Revisi Statuta UI Ada Hubungan Agenda Politik 2024, Berikut Kata Akademisi UI
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), Manneke Budiman, menilai ada agenda politis di balik diterbitkannya PP nomor 75 tahun 2021 yang merevisi Statuta UI. Revisi itu ia sebut banyak melemahkan UI dan memberi celah yang lebar pada kepentingan luar.
"Bagi saya yang logis (alasan revisi) hanya satu, yaitu agenda politik 2024, di mana internal UI yang ada agenda masuk ke lingkaran kekuasaan negara, dan kepentingan itu berkonvergensi dengan agenda eksternal orang luar yang mau memanfaatkan atau menunggangi UI untuk mencapai tujuan politik mereka," kata Manneke dalam konferensi pers daring, Sabtu, 24 Juli 2021.
Manneke mengatakan revisi Statuta UI ini membuat siapapun Rektor UI untuk bisa memasukkan orang-orang politik ke UI, baik lewat jalur Majelis Wali Amanat atau MWA UI, maupun lewat jalur lain. Jalur itu bisa melalui akademik, pengangkatan doktor kehormatan, lektor kepala, guru besar, yang wewenangnya saat ini sepenuhnya ada di rektor.
"Dan itu tanpa pertimbangan ataupun persetujuan organ lain secara proporsional," kata Manneke.
Revisi Statuta ini juga membuat rektor punya kekuasaan hampir absolut. Hal ini karena tak perlu menyusun anggaran rumah tangga sebagai acuan bagi semua norma yang berlaku di UI. Semua bisa diatur lewat peraturan rektor. Bahkan kewenangan dekan untuk membuat peraturan/keputusan dekan di fakultas saja tak ada.
"Checks and balances secara berbahaya, secara semborono, dan jangka pendek dilemahkan demi memuluskan tindak tanduk rektor. Sementara intervensi dari luar dibukakan pintu lebih lebar melalui jalur MWA dan jalur eksekutif dengan revisi kewenangan akademik," kata Manneke.
Bagi Manneke, PP ini tidak bertujuan untuk memajukan Universitas Indonesia dalam aspek apapun. Yang terjadi justru membuat UI makin rentan terhadap kepentingan politik luar. Universitas ia sebut menjadi tempat para politikus mengagendakan strategi, manuver, tujuan, dan pengembangan jejaring mereka, dengan memanfaatkan infrastruktur, fasilitas, dan sumber daya yang ada di universitas.
"Kehancuran UI itu keniscayaan bukan lagi kemungkinan. Karena memang diarahkan menuju perusakan UI melalui PP itu," kata Manneke.
Ia mengatakan dengan kondisi ini, universitas bukan lagi jadi tempat bagi para intelektual mengabdi. Ambisi utama para intelektual itu bukan pengembangan ilmu untuk pencerdasan bangsa, tapi meraih kekuasaan.
"Mereka tak peduli reputasi UI hancur, Kemendikbud babak belur, atau Jokowi rusak citranya. Fokus mereka hanya pada kepentingan sendiri untuk berkuasa pada 2024 dan sesudahnya," kata Manneke ihwal revisi Statuta UI. (TEMPO)