Yang Bilang Pancasila Harga Mati, Itu Radikal: Din Syamsuddin
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Cendekiawan muslim Din Syamsuddin mengkritisi penggunaan kata radikal atau radikalisme yang kerap digunakan untuk menggambarkan sikap ekstrem seseorang.
Menurut pria bernama lengkap Prof Dr KH Muhammad Sirajuddin Syamsuddin MA itu, istilah radikal sesungguhnya tak selalu bermakna buruk. Radikalisme secara terminologi bisa bermakna positif atau negatif.
"Pancasila harga mati, itu radikal, radikal itu akar. Jadi yang bilang NKRI berdasarkan Pancasila harga mati, itu sikap radikal," terang Din kepada CNN Indonesia di Kantor MUI Pusat, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019) malam, yang dikutip Dialeksis.com, Kamis (28/11/2019).
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini berpandangan cara berpakaian atau penampilan seseorang tak bisa serta merta dicap terkait radikalisme. Misalnya bercelana cingkrang atau berjenggot yang seusai syariat Islam.
"Kalau beragama dan menjalankan dengan syariat yang diyakininya--berjenggot, bercelana cingkrang--itu keyakinan beragama yang dijamin konstitusi," ujarnya.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu melanjutkan, setiap warga negara memiliki kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinan. Maka praktik-praktik dalam beribadah pun tak bisa dilarang, termasuk cara berpenampilan.
"Itu [cingkrang atau berjenggot] ada kaitannya dengan terorisme? Yang meledakkan bom kan banyak juga yang pakai celana jins, banyak yang kemudian berpakaian lain," ungkapnya.
Selain penggunaan istilah, kerancuan nalar tersebut menurut dia juga harus diperbaiki. Din tak ingin kekeliruan mendeteksi itu justru berujung pada tuduhan tendensius ke kelompok tertentu.
Din pun menjelaskan, istilah yang berkembang di dunia mengenai sikap yang mengarah pada keinginan mengubah sesuatu yang sudah berakar, disebut dengan ekstremisme.
PBB kata dia, memakai istilah itu. Sementara itu sikap ekstrem yang diikuti dengan kekerasan disebut dengan violence of extremism.
"Sikap yang melampaui batas, sikap yang tiran. Itu tidak dibenarkan oleh agama manapun, termasuk Islam. Apalagi kalau ekstremisme itu menggunakan kekerasan. Ini yang sekarang menjadi tantangan dunia," katanya.
Din pun mengaku baru saja berdiskusi masalah serupa dengan perwakilan PBB, Profesor Azza Karam.
PBB, kata dia, juga tengah gencar menangani masalah ekstremisme. Namun cara yang ditempuh bukan dengan mengonter, melainkan mencegah.
"PBB lebih memilih, bukan counter kekerasan ektremisme, tapi preventing extremism melalui SDGs. Pendekatan PBB itu soft, bagaimana cara mencegah kekerasan ekstrim dengan membangun kehidupan manusia, membebaskan dari kemiskinan dan kebodohan," ucapnya.(me/cnnindonesia)