DIALEKSIS.COM | Opini - Self - Government bisa dibilang pikiran yang diselundupkan Damien Kingsbury ke meja perundingan. Dan, ketika pihak GAM meletakkannya di atas meja perundingan suhu perundingan seketika, menjadi panas.
Padahal saat itu, Helsinki sedang musim dingin. Suhu di ibu kota Finlandia saat itu, merujuk laporan media, berkisar antara -1°C hingga -13°C, dengan beberapa hari mencapai suhu ekstrem hingga -15°C B C. Salju dan langit mendung dilaporkan mendominasi sebagian besar hari-hari kala itu.
Saking “panasnya,” Jusuf Kalla sebagaimana dikisahkan oleh Farid Husain” sampai memutuskan untuk “menculik” Damien Kingsbury secara rahasia ke rumahnya, di Jakarta. Kata Farid Husain, JK ingin mendalami langsung soal self government dari sumbernya.
***
Saya, yang bukan siapa-siapa berkesempatan membaca soalan self-governing yang dimuat di The Jakarta Post pada 25 Januari 2005. Judul artikel yang ditulis Kingsbury: “Aceh's Disasters Could Herald Political Change.”
Dari 5 opsi yang ada untuk mengakhiri konflik Aceh, Kingsbury menyelundupkan self-governing yang disebutnya sebagai genuine autonomy.
“Genuine autonomy is not for the politically faint-hearted. It would require that Aceh become a self-governing state in all matters but foreign affairs, aspects of external defense, and elements of taxation. It would also require locally-based political parties, including GAM. More than anything, it would require that Aceh alone be responsible for the imposition of its own, locally defined, law (be that sharia or otherwise).”
”Damien Kingsbury, 2005
***
Usulan Kingsbury tentang self-governing, disambut baik oleh GAM. Dan, menurut Farid Husain, GAM berungkali mengangkat usulan self-government.
Bagi GAM, Istilah ini dinilai lebih dekat dengan makna Independence. Juga, dapat menghindari dari istilah otonomi khusus dari RI yang dinilai sebagai topeng politik RI. Akhitnya, kedua pihak bertemu dalam “Governing Aceh”.
Dalam self - government itulah terkandung poin kewenangan Aceh untuk mengurus diri sendiri, termasuk dalam pembentukan partai politik lokal. Partai politik lokal perlu kita angkat karena menjadi kunci demokrasi. Dalam sistem apapun negara atau daerah bisa mengurus diri sendiri. Tapi, dalam demokrasi, kuncinya adalah partai politik.
Bagi RI, self-government terkait partai politik lokal awalnya mendapat penolakan. Suara penolakan bahkan masih terdengar hingga awal Juni 2005. Padahal, usulan self-government sudah diletakkan di meja perundingan sedari awal. Ini terlihat dari penolakan yang dikemukakan Menko Polkam Widodo Adi Sucipto pada 8 Juni 2005.
Tapi, pada 16 Juli 2005, Perdana Menteri GAM Malek Mahmud mengkonfirmasi penerimaan pihak Indonesia terhadap partai lokal (Reuters. 2005). Tapi, saat itu, dari pihak perunding RI masih menyimpan kabar ini rapat-rapat.
Pihak RI, awalnya pernah mencoba memberi alternatif partai nasional berbasis lokal. Namun, karena sudah menjadi usulan kunci dari GAM maka kedua pihak bertemu pada kompromi berupa partai politik berbasis Aceh yang memenuhi persyaratan nasional, yang saat ini kita kenal dengan partai politik lokal.
***
Tentu, partai politik lokal dalam konteks pikiran yang diselundupkan Damien Kingsbury tentang Self-Government itu bukan tujuan. Ia alat perjuangan baru untuk mencapai maksud genuine dari self-government itu sendiri.
Maksud genuine-nya bisa dijenguk pada pikiran Plato tentang self - mastery terkait jiwa yang teratur, kemampuan rasional kata John Locke. John Locke bahkan menekannkan bahwa self-government bukan kepemilikan, tapi tindakan. JJ Rousseau menyebut kedaulatan sejati pada rakyat, bukan penguasa.
***
Konsekuensi sebagai alat perjuangan, tentu harus senantiasa bersedia diperiksa daya gunanya dalam pencapaian tujuan. Bukan sekedar disenangi. Alat yang disenangi itu barang antik. Alat yang dipuja itu klenik. Semua alat, jika sudah tidak efektif atau bila sudah dipergunakan untuk hal lain, wajib diperbaiki jika masih bisa, bila tidak maka harus diganti dengan alat baru.
***
Tapi, usaha mentransformasi ke dalam perjuangan demokratis, dalam bentuk partai politik jauh hari sudah juga ditawarkan oleh kalangan sipil, bahkan sebelum Aceh digulung bencana gempa dan tsunami pada Desember 2004.
Itu bisa dijenguk pada Tabloid Kontras No. 121, Januari 2001. Seorang aktivis Walhi Aceh bahkan sudah mengusulkan nama: Atjeh Liberation Party.
“Meski banyak pihak bakal kaget melihat GAM tampil sebagai entitas politik, tapi jalan terbaik penyelesaian konflik Aceh adalah dengan mengubah format perjuangan GAM menjadi pergerakan politik.”
” Tabloid Kontras No. 121, 2001
Usulan ini muncul di tengah kedua pihak sedang bersemangat berkonflik, menunjukkan bahwa gagasan transisi politik bukanlah monopoli aktor luar, melainkan lahir dari refleksi lokal yang mendalam.
Baru empat tahun kemudian, gagasan partai lokal menjadi bagian dari perundingan damai di Helsinki. Di sana, akademisi Australia Damien Kingsbury, yang menjadi penasihat GAM, mengusulkan konsep self-government yang di dalamnya ada usulan partai politik lokal”- sebagai jalan tengah antara kemerdekaan dan otonomi biasa.
“Self-governing was proposed as a middle path”more than autonomy, less than independence.”
” Damien Kingsbury
Usulan ini, jelang berakhirnya perundingan diterima dan dituangkan dalam MoU Helsinki Pasal 1.2.1, yang menyatakan bahwa Aceh berhak membentuk partai politik lokal yang memenuhi persyaratan nasional. Ini menjadi preseden penting dalam sejarah politik Indonesia.
***
Pertanyaan untuk refleksi 20 Tahun Damai Aceh kali ini, apakah partai politik lokal di Aceh sudah berfungsi sebagai alat perjuangan memajukan dan mensejahterakan rakyat Aceh dengan kewenangan yang dimilikinya? Atau, partai politik lokal dalam prakteknya di Aceh” sama saja dengan partai politik nasional?
Jawabannya tentu tidak sederhana. Ada perjalanan yang telah dilalui. Tapi, dalam perjlanan itu kita bisa pinjam penilaian Damien Kingsbury saat merespon penolakan kekalahan di Pilkada 2017.
“Mereka hanya ingin demokrasi bila mereka menang,” kata Damien sebagaimana dimuat oleh Beritakini, Minggu (9/4/2017).
Apakah Kingsbury melihat semangat demokrasi yang seharusnya menjadi warisan MoU justru terancam oleh sikap eksklusif dan personalistik elite? Demokrasi lokal yang diharapkan menjadi inklusif dan partisipatif, justru terjebak dalam politik identitas dan dominasi?
Tentu saja Kingsbury tidak hanya mengkritik ekslusifitas elit partai yang kalah di Pilkada 2017. Kingsburi pada 2019 juga mengkritik RI yang terbaca mereduksi kewenangan Aceh. Kingsburi bahkan ikut menohok perlakuan peradilan RI atas kasus yang pernah ditimpakan kepada gubernur Aceh saat itu.
***
Itulah mengapa saya menyebutnya self-government sebagai pikiran yang diselundupkan, bukan pikiran genuine yang lahir dari kesadaran Tiroisme - meminjam istilah Haekal Afifa.
Karena itu, 20 tahun damai Aceh tidak boleh sebatas untuk menyatakan syukur saja, tapi juga harus berani untuk menjenguk kembali self-government yang menjadi nyawa perundingan 20 tahun lalu.
Salah satunya apakah partai lokal sudah berjuang sungguh-sungguh untuk rakyat Aceh, atau sama saja seperti partai politik nasional, yang berjuang untuk dirinya sendiri seraya membiarkan negeri terjebak dalam ragam kerumitan. Lalu, ragam masalah yang ada dijadikan bahan jualan memohon suara di musim pilihan raya.
Padahal, rakyat Aceh sudah cukup berbaik hati memberi kesempatan kepada partai politik lokal untuk tampil memperbaiki keadaan paska MoU, bahkan hingga saat ini.
Namun, secara proposisi suara antara yang berhasil dikumpulkan oleh seluruh partai lokal dengan yang berhasil dikumpulkan oleh seluruh partai nasional, jelas ada kritik senyap yang sedang diselundupkan oleh rakyat Aceh kepada partai poliitik lokal di Aceh.
***
Pada perayaan 20 Tahun Damai Aceh kali ini, Damien Kingsbury memang membuka dengan pujian atas bertahannya perjanjian damai Aceh yang saat ini sudah 20 tahun. Dia menyebut MoU Helsinki bisa menjadi pelajaran penting bagi proses penyelesaian konflik lainnya di dunia.
Tapi, ada satu paragraf yang terkesan sebagi sebuah peringatan. Diingatkan olehnya bahwa negosiasi terjadi saat kedua belah pihak merasa berada dalam "jalan buntu yang menyakitkan" (hurting stalemate).
Jalan buntu itu bisa berupa tidak ada harapan untuk menang dengan perang atau operasi militer, sedangkan biaya yang telah dikeluarkan, tidak sebanding dengan capaian.
Saya tidak tahu mengapa Kingsbury perlu mengangkat sisi itu. Mungkin waktu akan menjawabnya. Tapi, ada juga yang menarik untuk kita kutip dari Kingsbury, yang masih bisa kita baca di media (Februari 2005) yang ditulis sebagai penutup “Aceh’s Peace Hope”: “….real peace won’t be possible until the two sides overcome this visceral distrust.”
14 Agustus 2025
Penulis: Risman Rachman, seorang kolumnis. (Tulisan saduran dari tulisan yang sudah dipublikasi di laman Facebook personalnya).