Polemik UU KPK, Ekonom Indonesia Surati Jokowi
Font: Ukuran: - +
Ahli Ekonomi Emil Salim (tengah) bersama Wartawan Senior Ismid Hadad (kanan) memberikan keterangan saat konferensi pers "Menyikapi Rencana PERPPU KPK" di Galeri Cemara 6, Jakarta, Jumat, 4 Oktober 2019. FotTEMPO/Muhammad Hidayat
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Para ekonom angkat bicara soal polemik Revisi Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK. Revisi tersebut dinilai lebih buruk dibandingkan dengan UU KPK sebelumnya, karena akan melemahkan KPK dan mengancam efektivitas pencegahan korupsi.
"Amanah konstitusi seperti termaktup dalam Pembukaan UUD 1945 alinea empat, tidak akan tercapai jika korupsi marak di Indonesia. Pembentukan KPK adalah amanah reformasi sekaligus amanah Konstitusi. Revisi UU KPK lebih buruk daripada UU KPK 2002 karena RUU KPK melemahan fungsi penindakan KPK, dan membuat KPK tidak lagi independen," demikian bunyi surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, Kamis, 17 Oktober 2019.
Menurut surat itu, dampak pelemahan KPK akan meningkatkan korupsi di Indonesia dan menurunkan kredibilitas KPK dalam melaksanakan program-program pencegahan sehingga mengancam efektivitas program pencegahan korupsi.
Ilmu Ekonomi mengajarkan optimalisasi dan efisiensi alokasi sumber daya, namun korupsi menciptakan mekanisme sebaliknya. Kami para ekonom, sebagai akademisi, berkewajiban memaparkan dan memisahkan mitos dari fakta terkait dampak pelemahan penindakan korupsi terhadap perekonomian. Sebagai ekonom, kami memfokuskan rekomendasi kami untuk mengoptimalkan kesejahteraan rakyat," tulis surat terbuka tersebut.
Hasil telaah literatur para ekonom menunjukkan korupsi menghambat investasi dan mengganggu kemudahan berinvestasi, korupsi memperburuk ketimpangan pendapatan, korupsi melemahkan pemerintahan dalam wujud pelemahan kapasitas fiskal dan kapasitas legal, korupsi menciptakan instabilitas ekonomi makro karenautang eksternal cenderung lebih tinggi daripada penanaman modal asing.
Selain itu, studi ekonom menunjukkan bahwa argumentasi korupsi sebagai pelumas pembangunan mengandung tiga kelemahan mendasar dan tidak relevan untuk Indonesia. Argumentasi penindakan korupsi menghambat investasi tidak didukung oleh hasil kajian empiris."
Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah membenarkan bahwa surat terbuka tersebut disampaikan para ekonom karena kegelihasan soal pengebirian peran KPK.
"Benar (menyampaikan surat terbuka). Tapi belum final (jumlah ekonomnya). Masih nunggu masukan dari ekonom-ekonom lainnya. Kalau isi surat dan naskah akademik nampaknya enggak berubah lagi. Tapi susunan ekonom yang ikut tanda tangan akan difinalkan hari ini," ujarnya Kamis, 17 Oktober 2019.
Dalam surat terbuka tersebut, ada 41 ekonom yang menandatangani keberatan UU KPK yang baru. Nama-nama ekonom itu antara lain Piter Abdullah, Faisal Basri (FEB UI), Arti Adji (FEB UGM), Rumayya Batubara (FE UNAIR), Hermanto Siregar (FEM IPB), dan lainnya. (im/tempo)