kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / RESMI: Indonesia Kuasai Saham Mayoritas Freeport

RESMI: Indonesia Kuasai Saham Mayoritas Freeport

Jum`at, 13 Juli 2018 11:16 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM I Jakarta - Setelah dilakukannya perundingan selama lebih dari satu tahun, Pemerintah Indonesia secara resmi akhirnya menjadi pemegang saham mayoritas perusahaan tambang emas dan tembaga PT Freeport Indonesia. Hal ini terealisasi berkat pembelian saham lewat PT Inalum (sebuah perusahaan di bawah Kementerian BUMN) senilai US$3,85 miliar atau sekitar Rp55,3 triliun.

Penandatanganan nota pendahuluan antara Inalum dan Freeport McMoran berlangsung di Jakarta pada Kamis (12/07). Di luar divestasi saham 51%, disetujui juga perpanjangan operasi dua kali sepuluh tahun hingga 2041, pembangunan smelter, dan apa yang disebut sebagai stabilitas finansial.

Sebelumnya, kepemilikan saham Indonesia di Freeport hanya sekitar 9,36%, namun dengan adanya kesepakatan baru ini, pemerintah Indonesia berhasil menguasai setengah saham lebih 1% tambang di Grasberg-Papua, yang merupakan tambang tembaga terbesar kedua di dunia. Lebih lanjut, Freeport diperkirakan akan tetap beroperasi di Grasberg dan menjadi pemilik saham yang tersisa.

Presiden Joko Widodo menyambut baik kesepakatan ini, yang mana ia menyatakan hasil kesepakatan baru ini akan sangat menguntungkan bangsa Indonesia karena akan menambah penerimaan pajak dan royalti bagi pemerintah.

Menurut ekonom energi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Fahmi Radhi, penandatanganan nota pendahuluan ini adalah 'kesepekatan bersejarah' dan menunjukkan, apa yang menurutnya sebagai kedaulatan Indonesia. "Setelah 50 tahun lebih Freeport dikuasai oleh Freeport McMoran, baru kali ini dapat memperoleh 51% setelah perjalanan panjang, saya kira ini good deal," kata Fahmi.

Meski begitu, ada satu catatan penting yang tidak bisa dihiraukan oleh pemerintah ketika mengfinalkan kesepakatan ini, seperti diutarakan peneliti INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Abra Talattov.

"Jadi Freeport ini pernah diaudit oleh BPK, karena ada persoalan isu lingkungan pada 2003, bahkan sudah disampaikan oleh Menko Ekonomi ketika itu Rizal Ramli bahwa Freeport berkewajiban membayar kerugian lingkungan sebesar US$5 miliar. Dan ini belum dilakukan sampai sekarang," papar Abra.

"Dengan adanya divestasi yang akan dibayar pemerintah sebelum Freeport membayar denda lingkungan, sebenarnya hal ini malah akan merugikan negara. Dan jangan sampai ketika nanti divestasi terjadi, mayoritas saham berada di tangan pemerintah, sehingga pemerintah yang harus membayar denda lingkungan itu," katanya.

Selain ancaman kerugian yang diakibatkan oleh denda kerusakan lingkungan, Pemerintah Indonesia juga perlu juga meingat bahwa Freeport telah lama menjadi sumber perdebatan secara nasional, terutama tentang manfaat yang diperoleh rakyat dari usaha tambang ini. Dan jangan lupa pula bahwa telah sejak lama tambang ini telah menjadi salah satu pemicu gerakan separatisme di Papua. (BBC.ID)


Keyword:


Editor :
Sadam

riset-JSI
Komentar Anda