Kamis, 04 September 2025
Beranda / Berita / Nasional / Psikolog Ingatkan Trauma Pengeroyokan Santri Bisa Rusak Konsentrasi dan Prestasi Belajar

Psikolog Ingatkan Trauma Pengeroyokan Santri Bisa Rusak Konsentrasi dan Prestasi Belajar

Senin, 01 September 2025 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Psikolog nasional sekaligus pakar ekspresi, Poppy Amalya. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kasus pengeroyokan santri oleh senior kembali mencuat di salah satu pesantren di Aceh.

Seorang santri asal Aceh Tengah, berinisial MDL (14), mengalami pengeroyokan yang diduga dilakukan oleh tiga orang seniornya di salah satu Pondok Pesantren Terpadu di Matang Geulumpangdua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen. Peristiwa itu terjadi pada Selasa malam, 26 Agustus 2025, sekitar pukul 23.00 WIB.

Akibat penganiayaan tersebut, MDL menderita luka lebam di bagian wajah, luka sobek di daun telinga, bahkan sempat pingsan. Saat ini, korban sudah dipulangkan ke rumah orang tuanya di Kampung Pepanyungen Angkup, Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah. Namun, ia masih mengalami trauma mendalam.

Psikolog nasional sekaligus pakar ekspresi, Poppy Amalya, menegaskan bahwa kekerasan semacam ini harus dipandang serius, karena efeknya bukan hanya luka fisik, melainkan trauma yang mengganggu perkembangan mental, prestasi akademik, hingga kepercayaan diri korban.

“Pada remaja santri, gejala trauma bisa muncul dalam bentuk mimpi buruk, mudah kaget, sulit tidur, hingga keluhan fisik seperti sakit kepala atau sakit perut. Mereka juga bisa menjadi murung, cemas, dan menarik diri dari pergaulan. Semua ini berhubungan langsung dengan menurunnya prestasi belajar dan absensi sekolah,” jelas Poppy kepada media dialeksis.com, Senin, 1 September 2025.

Menurutnya, paparan kekerasan di usia remaja meningkatkan risiko depresi, kecemasan, bahkan penyalahgunaan zat dan perilaku berisiko lainnya.

"Itulah mengapa dampak pengeroyokan tidak boleh dianggap hanya ‘kenakalan biasa’,” tegasnya.

Poppy menyoroti betapa trauma yang terjadi di lingkungan pendidikan, khususnya pesantren, bisa lebih berat daripada di luar sekolah. Sebab, pesantren seharusnya menjadi tempat aman, nyaman, dan penuh pembinaan.

“Trauma kronis di pesantren bisa mengganggu konsentrasi, memori kerja, dan regulasi emosi anak. Akibatnya, keyakinan diri menurun dan mereka mulai menghindari sekolah. Ini yang disebut school avoidance. Jika lembaga gagal merespons dengan adil, muncul yang kami sebut institutional betrayal, yaitu rasa dikhianati oleh institusi yang seharusnya melindungi. Itu memperparah luka psikologis anak,” kata Poppy.

Sebaliknya, jika pesantren menunjukkan empati, menyediakan ruang aman, dan memastikan korban didengar, maka itu menjadi faktor protektif kuat yang justru memperbaiki kesejahteraan psikologis santri.

Dalam situasi seperti ini, Poppy menekankan pentingnya langkah cepat dari pihak keluarga dengan utamakan keselamatan dan medis. Pastikan anak diperiksa luka-lukanya, ada dokumentasi medis, dan segera amankan dari lingkungan berisiko. Ia juga menyarankan agar melakukan Psychological First Aid (PFA).

“Tenangkan anak, validasi perasaan mereka, dan penuhi kebutuhan dasar seperti istirahat, makanan, serta pendampingan dari orang yang dipercaya. Jangan biarkan anak terus terpapar ulang kekerasan, termasuk melalui sebaran video atau foto,” papar Poppy.

Selain itu, rencana keselamatan dan laporan. Koordinasi dengan pihak pesantren agar anak tidak kembali bertemu pelaku. Proses hukum harus tetap berjalan sesuai aturan.

“Bawa anak ke psikolog klinis atau psikiater anak. Evaluasi awal sangat penting untuk menentukan apakah perlu penataan ulang lingkungan belajar atau tempat tinggal sementara,” sarannya.

Poppy memperingatkan bahwa bila kasus pengeroyokan tidak ditangani serius, korban berisiko mengalami PTSD kronis, depresi, hingga putus sekolah. Bahkan dalam jangka panjang bisa memengaruhi relasi sosial dan kepercayaan diri mereka di masa depan.

“Di sisi pesantren, bila kekerasan dibiarkan, maka muncul normalisasi budaya senioritas. Santri lain merasa tidak aman, motivasi belajar turun, dan potensi tindak kekerasan lanjutan meningkat. Yang paling berbahaya adalah ketika lembaga defensif atau menutup-nutupi. Itu akan memperkuat rasa dikhianati dan merusak kepercayaan publik,” ujar Poppy.

Menurut Poppy, saat ini sudah ada metode terapi berbasis bukti yang terbukti efektif bagi remaja korban kekerasan.

Trauma-Focused Cognitive Behavioral Therapy (TF-CBT) terbukti menurunkan gejala PTSD dan depresi, sekaligus membangun keterampilan regulasi emosi dan coping.

Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR): metode lain yang juga efektif berdasarkan berbagai studi internasional.

Dalam hal ini, pendekatan trauma-informed di sekolah/pesantren: melibatkan pelatihan guru, prosedur pelaporan yang aman, disiplin yang adil, serta membangun kembali keterhubungan santri dengan lingkungan.

“Alhamdulillah, di lembaga Psikodinamika yang beralamat di Jalan Gabus No. 26, Lampriet, Banda Aceh, kami sudah berpengalaman menangani trauma psikologis anak dan remaja, termasuk kasus kekerasan di sekolah atau pesantren. Kami juga dipercaya mendampingi kampus, sekolah ketarunaan, hingga sekolah-sekolah dari TK sampai SMA di bawah kementerian,” jelas Poppy.

Poppy menegaskan, kekerasan antar-santri tidak boleh dipandang sebagai kenakalan biasa. “Ini bukan sekadar ‘kelakuan anak’. Pada remaja, dampaknya langsung ke otak belajar, rasa aman, dan masa depan pendidikan. Karena itu, penanganan yang cepat, adil, dan empatik serta akses ke terapi berbasis bukti seperti TF-CBT adalah kunci pemulihan korban sekaligus mencegah budaya kekerasan berulang di pesantren,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Indri

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
sekwan - polda
damai -esdm
bpka