatanku, kala dirimu menemaniku disamping komputer tua pemberian kakakku. Kala itu aku sedang berusaha menyelesaikan tugas akhir kuliah, skripsi itu terlihat berat dan mataku nanar memandang layar. 

Rasanya tak sanggup memahami coretan pembimbing yang detil itu, ingin rasanya melepaskan jari-jariku dari keyboard. kenikmatan yang hadir melalui satu tegukan kopi dari cangkirmu memberikan sinar pada mataku, memberikan arah pada fikiranku dan membentuk bayangan nyata dalam hatiku. jari-jariku tiba-tiba bergerak cepat mengikuti perintah otakku, bergegas merangkai kata dan membingkai kalimat menjadi paragraf berulang kali, diakhir malam itu, revisi proposal skripsiku terselesaikan.

Diujung malam itu, kutatap dirimu tajam, kusampaikan rasa kesalku padamu. Ya aku kesal padamu secangkir kopi… karena engkau terlalu lama memberiku inspirasi untuk menulis. Tetapi jawabmu akhirnya membuatku terdiam, katamu, dirikulah yang membuat masalah karena aku melakukan kelalaian, Aku baru membaca Bismillah dan menegukmu setelah setelah malam larut. seperti biasa, kau tidak menunjukkan rasa kesal walau akulah yang bersalah, akulah yang menimpakan kesalahan itu padamu, akulah yang membuatmu terlihat buruk, namun kau tetap memberikan kehangatan yang aku butuhkan. Setelah puluhan tahun kau menampung keluh kesahku, kini silakan engkau bercerita sahabatku, aku akan mendengarkan.

Secangkir kopi mulai bergetar dan mengeluarkan suara. Dengan suara lirih kau sampaikan bahwa saat ini rumahmu (yang biasa kami sebut warung kopi) sedang ditimpa masalah. rumahmu yang sering terbuka sepanjang waktu dianggap menjadi masalah. Secuil pengunjung yang datang menggunakan keramahanmu untuk melakukan hal-hal yang tidak baik, tidak pantas dan tidak sesuai syariah. Para penjaga kampung kita mengatakan Sebagian dari meja-meja dirumahmu memfasilitasi transaksi seksual, para cerdik pandai mengatakan fasilitas internetmu digunakan untuk mengakses film porno dan bermain game online. karena itu, pemimpin kita memutuskan bahwa jam operasional rumahmu tidak lagi boleh terbuka sepanjang waktu dan harus tutup pada pukul 24.00 WIB.

Aku mencoba memahami kondisi si secangkir kopi. Kupandangi gelembung udara di permukaan kopi berusaha menyelami pekatnya warna kopi dan berusaha menemukan niat jahat didasar cangkir kopi itu. Aku berusaha keras menemukan perilaku jahat secangkir kopi yang memfasilitasi kemaksiatan. Tetapi semakin tajam tatapanku mengintrogasinya tetap saja tidak kutemukan niat jahat itu. Dia masih seperti dulu, secangkir kopi yang memberi inspirasi dan solusi terhadap masalah.

Secangkir kopi memahami tatapan tajamku dan dia melanjutkan ceritanya. Secangkir kopi melihat orang datang silih berganti, ada orang yang datang terlihat hadir untuk sekedar mengobrol dan bermain, namun tidak sedikit pula yang datang untuk bekerja dan belajar. Dari semua pengunjung itu, secangkir kopi tidak tahu apa yang sebenarnya dilakukan oleh mereka. Yang jelas saat ini si secangkir kopi yang harus menanggung akibat dari perbuatan pengunjungnya itu.

Secangkir kopi merasa sedih dan diperlakukan dengan tidak adil. Kebaikannya selama ini terhapus dan dia mendapat “hukuman” akibat perilaku Sebagian pengunjungnya. Aku merasa kasihan dan juga merasa hal ini tidak adil bagi secangkir kopi. Kebaikan secangkir kopi dimanfaatkan oleh Sebagian orang jahat dan orang-orang yang punya hobi bermaksiat. Lalu mengapa secangkir kopi yang harus menanggung akibatnya? Aku teringat peribahasa yang diajarkan orang tuaku: orang yang makan Nangka, secangkir kopi yang kena getahnya.

