DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang mengalihkan empat pulau -- Mangkir Kecil, Mangkir Besar, Panjang, dan Lipan -- dari Aceh ke wilayah administrasi Sumatera Utara menuai kritik keras dari kalangan akademisi dan masyarakat.
Nazaruddin, Dosen Kebijakan Publik di Program Studi Administrasi Publik, FISIP Universitas Malikussaleh, menyebut keputusan itu sebagai “pengkhianatan sistematis terhadap roh perdamaian Aceh”.
“Ini bukan sekadar kesalahan administratif. Ini bentuk kolonialisme gaya baru,” tegas Nazaruddin, Senin (16/6/2025).
Menurutnya, proses penetapan SK ini cacat sejak hulu dan juga mencederai semangat Perjanjian Helsinki 2005.
Nazaruddin menjelaskan bahwa Kemendagri berdalih menggunakan hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi tahun 2008-2009, yang disebut tidak mencantumkan empat pulau tersebut dalam daftar milik Aceh. Padahal, Pemerintah Aceh telah mengajukan revisi data dilengkapi koordinat dan bukti lapangan pada 2009.
“Fakta itu sengaja diabaikan. Ini membuktikan bahwa kebijakan ini lahir dari nafsu politis, bukan ketelitian birokrasi,” ujarnya.
Ia juga menuding Kemendagri melanggar aturan yang dibuatnya sendiri, yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 141 Tahun 2017, yang mensyaratkan adanya verifikasi lapangan dalam penetapan batas wilayah.
“Tidak ada verifikasi lapangan. Bahkan tapal batas, gapura milik Aceh, dan makam aulia di Pulau Panjang dianggap tak ada. Ini bentuk arogansi birokrasi pusat yang mematikan dialog,” katanya.
Lebih lanjut, Nazaruddin mengingatkan bahwa Aceh memiliki status khusus sebagaimana ditegaskan dalam MoU Helsinki, termasuk dalam hal batas wilayah yang berdasarkan status quo 1956. Ia menyebut keputusan Kemendagri sebagai “warisan sampah” dari Tim Pembakuan Rupa Bumi yang sudah tidak aktif sejak 2016.
“Cara Kemendagri mengambil alih pulau-pulau ini sama seperti VOC memindahkan kedaulatan lewat kontrak sepihak,” ungkapnya. “Padahal, Aceh adalah kesultanan Islam yang dengan sukarela bergabung ke NKRI.”
Ia juga mengutip sejumlah arsip sejarah seperti peta Prancis tahun 1705 dan dokumen kolonial Belanda yang menunjukkan kedaulatan Aceh atas pulau-pulau tersebut. Menurutnya, pengabaian bukti-bukti ini sangat bertentangan dengan semangat evidence-based policy yang selama ini dikampanyekan Kemendagri.
Mahasiswa Turun ke Jalan, Potensi Konflik Menguat
Dampaknya seperti menyulut api dalam sekam. Mahasiswa Aceh kini turun ke jalan menuntut pencopotan Mendagri, menyebut kebijakan ini "pembuka pintu konflik baru".
Masyarakat Aceh Singkil juga menilai keputusan itu sebagai bentuk “pencaplokan kolonial atas tanah leluhur”. Mereka mengaku kecewa karena tidak dilibatkan dalam proses verifikasi dan penetapan keputusan.
Nazaruddin menyebut keputusan sepihak ini berpotensi merusak kepercayaan antara Aceh dan Jakarta yang selama ini dibangun dengan susah payah pasca-tsunami dan konflik bersenjata.
“Data Komnas HAM menunjukkan bahwa 30% poin dalam kesepakatan damai Helsinki belum dilaksanakan. Kebijakan seperti ini bisa memicu retaknya kepercayaan yang tersisa,” jelasnya.
Desakan Audit dan Permintaan Maaf
Nazaruddin mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mencabut SK tersebut dan memerintahkan audit independen terhadap proses penetapannya.
“Presiden harus bentuk forum verifikasi multipihak yang melibatkan Pemerintah Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta pakar geospasial yang netral,” katanya.
Tak hanya itu, ia juga menuntut permintaan maaf resmi dari Kemendagri kepada rakyat Aceh. “Kebijakan publik bukan permainan map di meja pejabat Jakarta. Ia adalah kontrak sosial yang harus menghormati luka sejarah dan martabat manusia,” tutup Nazaruddin.
Empat pulau itu bukan sekadar koordinat peta, tapi simbol kedaulatan Aceh yang tak boleh dikhianati demi kepentingan sesaat. Titik nadir birokrasi ini adalah pengingat pedih: NKRI akan retak ketika Jakarta memperlakukan Aceh sebagai taklukan, bukan mitra sejajar. [*]