kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / Tak Ada Lagi Efek Jera Jika Koruptor Bisa Ikut Pilkada

Tak Ada Lagi Efek Jera Jika Koruptor Bisa Ikut Pilkada

Jum`at, 13 Desember 2019 08:20 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi tahanan KPK. [Foto: Tahta Aidil/Republika]

DIALEKSIS.COM | Banjarmasin - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait terpidana koruptor boleh ikut pemilihan kepala daerah (pilkada) menuai kritik dari pengamat politik.

Salah satunya terlontar dari pengamat politik Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Budi Suryadi. Dia menilai efek jera terhadap hukuman seorang pelaku korupsi dipastikan hilang lantaran tidak terlalu berpengaruh dalam panggung politik seorang terpidana koruptor.

"Saya tidak setuju dan menentang keras putusan MK ini karena suatu kemunduran bagi bangsa Indonesia dalam semangat antikorupsi," kata Budi di Banjarmasin, Kamis (12/12/2019), seperti dirilis Republika.

Dosen Program Studi Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) ULM ini mengutarakan, ketika seorang koruptor ditolak ikut pilkada bukan berarti mereka tidak memiliki hak atau melanggar HAM (hak asasi manusia). Namun menurutnya, harus berbeda cara memahaminya. 

Menurut dia, mestinya dipahami bahwa ketidakbolehan terpidana kasus korupsi ikut pilkada karena sebagai lanjutan sanksi atas perilaku korup mereka. Dengan demikian efek jeranya makin kuat bagi yang belum berperilaku korup.

Apalagi, menurut Budi, pilkada berkaitan dengan ranah kebijakan politik. Seorang koruptor tidak akan banyak mampu berkembang karena punya sisi yang melemahkannya dalam daya tawar politik. Ini akan berimbas pada kesejahteraan rakyat daerah yang akan lebih jadi marginal dalam bargaining politik tersebut.

"Saya melihat potensinya masih ada keikutsertaan para terpidana korupsi ikut pilkada tahun depan karena belum ada kebijakan politik yang pasti tentang pelarangan mereka ini," ujar Budi yang juga Ketua Pusat Studi ASEAN ULM.

Ia pun berharap, pilkada di Kalimantan Selatan khususnya dan Indonesia pada umumnya dapat lebih memberikan pelajaran politik bagi generasi politik akan datang dibandingkan hanya unjuk kekuatan orang kuat lokal di setiap daerah.

MK mengabulkan permohonan gugatan untuk sebagian Undang-Undang Pilkada.

MK memutuskan melakukan pengubahan bunyi pasal 7 ayat 2 huruf g. Disebutkan, pencalonan dapat dilakukan bagi mantan terpidana yang telah melewati jangka waktu lima tahun setelah selesai menjalani pidana.

Sementara itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqie mengatakan, mantan terpidana yang sudah melewati masa tunggu itu bisa mendaftarkan diri jadi bakal calon pilkada.

"Cuma sekarang kan sudah ada yang sudah lewat dari lima tahun kan enggak bisa dihalangi," ujar Jimly kepada wartawan di Hotel Sulten, Jakarta, Kamis (12/12/2019).

Di sisi lain, ia mengaku, MK harus tetap mempertimbangkan hak asasi manusia (HAM) untuk dipilih dan memilih dalam suatu jabatan politik. Sepanjang tidak ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bahwa hakim mencabut hak politik dari orang yang bersangkutan.

Sebab, kata dia, orang yang keluar dari penjara diasumsikan sudah menjadi orang baik. Sehingga, mantan terpidana masih bisa maju untuk menempati jabatan politik.

Namun, lanjut Jimly, MK pun harus mempromosikan sikap antikorupsi yang tegas karena komitmen semua warga bangsa. Sehingga, berdasarkan pertimbangan hukum, MK memutuskan mantan terpidana dapat mencalonkan diri dalam pilkada jika telah melewati masa jeda lima tahun.

Jimly menilai, jeda waktu lima tahun merupakan waktu yang cukup untuk para mantan narapidana. Selain itu, putusan tersebut juga dianggap efektif bagi para mantan narapidana yang akan maju sebagai calon kepala daerah.

Ia melanjutkan, masa jeda itu juga ditambah dengan syarat mantan terpidana harus terbuka mengumumkan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Termasuk bagi mantan terpidana korupsi, sehingga rakyat tidak dibohongi kalau yang bersangkutan pernah melakukan tindak pidana korupsi.(me/republika)

Keyword:


Editor :
Makmur Emnur

riset-JSI
Komentar Anda