Beranda / Berita / Nasional / Putusan MK Soal Usia Capres-Cawapres Dinilai Jadi Basis Nepotisme dan Dinasti

Putusan MK Soal Usia Capres-Cawapres Dinilai Jadi Basis Nepotisme dan Dinasti

Sabtu, 04 November 2023 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM |  Jakarta - Baru-baru ini, Handesblatt, media massa asal Jerman menyoroti langkah politik Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo yang maju sebagai Cawapres Prabowo Subianto pada Pilpres 2024. Menurut Handesbaltt, pen-Cawapres-an Gibran dipandang sebagai bentuk politik dinasti yang merusak dan mematikan demokrasi di Indonesia. Sebelumnya, kondisi kemunduran demokrasi di Indonesia juga diberitakan oleh Time, media dari Amerika Serikat.

Salah satu Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis, Julius Ibrani (perwakilan PBHI) mengatakan, kemunduran demokrasi di Indonesia yang menjadi sorotan dua media asing tersebut merupakan fakta persoalan politik yang nyata terjadi dan tak terbantahkan, terutama jika mencermati dinamika politik elektoral jelang 2024. 

"Putusan Mahkamahh Konstitusi (MK) yang kontroversial menjadi golden ticket khusus untuk Gibran Rakabuming Raka, adalah puncak gunung es dari kemunduran demokrasi Indonesia. Kemunduran tersebut telah banyak diangkat oleh sejumlah pakar dan analis politik baik dari dalam maupun luar negeri terutama berkaitan dengan menurunnya tingkat kebebasan sipil di Indonesia," jelasnya.

Secara tegas, menurut Julius, putusan tidak menurunkan batas usia 40 tahun yang membuka ruang bagi Anak Muda untuk berkarya di dunia politik, namun khusus dihadiahkan untuk Kepala Daerah dengan atribusi usia di bawah 40 tahun, dan hanya Gibran lah yang secara faktual dapat memanfaatkan golden ticket itu. Artinya, secara politik putusan itu ditujukan untuk kepentingan politik putra Presiden yakni Gibran Rakabuming Raka agar lolos menjadi bakal Cawapres.

Konflik kepentingan yang terjadi akibat Ketua MK sekaligus Hakim Konstitusi yang mengabulkan Perkara No. 90 tersebut, kata dia,  bukan hanya melanggar kode etik dan perilaku Hakim, tetapi merupakan bentuk intervensi dan manipulasi kekuasaan dalam putusan tersebut yang dilakukan secara telanjang dan terang benderang. 

Hal ini, kata dia, merupakan puncak gunung es dari kehancuran hukum dan demokrasi di Indonesia. 

"Kami memandang, apa yang terjadi di MK dalam putusan Perkara No. 90 tersebut, merupakan bentuk Kolusi, Korupsi dan Nepotisme yang terang benderang terjadi. Perkoncoan dan nepotisme dilakukan penguasa untuk kepentingan keluarga dan bukan kepentingan bangsa," jelasnya.

Hal ini, pihaknya menilai, merupakan sesuatu yang bertentangan dengan semangat reformasi yang memandatkan pentingnya menolak segala bentuk nepotisme sesuai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Praktik nepotisme antara Penguasa dan MK ini merupakan bentuk perusakan pada demokrasi dan hukum di Indonesia yang tidak bisa dibiarkan.

"Dalam perspektif Pemilu, proses awal Pemilu yang diwarnai putusan MK ini tentu akan mencederai proses Pemilu yang akan dilakukan. Sedari awal kekuasaan sudah menggunakan kekuatannya untuk mengintervensi hukum dalam rangka melanggengkan dinasti politiknya. Sulit untuk dapat meraih proses pemilu yang demokratis dan hasil yang demokratis paska putusan MK," tuturnya.

Dalam realitasnya, ia mengatakan, menjelang akan berakhir masa periode jabatan yang kedua Presiden Joko Widodo semakin mempertontonkan dirinya sebagai perusak demokrasi dengan berupaya membangun “politik dinasti” yang sarat dengan praktik kolusi dan nepotisme melalui pencawapresan anaknya, Gibran berpasangan dengan Prabowo Subianto dalam Pemulu 2024. 

Pihaknya menilai, kondisi kemunduran demokrasi di akhir era pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak bisa dan tidak boleh dibiarkan terus terjadi, mengingat demokrasi merupakan capaian politik yang diperjuangkan dengan susah payah pada tahun 1998 dan harus terus dipertahankan. 

"Untuk merespon hal tersebut, dibutuhkan adanya bangunan gerakan pro demokrasi untuk menyelamatkan demokrasi dari kemunduran, termasuk dengan menjadikan politik elektoral sebagai momentum dan media untuk mengoreksi semua kebijakan dan langkah politik Presiden Joko Widodo yang memundurkan capaian politik Reformasi 1998 tersebut," pungkasnya. 

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda