Balada DOKA
Font: Ukuran: - +
Oleh Akhsanul Khalis
DIALEKSIS.COM - Carut-marutnya masalah pengelolaan dana otonomi khusus Aceh (DOKA), ditambah dengan masalah hukum yaitu korupsi terhadap dana otsus Aceh yang terungkap di depan publik akhir-akhir ini (berdasarkan temuan KPK), menjadi warning bagi pejabat-pejabat serta elit-elit Aceh untuk bermuhasabah diri dalam menjalankan pemerintah yang sesuai tuntunan akhlak dan maqasid syariah.
Apalagi Aceh yang notabene daerah syariat Islam, efek berita tertangkapnya pimpinan daerah (Gubernur Aceh dan Bupati Bener Meriah) berdampak pada penghakiman publik melalui opini tokoh publik yang berada di luar Aceh.
Dana otsus kembali booming dan menyita pro/kontra di media sosial setelah disinggung dalam Acara ILC TV One dengan tajuk "Papua: Mencari Jalan Terbaik".
Rizal Ramli (RR) selaku narasumber dalam acara itu mengkritik penggunaan dana otsus yang tidak tepat sasaran oleh Pemerintah Aceh. Komentar tersebut memberikan stimulasi bagi publik Aceh untuk turut menanggapi masalah ini.
Komentar RR menjadi pukulan telak bagi Aceh. Kenyataan Aceh sebagai daerah syariat Islam tetapi prilaku koruptif pejabat Aceh seperti tak tersentuh oleh hukum yang berlaku.
Publik hanya bisa marah dan curhat di warung kopi yang suaranya memuai bersama uap kopi. Maka sangat pantas apabila dana otsus diibaratkan sebagai "balada", yang dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI) disebutkan sebagai cerita rakyat/dialog yang menyedihkan.
Dana Otsus dan Balada Kemiskinan dan Kesejahteraan
Kembali dengan dana otsus Aceh yang sudah berlaku dari tahun 2008. Pengelolaan dana otsus yang ditentukan oleh UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, pasal 183 ayat (2) menjelaskan Aceh memperoleh dana otsus dalam jangka waktu 20 tahun.
Dalam tahun pertama sampai pada tahun kelima belas besarnya setara dengan dua persen dari plafon dana alokasi nasional dan untuk tahun keenam belas hingga tahun keduapuluh besarnya setara dengan satu persen dari dana alokasi nasional. Jadi sampai pada tahun 2027 Aceh akan menerima dana otsus hingga Rp 163 triliun.
Merujuk pada data BPS, dana otsus yang dikelola oleh Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota belum mampu membebaskan masyarakat dari persoalan kemiskinan.
Justru sebaliknya tingkat kemiskinan di Aceh mengalami kenaikan dari 842.420 orang pada tahun 2013 (17,6%) menjadi 881.260 jiwa (18,05%) pada tahun 2014, dengan sebaran 18,5 % berada di perkotaan dan 81,5 % tinggal di pedesaaan.
Jadi dengan data dari BPS demikian membuat Aceh berada di posisi 26 dari 34 provinsi sebagai daerah termiskin (Heru Cahyono, 2016: Sumber LIPI).
Dana otsus Aceh seperti belum mampu menggerakan roda perekonomian masyarakat. Alokasi dana otsus sektor rill masih sangat terbatas. Sebenarnya sektor rill inilah yang bisa menggerakan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Dana otsus sering sekali digunakan terkait proyek-proyek kecil dan terlalu konsumtif. Bahkan ada sumber dari stakeholder, "ada pihak kabupaten, dana otsus digunakan untuk pengadaan tong sampah".
Apabila dilihat secara komprehensif, dana otsus Aceh masih jauh dari harapan sebagai kekuatan besar dalam pemberdayaan masyarakat.
Dana-dana otsus belum memperlihatkan pembangunan yang signifikan. Untuk menyebutkan bukti-bukti ada banyak penelitian sudah dilakukan. Aktivis dan penggiat LSM juga melakukan monitoring dan evaluasi, banyak kecacatan pengunaan dana otsus selama ini.
Akhir-akhir ini media luar Aceh menyoroti ketidakmampuan pemerintah Aceh dalam mengelola dana otsus Aceh. Bahkan bukan hanya Aceh, kasus otsus Aceh setali tiga uang dengan Papua, sebuah wilayah yang serba kompleks.
Papua kaya akan sumber daya alam dan budaya tetapi sebagian besar penduduk aslinya masih amat miskin. Padahal saat ini Papua adalah provinsi dengan kewenangan Otonomi Khusus UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dengan dana pembangunan per kapita tertinggi di Indonesia Total dana otonomi khusus 2002 -2009 sebesar 9,3 triliun rupiah dan untuk pembangunan infrastruktur 2007 -2009 dananya mencapai 2,5 triliun rupiah (Ikrar Nusa Bhakti dan Natalius Pigay: LIPI)
Menyangkut Aceh, terjadi perubahan-perubahan qanun terkait pengelolaan dana otsus. Lahir Qanun No 10 Tahun 2016, dimana Pemerintah Aceh memiliki kewenangan pengelolaan dana otsus secara terpusat. Dana otsus dikelola 100 persen oleh pemerintah Aceh. Ini berbeda sebelumnya pengelolaan dana otsus dibagi 60 persen dikelola oleh Pemerintah Aceh dan 40 persen diterima langsung dalam rekening pemerintah kabupaten/kota.
