Kamis, 26 Juni 2025
Beranda / Opini / Aceh Tak Pernah Gagal Merdeka, 20 Tahun Damai, 20 Tahun Dikhianati

Aceh Tak Pernah Gagal Merdeka, 20 Tahun Damai, 20 Tahun Dikhianati

Rabu, 25 Juni 2025 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Rahmatal Riza

Rahmatal Riza, Anggota Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Ar-Raniry Banda Aceh Periode 2025. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Aceh Tak Pernah Gagal Merdeka, Aceh Dijebak untuk Berdamai.

Dua dekade damai. Dua dekade tanpa senjata, tanpa darah, tanpa bunyi letusan di tengah malam. Tapi siapa yang benar-benar damai di sini? Rakyat? Korban konflik? Atau siapa? Mari kita perjelas satu hal. Aceh tak pernah gagal merdeka. Ia hanya dijebak untuk berdamai.

Dari awal, Aceh bukan tanah yang mudah tunduk. Dari Sultan Iskandar Muda yang membakar kapal asing, sampai Hasan Tiro yang menolak “Indonesia” sebagai rumah. Aceh tidak lahir dari kompromi. Ia lahir dari perlawanan. Ketika GAM mengangkat senjata, itu bukan demi kekuasaan dan arogansi semata. Itu karena negara datang sebagai penjajah. Dikirimlah tentara, dibakar rumah-rumah, diburu orang-orang yang bermimpi bebas di tanahnya sendiri.

Saat darah bertumpahan di mana mana, mereka datang dengan kertas dan pena. Menawarkan “perdamaian”, yang sejatinya bukan pengakuan, melainkan penjinakan.

Helsinki bukanlah titik temu. Ia adalah jebakan lunak yang memborgol tangan-tangan perlawanan sambil berkata: “Sekarang kalian boleh bicara, tapi hanya jika kami mengizinkan.” Lahirlah BRA, lahirlah dana Otsus, lahir pula struktur-struktur baru yang katanya untuk rekonsiliasi. Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Para mantan kombatan dijadikan penjaga pagar proyek. Bukan diberdayakan, tapi dibagi-bagi jatah agar diam.

Reintegrasi? Tidak. Ini adalah program pelupaan secara massal.

Lantas siapa yang menang dari semua ini? Bukan orang-orang aceh yang kehilangan suami, anak, dan tanahnya. Bukan pula para janda yang menggantungkan hidup dari bantuan yang tak pernah turun. Tapi para mantan panglima yang kini duduk di meja kontrak. Para elite yang dulu bersembunyi di hutan, kini bersembunyi di balik kemeja putih. Mereka mengganti rencong dengan materai. Mereka memodifikasi kemarahannya dengan proposal. Mereka meredam semangat dengan seminar.

Hasan Tiro tidak mati untuk ini. Beliau tidak mengasingkan diri di Skandinavia agar anak cucunya hidup dalam damai yang semu. Tapi di sinilah kita sekarang, kita berada di keadaan damai yang dipelihara bukan dengan keadilan. Di atas tanah tempat darah dulu mengering, kini berdiri baliho program pemerintah dengan logo kementerian dan slogan “Aceh Bangkit”. Bangkit dari apa?

Sebentar lagi peringatan 20 tahun damai. Mungkin akan ada seminar. Akan ada acara-acara seremonial dan lainnya. Mungkin ada pejabat Jakarta yang datang memuji “Aceh sebagai contoh keberhasilan perdamaian”. Tapi rakyat tetap akan pulang ke rumah dengan dapur kosong, listrik padam, dan berdoa semoga besok masih sanggup menafkahi keluarganya.

Coba tanya pada petani di Aceh yang tanahnya kini berdampingan dengan PLTU. Coba lihat anak-anak di pedalaman Gayo yang sekolahnya masih beratap seng. Inilah “damai” versi negara. Listrik mengalir ke Jawa, batu bara dikirim ke pelabuhan, dan rakyat disuruh bersyukur karena tidak lagi ditembak.

Ini bukan otonomi, ini kolonialisme dengan gaya baru. Jakarta tidak lagi datang dengan senapan, tapi dengan proposal. Tidak lagi mengirim tentara, tapi investor. Untuk menyedot sumber daya. Untuk mengotori udara. Untuk memperkeruh sungai-sungai. Dan saat kita bicara, kita disebut “provokator”.

Apakah ini damai? Mereka bilang kita sudah merdeka secara otonomi. Tapi kenapa suara kita tidak pernah menentukan arah pembangunan?

Kenapa juga kita tetap harus menunggu pusat untuk izin, untuk proyek, dan segala keputusan?

Aceh bukan halaman belakang. Aceh adalah fondasi. Dalam tiap lembar sejarah republik ini, darah Aceh turut menetes. Uang Rakyat Aceh membantu kemerdekaan. Perlawanan Aceh juga mendidik republik tentang arti harga diri. Jadi ketika ada yang bilang Aceh harus “patuh” pada pusat, kita harus bertanya.

Sejak kapan yang setara harus tunduk?

Indonesia bukan hanya Jakarta. Indonesia terdiri dari tanah-tanah yang berdiri di atas luka dan harapan. Dan jika kita betul-betul percaya pada keadilan, maka kita harus mulai melihat Aceh bukan sebagai “daerah istimewa”, tapi sebagai mitra yang sejajar.

Selama ini, narasi dibangun seolah-olah Aceh mendapatkan “keistimewaan”. Tapi mari jujur, keistimewaan macam apa yang membuat listrik padam lima kali seminggu? Dana Otsus itu bukan hadiah, tapi kompensasi atas penderitaan. Begitu juga reintegrasi, reintegrasi bukanlah belas kasihan, tapi kewajiban negara untuk menebus dosa masa lalu.

Maka kepada pemuda Indonesia. Jangan melihat Aceh sebagai “tanah bekas konflik”. Lihat kami sebagai rekan seperjuangan dalam mengawal dan memperjuangkan kemerdekaan. Jangan perlakukan kami seolah kami memiliki hutang pada perdamaian. Karena yang kami inginkan bukan sekadar damai, kami ingin dihormati sebagai rekan yang setara.

Aceh juga bukan “daftar pustaka” pada sebuah buku. Kami adalah halaman pertamanya. Dan kami ingin menulis bagian kami sendiri dengan kepala yang tegak.

20 tahun damai. Tapi siapa yang benar-benar bangkit? Siapa yang benar-benar makan dengan kenyang dari semua ini? Jangan-jangan perubahan itu cuma simbolis. Bendera boleh berkibar, tapi perut tetap lapar. Partai lokal menang, tapi pasar tetap dikuasai.

Bahkan narasi pun kini dijaga. Seolah-olah mempertanyakan damai adalah tindakan kriminal.

Seolah-olah marah adalah tanda tak tahu terima kasih. Tapi kami marah. Dan kami berhak marah.

Karena tanah ini bukan sekedar wilayah. Aceh bukan halaman belakang PLN atau Kementerian ESDM. Kami tidak akan diam saat listrik kami menghidupi papan iklan besar di Jakarta, sementara kami mati lampu seminggu lima kali. Kami tidak akan diam saat debu batu bara mencemari napas anak kami, sementara pejabat bicara transisi energi.

Kami tidak akan tunduk pada narasi pembangunan yang hanya membangun pusat, tapi menghancurkan pinggiran lalu mereka menyalahkan kami karna tak mampu berkembang. Karena ketika pusat bicara tentang “investasi strategis nasional”, yang terjadi di sini adalah penggusuran, perampasan, dan penghancuran.

Ketika pusat bicara “transisi energi hijau”, yang terjadi di sini adalah kami mati pelan-pelan di tengah tambang dan PLTU.

Ketika pusat bicara “damai dan toleransi”, kami dipaksa menerima kenyataan bahwa satu-satunya yang boleh marah adalah mereka yang punya kuasa.

Kepada pemuda yang membaca ini, sadarlah.

Kamu sedang dijinakkan dengan beasiswa, seminar, dan lomba-lomba poster tentang perdamaian. Tapi damai macam apa kalau kau tidak boleh bertanya? Damai macam apa jika sejarah kita disensor dan derita kta dikomodifikasi?

Jika menjadi “baik” artinya diam dan ikut arus, maka lebih baik kita buruk tapi jujur. Kita bukan generasi penerus kebohongan. Kita adalah pewaris luka. Luka ini bukan untuk dilupakan, tapi untuk diingat agar tak terulang kembali.

Penulis teringat sebuah momen di mana seorang kawan menyampaikan arti dari “kenapa rencong di letakkan di depan sedangkan keris di belakang”. Di tanah ini, kemarahan tidak pernah datang tanpa sebab. Ia tumbuh dari tubuh-tubuh yang dikubur tanpa nama secara massal, dari rumah-rumah yang diratakan oleh api, dari pejuang-pejuang yang hilang tanpa jejak.

Dan ketika hari ini kita menyebut nama-nama itu, negara menyuruh kita diam.

Tapi kami tidak akan diam. Kami akan menyebut semua itu dengan lantang. Karena sejarah bukan milik pemenang. Sejarah adalah milik mereka yang berani melawan lupa.

Dan ketika mereka menggelar acara bertuliskan 20 TAHUN DAMAI, tanyakan pada dirimu. Apakah damai ini adil? Tanyakan lagi. Siapa yang merdeka? Siapa yang berdaulat? Dan siapa yang terus ditundukkan dalam senyap?

Aceh tidak kalah. Aceh disabotase. Dan sekarang, giliran kita bicara. Bukan dengan peluru, tapi dengan kata-kata yang menggigit.

Dengan ingatan yang tajam. Dengan marah yang tidak lagi bisa dibungkam.

Jika kita tidak bicara hari ini, kita akan mewariskan kebungkaman pada generasi selanjutnya. Dan itulah kekalahan sejati. Jadi mari kita buka semua luka. Jangan ditutup. Jangan dibungkus. Biarkan ia bernanah di hadapan publik.

Biar semua tahu, damai ini bukan akhir. Ini hanya awal dari pengkhianatan yang terbungkus sangat rapi.

Dan kalau negara masih merasa berhak mengatur bagaimana kita harus bersikap. Maka kita juga berhak berkata. Cukup. Kami bukan boneka di panggung teater pembangunan nasional.

Kami adalah Aceh. Manusia yang ingat, dan tak akan pernah diam! [**]

Penulis: Rahmatal Riza (Anggota Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Ar-Raniry Banda Aceh Periode 2025)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
dpra