Kisah Hebatnya Jerman Buat Tenggelam Mimpi Belanda dan Hungaria Gagal Juara Piala Dunia
Font: Ukuran: - +
Logo Piala Dunia 2022 Qatar. (Foto: instagram.com/@kattantea)
DIALEKSIS.COM | Olahraga - Piala Dunia 2022 di Qatar kian dekat dan dalam hitungan hari digelar mulai 20 November sampai 18 Desember 2022 di delapan stadion megah.
Penggemar sepak bola dunia menerka-nerka negara mana yang bakal menjadi juara dunia di Qatar 2022. Tim unggulan yang secara tradisional memiliki sejarah kuat, memiliki peluang lebih besar menjadi juara ketimbang melahirkan juara baru.
Tetapi Piala Dunia 2022 di Qatar bukan tak mungkin melahirkan juara baru seperti Inggris di Piala Dunia 1966, Argentina (1978), Prancis (1998) dan Spanyol (2010).
Namun memiliki skuad terbaik tidak menjamin sebuah negara bisa juara Piala Dunia. Dibutuhkan banyak faktor untuk mencapai titik klimaks itu, dari mentalitas hingga keberuntungan dan lainnya.
Sejarah membuktikan sejak Piala Dunia pertama kali digelar pada tahun 1930, ada banyak negara yang memiliki tim hebat dan layak juara, tetapi gagal mengangkat trofi Piala Dunia.
Hungaria di Piala Dunia 1954 jadi contoh konkret pertama, bagaimana tim yang secara materi dan permainan harusnya jadi juara, gagal mengangkat trofi. Juga ada Belanda di Piala Dunia 1974.
Alasan paling sering dibahas mengapa Hungaria pantas diunggulkan di Piala Dunia 1954 Swiss, karena keberhasilan mereka mematahkan mitos buruk tim tamu di Stadion Wembley dengan menghancurkan Inggris lewat skor telak 6-3. Di luar skor, cara bermain Hungaria di Wembley digambarkan cukup spektakuler.
"Kami belum pernah melihat tim bermain seperti ini," kata Bobby Robson, menceritakan kesaksiannya melihat Hungaria mendemonstrasikan sepak bola indah di Wembley, beberapa tahun kemudian. "Seolah-olah kita baru saja melihat daratan Mars!"
Kalah di Waktu yang Salah
Orang Inggris diberi pelajaran yang tidak akan pernah mereka lupakan oleh sekelompok pemain Hungaria dengan bakat luar biasa. Mereka adalah Ferenc Puskas, Zoltan Czibor, Nandor Hidegkuti, Jozsef Bozsik, Sandor Kocsis, dan Gyula Grosics.
Mereka sangat menonjol, di atas lapangan, karena gaya permainannya yang memusingkan dengan kontrol bola pendek dan rapat, akselerasi yang mematikan, dan kombinasi ofensif nyaris sempurna, semuanya dengan kecepatan yang sangat stabil.
Tetapi menghancurkan Inggris bukan satu-satunya sebab. Periode 1950-an, Timnas Hungaria adalah salah satu yang terbaik. Mereka juara Olimpiade 1952, dan dalam rentang 1950 sampai 1956 memainkan 69 pertandingan, memenangkan 58 kemenangan, 10 seri, dan hanya kalah satu kali.
Sayangnya satu-satunya kekalahan tersebut dialami di waktu yang tidak tepat yakni final Piala Dunia 1954 melawan Jerman Barat. Skuat besutan pelatih Gustav Sebes sebenarnya sempat memimpin dua gol dengan cepat di awal laga yang membuat orang-orang berpikir akan kembali dihancurkan seperti di babak penyisihan grup dengan skor 8-3.
Tetapi entah kenapa, Jerman Barat dengan ajaib bangkit dan langsung merespons untuk mengejar ketinggalan hingga skor jadi 2-2 di babak pertama. Puncaknya, Jerman Barat mengubur impian Hungaria ketika Helmut Rahn mencetak gol penentu di menit 84.
Belanda di Piala Dunia 1974
Belanda di Piala Dunia 1974 menjadi cerita selanjutnya bagaimana skuat dan permainan terbaik gagal jadi juara Piala Dunia, lagi-lagi gara-gara Jerman Barat. Belanda hadir di Jerman Barat 1974 setelah sekian lama absen di Piala Dunia.
Belanda datang dengan generasi emasnya. Mereka memiliki Johan Cruyff, Willem van Hanegem, Rob Rensenbrink, Ruud Krol, Johnny Rep, Johan Neeskens dan lainnya. Dipimpin oleh pelatih legendaris Rinus Michels, Belanda memperkenalkan Total Football kepada dunia.
Di level klub, Rinus Michels sudah membuktikannya dengan Ajax Amsterdam lewat gelar juara Piala Eroa Antarklub pada musim 1970-1971 yang kelak bertransformasi menjadi Liga Champions.
Total Football dianggap sebagai model dan bentuk lain dari permainan Hungaria yang perkasa di era 1950-an. Total Football terdiri dari gaya bermain yang bergantung pada dua konsep utama, manajemen ruang-waktu dan posisi setiap pemain yang cair.
Rinus Michels menyadari bahwa ketika timnya menguasai bola, mereka perlu membuat lapangan lebih besar untuk memberikan waktu dan ruang yang cukup bagi para pemainnya mengoperasikan dan mempertahankan penguasaan bola.
Kebalikannya, ketika mereka harus bertahan, tujuannya adalah untuk mengecilkan lebar lapangan semaksimal mungkin sehingga hampir tidak ada ruang dan waktu bagi lawan untuk bermanuver.
Cara bermain yang cukup berhasil diterapkan Belanda meski tidak sepenuhnya sukses secara hasil di putaran penyisihan grup pertama. Swedia bisa mencegah Belanda mencetak gol hingga memaksakan hasil imbang tanpa gol. Tetapi Uruaguay dan Bulgaria tak seberuntung Swedia setelah dihajar Belanda 0-2 dan 1-4.
Di putaran kedua, Total Football baru benar-benar sangat menakutkan. Belanda menghajar semua pesaingnya di Grup A. Argentina babak belur dengan skor 0-4, serta Jerman Timur dan Brasil tak berdaya kalah 0-2 dari Belanda.
Tiba saatnya bagi Belanda untuk menyempurnakan pencapaian selama berada di Jerman 1974. Belanda jumpa Jerman Barat di final yang digelar di Stadion Olimpiade Munich pada 7 Juli 1974.
Duel Dua Maestro Sepak Bola
Final Piala Dunia 1974, seperti pembuktian siapa yang terbaik di antara dua maestro sepak bola saat itu, Johan Cruyff dan Franz Beckenbauer. Keduanya sudah bersaing di level klub, Cruyff bersama Ajax Amsterdam dan Franz Beckenbauer bersama Bayern Munchen.
Awal yang sensasional terjadi ketika Johann Cruyff melesat tajam ke arah gawang Jerman Barat hingga membuat Uli Hoeness melanggarnya di kotak penalti, tepat di depan wasit Jack Taylor. Johann Neeskens yang menjadi algojo menaklukkan Sepp Maier.
Setelah itu, bisa Jerman Barat seperti kian kikuk dan kesulitan untuk sekadar berlama-lama menguasai bola. Belanda terus menekan, dan mengancam untuk mencetak gol kedua.
Cruyff selalu membuat gugup para pemain bertahan Jerman Barat, tetapi spirit tuan rumah sangat besar hingga terhindar dari kebobolan untuk kedua kalinya.
Namun siapa sangka, di tengah ketegangan para pemain Jerman Barat yang digempur Total Football Belanda, mereka mendapatkan momentum untuk membalikkan semuanya.
Akselerasi Bernd Holzenbein di sisi kanan pertahanan Belanda, membuatnya bisa merangsek masuk ke dalam kotak penalti.
Wim Jansen yang berusaha menghentikan bola, kakinya malah mengenai Bernd Holzenbein yang sepertinya dengan sedikit kesengajaan membuat kakinya mengenai kaki gelandang De Oranje.
Wasit Jack Taylor dengan yakin menunjuk titik putih dan memberi kesempatan kepada Jerman Barat mencetak gol penyeimbang. Akhirnya Paul Breitner menyamakan skor dan mengangkat kepercayaan diri tim Jerman Barat.
Dalam situasi tersebut, Franz Beckenbauer memainkan perannya sebagai kapten tim Jerman Barat. Dia memompa semangat rekan-rekannya untuk terus menekan dan beberapa menit sebelum jeda Gerd Mueller melepaskan tembakan melewati Jan Jongbloed dari jarak dekat.
Tetap Dikagumi dan Dikenang
Setelah jeda, Belanda tetap gigih dengan mengandalkan kejeniusan Cruyff. Tapi Belanda tak memiliki waktu cukup untuk sekadar menyamakan kedudukan.
Di lain sisi, Beckenbauer bermain disiplin untuk menghalau setiap serbuan Belanda, pertahanan disiplin Jerman Barat memukul mundur Belanda hingga akhir laga.
Jerman telah memenangkan trofi Piala Dunia dalam bentuk baru setelah trofi lama dipensiunkan FIFA. Franz Beckenbauer naik ke podium untuk menjadi orang pertama yang mengangkatnya, dan kelak di Piala Dunia 1990 Italia, dia kembali mengangkatnya sebagai pelatih.
Sementara Belanda tetap membuat kagum penonton sepak bola di seluruh dunia. Tetapi itu ibarat sebuah kiasan untuk menghibur diri di saat hati rakyat Belanda sebenarnya terluka. [liputan6.com]