Namun pada tahun 2018 sudah direvisi kembali yaitu dana otsus dikembalikan kepada format awal Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2013 dengan pembagian 60 persen untuk provinsi dan 40 persen untuk kabupaten/kota.
Sepertinya akibat perubahan-perubahan Qanun, dana otsus bisa disinyalir sebagai arena perebutan anggaran dalam pengelolaan dana otsus menjadi semacam dana bancakan yang diperebutkan oleh politisi dan elit-elit lokal.
Dengan besarnya dana otsus tersebut pun, konflik perebutan menjadi tak terhindarkan. Istilah: siapa kuat dia yang dapat seolah menjadi semacam pembenaran.
Dalam konteks yang lebih besar, perebutan dana otsus terjadi diantara penguasa provinsi dan kabupaten. Pada kenyataannya di Aceh dengan adanya dana otsus yang besar telah menjadi arena perubutan diantara kedua pemerintahan provinsi dan kabupaten dalam mengelola dana otsus, argumentasi yang digunakan seolah-olah didasarkan atas kepentingan rakyat, hingga saat ini perebutan kewenangan masih terus berlangsung (Siti Zuhro, 2016: LIPI).
Selama ini dana otsus sudah menjadi semacam dana "diyat" untuk saling klaim siapa yang lebih berhak dalam pengelolaan DOKA. Bahkan tahun 2018 konflik semakin meruncing akibat dipergubnya APBA.
Tidak bisa dipungkiri di dalam APBA terdapat dana otsus yang diatur dalam UUPA sebagai sumber keuangan daerah. Apa yang terjadi adalah dana otsus menjadi lahan basah dan riskan terjadi transaksional antara pejabat daerah.
Sebagai bukti, KPK telah mendapati dan menangkap pimpinan daerah terkait fee proyek dana otsus.
Tantangan Berakhirnya Dana Otsus
Tantangan ke depan adalah perihal dana otsus yang punya limit waktu. Apabila tidak dikelola secara sehat dan akuntabel, bisa diprediksi apakah Aceh akan bangkrut. Atau bisa jadi dipertahankan dengan upaya-upaya lobi ke Pemerintah Pusat agar dana otsus diperpanjangkan lagi.
Dana otsus kini menjadi seperti "candu" untuk Aceh, akibat tidak adanya alternatif lain sebagai sumber anggaran daerah.
Di satu sisi Pemerintah Pusat bersikeras akan mencabut dana otsus ke depan. Di sisi lain, berkaca pada beberapa periodesasi pemerintahan, Aceh selalu membawa jargon seperti clean government dan good governance, serta istilah kekinian yang sudah tidak asing ditelinga masyarakat Aceh yaitu "mazhab hana fee". Namun itu hanya jargon politik semata, tidak selaras dengan fakta lapangan.
Masyarakat cenderung mempersalahkan sistem. Sistem birokrasi ikut dipersalahkan sebagai penyebab terjadinya penyelewengan. Padahal selama era keterbukaan, reformasi birokrasi sudah digalakkan. Masyarakat juga bisa pro aktif dalam memonitor jalannya roda pemerintahan.
Birokrasi semakin lama semakin berorientasi pada pelayanan, bukan birokrasi yang hanya fokus pada aturan-aturan menyangkut moral hazard masyarakat yang sepatutnya dilayani.
Namun permasalahan utama sebenarnya ada pada masalah moral pelaku pimpinan dan birokrat. Sering sekali pimpinan pemerintah dan birokrat yang tidak amanah dan jujur, sehingga niatnya tetap berorientasi korup.
Meski kerap mengkampanyekan pemerintah yang bersih, justru kasus korupsi tetap semakin kelihatan ke permukaan. Padahal perkembangan good governance menjadi tema sentral sebagai reaksi terhadap tata pemerintahan yang cenderung korup dan tidak memperhatikan fungsinya yang berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat secara maksimal (Pheni Chalid: 2005).
Kalau boleh mengkoreksi kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan dana otsus Aceh, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah masalah perumusan anggaran harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sejauh mana partipasi masyarakat dalam mengelola anggaran daerah.
Sering sekali dana otsus digunakan tidak tepat sasaran, maka dibutuhkan kreatifitas dan inovasi kebijakan dalam hal penggunaan dana otsus.
Pengelolaan dana otsus menjadi linear dengan ketimpangan masyarakat Aceh, kemiskinan, kesenjangan sosial, ketidaksejahteraan. Sehingga mengerucut pada pengelolaan dana otsus yang buruk. Akibatnya, terjadilah kemiskinan secara sistematis karena dana otsus telah dieksploitasi sedemikian rupa.
Perlu ada kritik-kritik dan pengawasan oleh publik dalam mempersoalkan DOKA, karena tanpa kritik (diam negatif) juga menjadi sebuah masalah. Dalam mengelola pemerintah perlu terus dikritik secara objektif sebagai perwujudan nilai akuntabilitas dan responsibilitas atas mandat rakyat. ()
Penulis adalah alumni pascasarjana MAP Fisipol UGM Studi Kebijakan dan Government .