Puncak Pandemi Corona di Indonesia Bisa Lebih Lama dari Prediksi Awal
Font: Ukuran: - +
Seorang dokter mengenakan pakaian pelindung merawat warga yang terkena virus corona. [Foto: Chinatopix via AP]
DIALEKSIS.COM | Bandung - Wabah virus corona jenis baru yang menyebabkan penyakit COVID-19 masih terus mengincar korbannya. Semua berharap pandemi ini segera berlalu dan tak lagi menelan korban jiwa.
Situasi ini dibaca oleh beberapa peneliti untuk menjawab kemungkinan kapan wabah mematikan yang disebabkan COVID-19 akan berakhir.
Di Indonesia, para peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) telah melakukannya dengan memanfaatkan model logistik Richard’s Curve yang diperkenalkan oleh F.J.Richards.
hitung-hitungan itu diperoleh hasil simulasi bahwa kasus COVID-19 di Indonesia diprediksi akan memuncak pada akhir Maret 2020, lalu berakhir di pertengahan April 2020.
Namun Lektor Kepala di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Dr. Nuning Nuraini yang menggarap penelitian tersebut, kembali menegaskan bahwa data yang ada saat ini masih bersifat dinamis.
“Pergeseran waktu puncak dan proyeksi akumulasi data juga bisa berubah,” ujar dia saat dihubungi kumparanSAINS, Minggu (22/3/2020).
Maksud Nuning di sini, pandemi yang semula diprediksi akan mencapai titik puncak pada akhir Maret, bukanlah hasil final.
Sebab secara matematika, estimasi tersebut masih bisa berubah sehingga waktu puncak pandemi bisa mundur atau bergeser.
Hal ini karena pendekatan model matematika yang digunakan peneliti, imbuh Nuning, memproyeksikan secara kasar puncak dan akumulasi kasus COVID-19.
Ketika ditanya soal kemungkinan puncak pandemi yang bergeser ke April hingga Mei, Nuning menekankan bahwa proyeksi kasar tersebut pun masih sangat mungkin berubah.
Berubah di sini diartikan menjadi lebih lama, dengan mempertimbangkan data update yang mereka gunakan ketika jumlah kasus positif corona di Indonesia masih menyentuh angka 369 orang per Jumat (20/3/2020).
“Untuk data update sampai 369, (akan bergeser) lebih lama. (Namun) kita semua berharap bisa lebih cepat,” paparnya.
Dalam penelitian sebelumnya, Nuning memprediksi jumlah maksimum korban COVID-19 di Indonesia mencapai kurang dari 8.000 kasus saat berada di puncak pandemi. Sedangkan kasus baru harian terbesar diperkirakan mencapai 600 kasus.
Awalnya, peneliti menghitung parameter kasus COVID-19 di lima negara yang paling parah mengalami pandemi, yakni China, Italia, Iran, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Untuk menghitung parameter tersebut, peneliti menghitung laju awal pertumbuhan, asumsi batas atas penderita atau dikenal sebagai carrying capacity, dan efek asimtotik. Parameter yang dibutuhkan diestimasi dengan Least Square Method sehingga menghasilkan kurva yang merepresentasikan dinamika penderita.
Secara umum, Richard’s Curve dan Least Square Method memberikan model yang cukup merepresentasikan dinamika penderita COVID-19 pada setiap negara yang ditinjau.
Kini, setelah estimasi puncak pandemi dinyatakan bergeser dari perkiraan semula, secara otomatis waktu berakhirnya wabah COVID-19 pun akan mundur. Namun Nuning tak bisa memastikan total jumlah korban yang ada di Indonesia ketika pandemi tersebut berakhir.
“Angka jelas kurang akurat karena ada error estimasi model,” ujarnya.
Lebih jauh, Nuning menekankan bahwa projek penelitian ini sebenarnya bertujuan untuk mendorong kepedulian semua elemen masyarakat dan pemerintah untuk saling bahu membahu menuntaskan persoalan wabah yang dibawa oleh virus SARS-CoV-2. (Kumparan)