Secangkir kopi masih merasa apa yang diterimanya tidak adil. Selama ini secangkir kopi cukup aktif membantu pemimpin menggerakan perekonomi dikampungku. Banyak orang yang bekerja dirumahnya, banyak industri rumah tangga menyuplai kue dan makanan guna menemani secangkir kopi. Belum lagi transaksi yang dilakukan penikmat secangkir kopi ternyata juga memperpanjang aliran uang dari kantong para borjuis kepada rakyat jelata. Namun kini secangkir kopi harus tersenyum getir karena perilaku dari sedikit pengunjungnya telah mengurangi kunjungan para penikmat berkurang dan membuat mitra kerja secangkir kopi berkurang. Ia tidak sanggup membayangkan kesedihan para mitranya karena potensi berkurangnya pendapatan. Aku jadi teringat petuah bijak yang disampaikan oleh orang tuaku: jangan membunuh nyamuk dengan menggunakan Meriam.

Waktu terus berjalan hingga mendekati tengah malam dan aku melemparkan pandangan kesekitar si secangkir kopi. Aku melihat ada beberapa pengunjung Wanita dipojok kanan sedang serius mengobrol. Pada sisi yang berlawanan aku melihat seorang anak muda sedang menatap serius ke layar laptopnya, sekilas ia terlihat seperti sedang membaca sebuah artikel berbahasa asing. di meja sebelahnya, segerombolan anak muda tiba-tiba berteriak keras, sepertinya mereka sedang main game online.

Aku jadi merasa bahwa apa yang dilakukan oleh para pengunjung kurang tepat dan perlu dibenahi. Tapi rasanya tetap tidak adil jika menempatkan si secangkir kopi sebagai terhukum. Kutatap kembali anak-anak yang sedang bermain game online itu. Melihat mereka menimbulkan pertanyaan dikepalaku: mengapa mereka mau bermain hingga larut malam? apakah orang tua mereka tidak mencari mereka? apakah tidak ada materi Pelajaran yang mampu menarik perhatian mereka? dimana mereka tinggal? jika mereka anak kost, apakah pemilik kost membiarkan para penyewa keluar masuk tanpa ada Batasan waktu? Inginku bertanya kepada si secangkir kopi, tapi kuurungkan niat itu karena yakin secangkir kopi tidak punya jawaban dan jika sebaliknya, secangkir kopi tetap saja tidak bisa melarang mereka datang berkunjung. Kurasa hal ini menjadi tanggung jawab pemimpin untuk mengetahui. dengan demikian, pemimpin bisa memutuskan harus melakukan apa kepada anak-anak itu, kepada orang tua mereka, sebelum akhirnya menentukan tindakan kepada si secangkir kopi.

Pandanganku beralih ke anak yang sedang serius membaca artikel. aku jadi teringat kepada salah seorang mahasiswaku yang telah lulus sarjana. mahasiswaku ini bercerita bahwa dengan memesan secangkir kopi ia dapat mengakses internet gratis, bisa mengerjakan tugas kuliah hingga menyelesaikan skripsi. Bahkan tidak jarang ia berhutang kepada secangkir kopi. Itu sebabnya mahasiswaku ini sangat berterima kasih kepada warung kopi langganannya. Pernah aku bertanya padanya mengapa sering sekali ke warung kopi setelah lewat Tengah malam, bukankah sebaiknya menggunakan waktu malam untuk beristiraha saja. menurut mahasiswaku, pada malam hari kecepatan internet sangat bagus dan suasana relative sepi sehingga cocok buat belajar. Sebuah alasan sederhana namun logis terutama bagi orang-orang yang kurang mampu namun punya semangat belajar yang tinggi.

Sekarang pandanganku kembali ke meja yang tadi dipenuhi kaum hawa, saat ini sudah meja disebelahnya juga sudah diisi oleh kaum hawa. Tanpa canggung mereka memesan secangkir kopi dan mengobrol. Mereka cantik dan manis seperti halnya wanita aceh lainnya. Tapi dengan perkembangan aceh saat ini, tidak dapat dipastikan bahwa mereka ini memang orang Aceh atau pendatang. 

Satu hal yang bisa dipastikan adalah: mereka cantik dan manis. Fikiranku kembali mengembara dan apa mengapungkan sebuah pertanyaan. Apa bedanya wanita aceh dan non aceh? Aku fikir tidak ada bedanya karena sama-sama wanita. Artinya ada tiga kelompok laki-laki yang harus bertanggung jawab terhadap wanita yaitu ayahnya, saudara laki-lakinya dan suaminya. wanita yang belum menikah merupakan tanggung jawab dari ayahnya atau saudara laki-lakinya sedangkan Wanita yang sudah menikah menjadi tanggung jawab suaminya. 

Apa sih tanggung jawab si laki-laki? Ya secara umum bertanggung jawab untuk mengurus, memelihara dan menjaga wanita. Maka dengan prasangka baik, aku dan si secangkir kopi meyakini bahwa kehadiran para wanita di warung kopi tentunya atas seizin laki-laki penanggung jawabnya. Secangkir kopi tidak masuk dalam golongan yang harus bertanggung jawab terhadap wanita yang datang ke warung kopinya ini. Lalu mengapa secangkir kopi mau menerima kehadiran mereka? karena pada zaman ini warung kopi tidak lagi identic dengan jenis kelamin tertentu sehingga siapa saja (baik laki-laki maupun wanita) bisa datang untuk menikmati secangkir kopi. 

Jika ternyata si wanita menyalahgunakan izin dari lelakinya, mengapa secangkir kopi yang harus kena getahnya? Bukankah ada laki-laki yang harus bertanggung jawab yaitu ayahnya, saudara laki-lakinya atau suaminya… Jelas sekali bukan si secangkir kopi. Dengan demikian seharusnya si pemimpin terlebih dahulu membina, membimbing dan menegur si laki-laki penanggung jawab sebelum akhirnya terpaksa menuntut secangkir kopi untuk tidak lagi hadir di lewat tengah malam.

Lalu bagaimana jika ternyata terbukti para wanita itu memanfaatkan warung kopi untuk transaksi maksiat? Maka kemungkinan besar yang terjadi di warung kopi adalah pemufakatan jahatnya. Tindak lanjut dari kesepakatan dieksekusi ditempat lain yang bisa saja masuk dalam golongan hotel, wisma atau tempat lainnya. Jika si secangkir kopi harus menutup warung lebih awal, lalu bagaimana dengan lokasi tempat eksekusi? tindakan apa yang diberikan kepada mereka? apakah sudah ada penutupan atau pencabutan izin usaha? atau hal ini hanya akan dibebankan kepada si secangkir kopi? Agar keadilan dapat dirasakan maka pemimpin kita harus segera menjelaskan hal ini!

Tiba-tiba aku melihat sepuntung rokok ada disamping si secangkir kopi. Beberapa temanku mengakui bahwa rokok adalah teman terbaik bagi secangkir kopi, sementara temanku yang lain menyatakan rokok bukanlah teman tebaik bagi secangkir kopi. Nah, si rokok ini sudah jelas status hukumnya, sudah ada fatwa MUI yang menyatakan status rokok terletak diantara makruh dan haram. Jadi jika warung kopi yang tidak boleh beroperasi diatas jam 24.00 WIB karena berpotensi terjadi maksiat, mengapa tidak ada pelarangan penjualan rokok? mengapa tidak ada himbauan yang bersifat memaksa untuk menghentikan penjualan rokok? disini terlihat ketidakkonsistenan para pemimpin dalam mengatur warganya.

Masih banyak pertanyaan dikepalaku, namun waktu sudah mendekati pukul 24.00 WIB. walau berat hati tapi aku harus segera pulang. Aku tidak ingin menjadi pihak yang terduga melakukan maksiat hanya karena menikmati secangkir kopi malam ini.

[Penulis: Fakhruddin, Penikmat secangkir kopi yang kebetulan seorang dosen di FEB USK]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda