Respon Komnas HAM Terkait Penerapan Hukuman Kebiri Kimia
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI Taufan Damanik menegaskan, sejak awal pihaknya berbeda pandangan dengan usulan hukum tambahan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Taufan berpandangan, hukuman kebiri kimia tidak sejalan dengan prinsip hak asasi manusia, terutama di dalam hal tidak melakukan penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi.
"Meski pelaku kejahatan seksual terutama kepada anak-anak adalah kejahatan yang serius karena tidak saja menyakiti anak yang jadi korban, tetapi juga menghancurkan masa depan mereka, namun penghukuman seperti ini bertentangan dengan filosofi dan maksud pemidanaan yang tujuannya untuk mencegah dan merehabilitasi pelaku kriminal," ujar Taufan dalam keterangan resmi yang diterima mengenai kebiri kimia, Selasa (5/1/2021).
Taufan meyakini, hukuman pidana tidak dimaksudkan sebagai sarana balas dendam. Artinya kekejaman tidak perlu dibalas dengan kekejaman. Menurut dia, hal itu adalah makna hidup peradaban masyarakat modern.
Taufan menyertakan dalil, bahwa Indonesia sudah berprinsip setiap orang tidak tidak boleh mengalami penyiksaan (pasal 28G ayat 2 UUD 1945), juga di dalam Pasal 33 ayat 1 UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, berbunyi "setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau per-lakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaanya".
Selain itu, imbuh Taufan, Indonesia juga telah meratifikasi aturan Konvensi yang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.
"Sebagaimana telah diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam Resolusinya No. 39/46 tanggal 10 Desember 1984 dan mulai diberlakukan tanggal 26 Juni 1987. Pada Pasal 7 dalam Kovenan ini mengatur dengan sangat jelas tentang perlindungan manusia dari ancaman penyiksaan yang dilakukan pihak lain," jelas dia.
Maka dari itu, mengutip dari bunyi kovenan tersebut, bahwa tidak seorangpun boleh dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya, khususnya tidak seorangpun, tanpa persetujuannya secara sukarela dapat dijadikan eksperimen medis atau ilmiah.
"Norma hak asasi manusia untuk tidak melakukan penghukuman yang kejam dan tidak manusiwi sudah menjadi bagian dari norma hukum Indonesia. Dengan begitu, meski kita sangat menolak kekerasan seksual, namun norma dan prinsip hak asasi manusia mesti lah kita jadikan pegangan ber-sama di dalam menyusun dan menerapkan hukum di negeri kita," ungkap dia.
Taufan melanjutkan, hingga saat ini belum ada yang membuktikan secara ilmiah bahwa penerapan kebiri kimia akan menyelesaikan masalah kekerasan seksual, khususnya terhadap anak-anak. Dia menyarankan, seharusnya negara menyiapkan berbagai strategi lain untuk mengatasi masalah kriminal yang terus meningkat tiap tahunnya ini.
"Namun karena Perpu tentang penerapan kebiri sudah menjadi UU 17 2016 di mana hukuman tambahan kebiri kimia, penggunaan alat deteksi dan rehabilitasi sudah menjadi bagian dari norma hukum kita, maka PP ini (Nomor 70 tahun 2020), saya meminta penggunaannya mesti sangat-sangat terbatas," harap Taufan.
Taufan juga mewanti, sebelum melakukan hukuman kebiri kimia, negara melalui kajian yang teliti untuk tidak sembarang digunakan kepada pelaku, juga melakukan pengawasan ketat dalam rangka mengurangi dampak medis mau pun psikologisnya.
Taufan mencontohkan, hukuman kebiri kimia sempat dilakukan di Inggris terhadap kasus Allan Turing. Namun usai dilakukan, Alan menderita dampak psikologis yang berujung bunuh diri.
"Inggris kemudian tidak lagi menggunakan hukuman ini. Ini perlu menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam penerapan PP tersebut," kata Taufan [liputan6.com]