Beranda / Opini / Bagaimana Aceh-Jawa Bisa Diikat dengan Isu Islam

Bagaimana Aceh-Jawa Bisa Diikat dengan Isu Islam

Minggu, 11 April 2021 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Bisma Yadhi Putra, esais dan peneliti


Selasa pertama di April tahun ini, di lapangan bola desa kami diselenggarakan ceramah agama untuk menyambut Ramadan 1442 Hijriah. Yang didatangkan seorang mubalig beken dari Aceh Tamiang: Teungku Abdul Wahed. Biar hujan, penonton berjibun.

Semua orang tahu pesona Teungku Wahed. Malam itu pun ia menampakkannya. Keilmuan, kejenakaan, dan ketulenan kialnya dipadukan dengan sempurna. Hanya saja tak semua pendapatnya bisa saya terima.

Saya tak sepakat olahraga dianggap tak penting. Selain karena selama ini merasakan betul manfaat olahraga, alasan ketidaksetujuan juga karena Nabi Muhammad sendiri adalah seorang olahragawan.

Nabi memadukan joging dengan memanah. Beliau menembak anak panah ke sasaran yang terletak di kejauhan pada jarak tertentu. Setelah anak panah habis ditembakkan, Nabi berlari ke sasaran tersebut untuk mencabut atau memungut anak panah. Lantas dari sana beliau menembak ke sasaran yang berada di tempat menembak semula. Nantinya Nabi berlari lagi ke target kedua itu untuk tujuan sama. Begitu seterusnya. Jadi ada dua target yang dipakai, dan perjalanan ke masing-masing target untuk mengambil anak panah dilakukan dengan berlari. Katakanlah Nabi memanah sebanyak 5 rambahan (set) pada jarak 50 meter, berarti beliau telah berlari sepanjang 250 meter (walaupun tidak dilakukan sekaligus).

Di luar persoalan itu, saya putus kata dengan semua isi dakwah Teungku Wahed. Termasuk kritiknya terhadap para lelaki yang tak menutup aurat (pakai celana pendek nampak lutut) saat main bola atau futsal, tetapi menuntut perempuan senantiasa berjilbab. Sindirannya terhadap laki-laki yang selalu menyempatkan diri berolahraga namun berat hati melaksanakan ibadah wajib juga sesuatu yang mesti diterima karena bertujuan untuk kebaikan.

Namun dari semua pesan baik yang disampaikan Teungku Wahed malam itu ada satu yang paling saya senangi.

Di menit-menit akhir ceramahnya, beliau menyatakan rasa kagumnya pada ketakziman anak-anak pesantren di Jawa terhadap guru mereka. Dari yang diketahui Teungku Wahed, para santri di Jawa punya kebiasaan menepi dari jalan saat gurunya hendak lewat; anak-anak didik itu tak mau perjalanan gurunya teralang keberadaan mereka. Anak para kiai yang masih cukup kecil mereka hormati pula selayaknya penghormatan atas orang-orang yang sudah tua. Demikianlah akhlak para pelajar Muslim di Jawa yang bikin Teungku Wahed berbunga-bunga.

Bukan berarti ketakziman anak-anak Aceh terhadap para guru (ulama) mereka kalah dari para santri di Jawa. Teungku Wahed misalnya mencontohkan bagaimana seorang ulama karismatik di Aceh sangat mengormati anak perempuan ulama lain yang merupakan sahabatnya. Saya sendiri, di sebuah dayah, pernah melihat langsung kesopansantunan para santri terhadap guru mereka, yang dipanggil “Abi”. Saat hendak melintas di depan Abi, seorang santri mendorong sepeda motornya lalu baru dinyalakan setelah beberapa belas meter jauhnya. Bagi anak-anak dayah, mengendarai sepeda motor di depan gurunya adalah kelakuan yang tidak mulia.

Saat Teungku Wahed membahas keislaman di Jawa itu saya --yang tengah meneliti sentimen anti-Jawa sejak 2018-- segera menguasai diri lagi dari rasa kantuk. Dan berhasil. Apa yang disampaikannya tak cuma penting bagi data penelitian, namun bagaimana ia mesti disebarluaskan. Pesan semacam itu cukup berguna untuk melenyapkan kesan yang tumbuh semasa perang dulu, dalam kerasnya pengejewantahan sentimen anti-Jawa, bahwa orang-orang Jawa tidak islami, dan kalaupun ada yang taat ilmu agamanya tak sebanding dengan yang dimiliki orang Aceh (kurang islami); bahwa hanya orang Acehlah yang paling kuat keislamannya.

Sikap merasa lebih hebat semacam itu sebenarnya tak datang dari lingkungan dayah. Sewaktu perang ia keluar dari mulut para gerilyawan yang melulu melahirkan penilaian-penilaian secara serampangan, baik dalam perkara politik, agama, dan sebagainya.

Misalnya, dengan gampang dikatakan pengajaran fikih di Jawa tidak sebagus di Aceh, sementara telaahan perbandingan tak pernah mereka buat. Maka seringlah terdengar pernyataan-pernyataan macam: “Islam yang betul-betul cuma ada di Aceh” atau “Orang luar Aceh tidak menguasai ilmu agama seperti orang Aceh”.

Setelah perang, asumsi demikian mulai terbukti tak benar. Dengan akses informasi yang kian terbuka dan luas, kini telah diketahui bahwa banyak ulama di Jawa cukup ahli mengulas fikih, cukup menarik ceramah-ceramahnya, cukup mampu mengupas isi bermacam-macam kitab “lanjutan”. Dan anak-anak Aceh mengagumi mereka.

Tasamuh kini terus tumbuh di Aceh, terus bertempat pada banyak orang. Kekaguman atas kebaikan-kebaikan yang ada pada Jawa, seperti yang dilakukan Teungku Wahed, merupakan gejala baru setelah perang yang menunjukkan perubahan sikap tersebut. Semasa perang, kebaikan mengenai Jawa yang diutarakan melulu disangkal. Dan bila ada kebaikan yang sesuai fakta atau benar adanya, justifikasi tertentu dipaksakan demi menyatakan ketidakbaikan atasnya.

Sekarang sikap demikian (keengganan mengakui kebaikan dan keunggulan pada yang lain) telah berbalik. Orang Aceh bukan cuma telah menerima fakta bahwa di Jawa juga banyak sosok yang begitu cerdas dalam bidang-bidang pengetahuan Islam, tetapi juga sangat menghormatinya.

Kalau kita amati, gejala baik seperti ini dalam beberapa tahun tumbuh di lingkungan dayah. Dari dayahlah mekar pikiran yang tak lagi merendahkan orang atau agamawan bersuku atau bertempat di Jawa. Telah disadari bahwa manusia yang ada di Aceh maupun di Jawa sama-sama bisa mempunyai koleksi pengetahuan Islam yang sama banyaknya, sama tingginya, sama dalamnya. Kesadaran inilah yang baik, bukan yang menilai orang lain sebagai “orang Islam rendahan”.

Bisma Yadhi Putra, esais dan peneliti

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda