kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / Upaya Cepat Bawaslu Dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu

Upaya Cepat Bawaslu Dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu

Senin, 10 Juni 2019 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kewenangan Bawaslu makin membesar lewat amanah UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Tak hanya menjadi pengawas, Bawaslu pun punya kewenangan sebagai pengadil pemutus perkara kepemiluan. Salah satunya terkait Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) yang didefinisikan Pasal 466 UU Pemilu 7/2017 sebagai sengketa proses sebagai sengketa yang terjadi antara calon maupun peserta pemilu dengan keputusan KPU selaku penyelenggara pemilu.


Peran Bawaslu dalam memutuskan PSPP adalah sebagai quasi pengadilan. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam kata pengantar buku berjudul Putih Hitam Pengadlilan Khusus yang diterbitkan Komisi Yudisial, lembaga-lembaga yang bersifat mengadili, tetapi tidak disebut sebagai pengadilan merupakan bentuk quasi pengadilan atau semi pengadilan.


Kewenangan menangani sengketa proses pemilu yang dipunya Bawaslu ini tentu berbeda dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, kewenangan MK yang mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat dalam empat domain. Pertama, kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945, kedua memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan ketiga memutus pembubaran partai politik. Keempat, kewenangan MK dalam memutus perselisihan hasil pemlu. Dengan begitu, MK tidak berwenang menangani sengketa proses pemilu.  


Putusan Bawaslu menyangkut sengketa proses pemilu misalnya meloloskan beberapa partai politik yang tak lolos dalam proses verifikasi peserta pemilu 2019. Bawaslu mengabulkan gugatan pemohon dari perwakilan tiga partai yakni Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Idaman, dan Partai Bulan Bintang (PBB) terkait tata cara dan prosedur pendaftaran partai politik calon peserta pemilu. Putusan sidang ajudikasi, yang dibacakan Rabu (15/11/2017), Bawaslu memutuskan KPU melakukan pelanggaran adminitrasi pemilu.


Dalam kesimpulannya, majelis sidang yang diketuai Abhan mengatakan, sistem informasi partai politik (Sipol) yang digunakan KPU sebagai dasar penilaian keterpenuhan persyaratan pendaftaran, tidak berdasar. KPU pun diperintahkan memperbaiki tata cara dan prosedur pendaftaran parpol dengan menerima dokumen pendaftaran sesuai ketentuan Pasal 176 dan Pasal 177 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Hanya pada tahapan selanjutnya, Partai Idaman akhirnya tak lolos sebagai peserta Pemilu 2019.


Lalu, dalam hasil verifikasi pada 17 Februari 2018, KPU memutuskan PBB tak lolos sebagai peserta pemilu 2019. Bawaslu dalam sidang putusan ajudikasi, Minggu (4/3) akhirnya  meloloskan Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai peserta Pemilu 2019. "Menyatakan PBB memenuhi syarat mengikuti Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewam Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota Tahun 2019," kata Ketua Bawaslu Abhan.


Putusan ini juga terkait proses penetapan peserta pemilu untuk Partai Berkaya dan Partai Garuda. Kedua partai ini akhirnya lolos sebagai peserta pemilu 2019 dalam verifikasi faktual KPU, setelah putusan mediasi yang digelar Bawaslu. Partai Garuda diberikan waktu 1×24 jam dan Partai Berkarya 2×24 jam untuk melengkapi kekurangan dalam bentuk penyerahan dokumen ke Sipol milik KPU. Hal ini berdasarkan surat Nomor 002/PS.REFG/Bawaslu/XII/2017 sebagai putusan mediasi yang dinaungi Bawaslu.


Bawaslu punya lima tugas saat melaksanakan PSPP. Mulai dari menerima permohonan, melakukan verifikasi secara formil dan materiil permohonan sengketa proses pemilu. Kemudian, melakukan mediasi antarpihak yang bersengketa. Tugas keempat, melakukan proses ajudikasi PSPP. Dan terakhir, memutus penyelesaian sengketa proses pemilu.


Perlu diketahui, ajudikasi merupakan cara penyelesaian konflik atau sengketa melalui pihak ketiga yang mana pihak ketiga ini ditunjuk atau diatur berdasarkan UU untuk menetapkan suatu keputusan yang bersifat mengikat.


Berdasarkan Pasal 469 UU Pemilu 7/2017 ini, putusan sidang ajudikasi Bawaslu merupakan putusan yang bersifat final. Namun, putusan bersifat final dan mengikat itu mendapat pengecualian terhadap tiga hal, yaitu: verifikasi partai politik peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dan penetapan pasangan calon. Akibatnya, untuk ketiga pengecualian tersebut, maka terbuka celah para pihak yang tak puas terhadap putusan Bawaslu melakukan koreksi putusan lewat pengajuan hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).


Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menyatakan, berdasarkan sejarah di Indonesia, sudah tiga kali terjadi perubahan kewenangan menangani sengketa proses pemilu. Hal tersebut dia ungkapkan dalam diskusi kelompok panel Konferensi Hukum Tata Negara Kelima yang berlangsung di Batusangkar, Sumatra Barat, Sabtu (10/11/2018).


Fritz bercerita, kewenangan PSPP kali pertama lewat jalur PTUN. Apabila salah satu pihak tak terima putusan PTUN, maka bisa dilanjutkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Penyelesaian sengketa proses pemilu ini pun bisa banding hingga ke meja Mahkamah Agung (MA) sehingga mencapai putusan inkracht atau berkekuatan hukum tetap.


Perubahan kewenangan PSPP kedua, lanjutnya, terjadi ketika UU Pilkada lahir. Keberatan terhadap SK KPU bisa diajukan ke Bawaslu. Dari putusan Bawaslu ini prosesnya pun masih bisa dilanjutkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, kemudian bisa naik banding hingga ke MA.


Barulah saat ini, kewenangan ketiga terjadi setelah terbitnya UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. "Jika salah satu dari tiga pengecualian itu terjadi, maka pihak yang tak menerima putusan Bawaslu, dapat mengajukan upaya hukum ke PTUN," sebutnya.


Nah menurut Fritz, putusan PTUN sebagai pengadilan umum pertama ini sudah bersifat final dan mengikat sesuai Pasal 471 ayat (7) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Sehingga, upaya hukum banding hingga ke tingkat MA ditiadakan. "Jadi, sengketanya berakhir di PTUN," jelasnya.


Dalam mengani sengketa proses pemilu, hingga Oktober 2018, Bawaslu mencatat telah menerima sebanyak 502 kasus sengketa proses Pemilu 2019 yang tersebar di seantero Indonesia.  Fritz menyebut, dari 502 sengketa proses Pemilu, rinciannya: 21 pemohonan dinyatakan gugur, 218 kasus mencapai kesepakatan dalam mediasi, 52 permohonan dikabulkan sebagian, 97 permohonan putusannya dikabulkan seluruhnya, 73 permohonan ditolak, dan 41 sedang diproses.  (Humas Bawaslu)

Keyword:


Editor :
Pondek

riset-JSI
Komentar Anda