Beranda / Berita / Nasional / PPn Naik 11 Persen, PISPI: Rezim Ini Masih Bersandar Pada Inflasi

PPn Naik 11 Persen, PISPI: Rezim Ini Masih Bersandar Pada Inflasi

Minggu, 01 Mei 2022 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Komisi VI DPR-RI dan Dewan Penasehat PISPI, Dr. Ir. H. E. Herman Khaeron M.Si. [Foto: Istimewa]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. PPN merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Ketentuan kenaikan PPn ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Dalam Pasal 7 UU HPP disebutkan, besaran PPn pada tanggal 1 April 2022 adalah sebesar 11 persen. Namun, tidak semua barang dan jasa menjadi Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP).

Perubahan ini kemudian mendasari Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia (PMK) Nomor 64 Tahun 2022 tentang PPn atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu (BHPT) pada tanggal 30 Maret 2022.

Melalui PMK ini secara resmi PPn dari BHPT ditetapkan sebesar 1,1 persen final dari harga jual. Arti dari 1,1 final persen yakni 10 persen dari total tarif PPn.

Dengan demikian pengusaha kena pajak wajib menerbitkan faktur pajak saat penyerahan BHPT.

Komisi VI DPR-RI dan Dewan Penasehat PISPI, Dr. Ir. H. E. Herman Khaeron M.Si mengatakan, penting menimbang petani sebagai komunitas yang diberikan afirmasi oleh negara, agar tak menambah derita masyarakat.

“Pemerintah menaikan PPn menjadi 11 persen dari setiap pertambahan nilai. Dari Produsen ke konsumen. Jika dikaitkan dengan tanaman pangan, selain konsumen juga produsen,” ucapnya berdasarkan keteragan yang diterima Dialeksis.com, Minggu (30/5/2022).

Lanjutnya, Dirinya mengatakan, rezim ini masih inflasi. Artinya dari 1,1 persen final, pengusaha kena wajib pajak harus menyerahkan faktur pajak. Petani jangankan untuk membayar, untuk menerima kartu tani saja kerepotan. Barang subsidi saja masih repot. Membuat syarat-syarat dan akhirnya masuk jebakan tengkulak dan penjual saprotan saprodi.

“Sampai saat ini belum ada kejelasan objek pajak. Sosialisasi terhadap UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) belum kuat. Setelah 2 tahun dihantam covid, masih banyak persoalan, mata rantai ekonomi 3 berpengaruh, sektor industri 90 persen terpengaruh. Kalau 10 persen bisa jalan itu ada di pertanian dan kesehatan, keduanya menghidupi masyarakat,” jelasnya.

Dr Herman menyampaikan, kita harus pertimbangkan, kita pahami situasi keuangan negara, kita harus sadar kesulitan petani kita. UU Perlintan sudah afirmatif, kebijakan PPn ini memberatkan. Tidak menarik lagi pertanian. Perlu ada kemitraan usaha tani yang komprehensif. Sebelum kebijakan negara membebani, semestinya ada dulu fasilitator.

“Saya saat bentuk UU Pangan, kelembagaan pangan ini dimaksudkan untuk memotong rantai dan agar keuntungan lebih besar ke produsen. Khusus pangan ada Harga Pembelian Pemerintah. Badan Pangan Nasional ada 9 komoditas yang diwewenangkan. Saya di Komisi VI, mencoba memotong mata rantai, agar kemendag jemput bola. Dari produsen ke pasar,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Dr Herman menyampaikan, Delegasi sesuai peraturan presiden dan berdasar UU Pangan. Kita punya harapan, Bapanas menanggungjawabi ketersedian, mutu, keterjangkauan dll. Diversifikasi menjadi kekuatan. Sekarang tidak jelas.

“Beda negara kita dengan sebaran pangan. Impor bertambah terus. Indeks Ketahanan Pangan Global, kita masih dibawah Vietnam, Malaysia dan Thailand,” pungkasnya. []

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda