DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Akademisi Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya, menegaskan bahwa keputusan kontroversial Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait perubahan status empat pulau milik Aceh harus direspons dengan mekanisme akuntabilitas yang tegas dan bermartabat. Ia menyebut, dalam praktik negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, seorang menteri yang melakukan kesalahan kebijakan tak segan mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab.
Saat diminta tanggapannya oleh Dialeksis terkait hikmah dan pembelajaran dari polemik status empat pulau yang sempat dialihkan dari Aceh, Kemal mengangkat sejumlah contoh internasional. Di Jepang, misalnya, Menteri Pertanian Taku Eto pada awal 2025 memilih mundur usai pernyataannya yang tidak sensitif soal krisis beras memicu kemarahan publik. Eto mengakui kesalahan, meminta maaf, dan mundur sebelum mosi tidak percaya dari oposisi digulirkan.
Contoh lainnya datang dari Australia. Pada Februari 2025, Menteri Transportasi New South Wales, Jo Haylen, mengundurkan diri setelah diketahui menggunakan mobil dinas untuk kegiatan pribadi. Ia bahkan membayar ganti rugi sebesar Rp7,5 juta sebagai bentuk pertanggungjawaban etik.
“Di negara-negara maju, kesalahan kebijakan atau pelanggaran etik bukan hanya berujung sanksi administratif. Pada akhirnya, itu harus diselesaikan dengan pengunduran diri. Itu menunjukkan bahwa integritas jauh lebih penting daripada mempertahankan jabatan,” tegas Kemal kepada dialeksis.com, Kamis (19/6/2025).
Ia menyoroti, polemik status empat pulau yang melibatkan Kemendagri bukan persoalan sederhana, melainkan berkaitan langsung dengan kedaulatan wilayah dan otonomi khusus Aceh. Jika keputusan itu diambil tanpa mempertimbangkan aspek yuridis, historis, dan sosiologis yang berbasis data valid, maka wajar jika publik Aceh bereaksi keras.
“Kesalahan ini telah memicu protes luas dan gerakan masyarakat sipil di Aceh. Bahkan Presiden Prabowo Subianto turun tangan langsung untuk menyelesaikannya, dan akhirnya mengembalikan status kepemilikan empat pulau itu kepada Aceh,” ujarnya.
Kemal juga menyinggung soal inkonsistensi Kemendagri dalam menerapkan sanksi. Ia mencontohkan kasus Bupati Indramayu yang dijatuhi sanksi karena melakukan perjalanan ke Jepang tanpa izin. Dalam kasus tersebut, Kemendagri tegas. Namun berbeda ketika yang terlibat adalah pejabat setingkat menteri.
“Kemendagri punya perangkat sanksi berlapis, tapi saat menyangkut kesalahan menteri, sikap itu kerap melemah. Presiden harus belajar dari Perdana Menteri Jepang atau Australia yang berani memecat menterinya jika terbukti blunder, tanpa harus menunggu tekanan dari parlemen,” tegas Kemal.
Sebagai bentuk tanggung jawab dan reformasi tata kelola pemerintahan, Kemal mengusulkan tiga hal mendesak kepada Presiden Prabowo Subianto. Pertama, merumuskan klausul wajib mengundurkan diri bagi menteri yang melakukan pelanggaran prosedural dalam pengambilan kebijakan strategis. Kedua, mempertimbangkan pergantian Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang sudah terlalu lama menjabat. Ketiga, membuka ruang bagi gerakan sipil untuk mengadvokasi desakan mundurnya Tito melalui jalur hukum dan pengawasan publik, seperti laporan ke Ombudsman atau DPR.
“Ini momentum bagi Presiden Prabowo menunjukkan kepemimpinan tegas. Jika membiarkan menteri yang terbukti keliru tetap menjabat tanpa sanksi, itu bukan hanya kelemahan, tapi pengkhianatan terhadap mandat rakyat,” pungkasnya. [arn]