Per 26 Mei, Restrukturisasi Kredit Bank Tembus Rp 517 T
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan perkembangan terbaru restrukturisasi kredit bagi nasabah perbankan dan perusahaan pembiayaan (multifinance) atau leasing yang terdampak pandemi virus corona (Covid-19).
Dalam dokumen paparan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso yang sampaikan secara virtual pada Kamis (4/6/2020), OJK menyebutkan per 26 Mei 2020, total outstanding restrukturisasi kredit perbankan sudah menembus Rp 517,2 Triliun dengan sebanyak 5,33 juta debitur.
Dari jumlah tersebut, outstanding restrukturisasi UMKM sebesar Rp 250,6 triliun dengan sebanyak 4,55 juta debitur dan outstanding restrukturisasi non-UMKM sebesar Rp 266,5 triliun, sebanyak 0,78 juta debitur.
Di perusahaan pembiayaan, per 2 Juni, total outstanding restrukturisasi sebesar Rp 80,55 triliun (2,6 juta kontrak disetujui). Dari jumlah itu, terdapat 485.000 kontrak yang masih dalam proses persetujuan.
Sebelumnya Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo dalam pernyataannya resminya mengatakan sampai posisi 18 Mei 2020, OJK mencatat 95 bank telah mengimplementasikan restrukturisasi kredit. Sementara itu, untuk perusahaan pembiayaan posisi 26 Mei 2020, sudah direkapitulasi data dari 183 perusahaan pembiayaan atau multifinance.
Wimboh mengatakan jumlah restrukturisasi masih dinamis dan berubah seiring dengan proses restrukturisasi yang masih dilakukan oleh perbankan saat ini.
"Dengan asumsi, kalau 50% dan perbankan bilang antara 40% sampai 50%. Kredit UMKM direstrukturisasi, angkanya antara Rp 500 triliun sampai Rp 600 triliun," kata Wimboh dalam video conference, Jumat (15/5/2020).
Kendati demikian, dia mengatakan, jumlah kredit yang membutuhkan restrukturisasi cukup besar, tapi kemungkinan tidak semua membutuhkan penyangga likuiditas.
"Misalnya 50 persen restrukturisasi, jumlahnya Rp 500 triliun itu bukan berarti semua butuh penyangga likuiditas. Dan likuiditas yang disanggah itu hanya perhitungan pokok dan bunga. Misalnya dari April sampai Desember sekitar 9 bulan paling banyak itu sudah paling konservatif," jelas dia.
Sebelumnya OJK menyampaikan, terjadi perbedaan persepsi masyarakat karena kurangnya pemahaman sehingga ini menjadi kendala di lapangan dalam program restrukturisasi ini.
Selain itu, kendala lain yakni industri (baik bank maupun multifinance) yang masih berpedoman pada SOP (standard operational procedure) lama sehingga cenderung memakan waktu dan birokrasi.
Tak hanya itu, kendala datang dari adanya beberapa pemda yang menetapkan penundaan penagihan kredit dari ASN (aparatur sipil negara) dan pengemudi online (ojol) yang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan pembiayaan.
"Memang terjadi perbedaan antara masyarakat atau debitur dengan bank [dan multifinance] sehingga sering terjadi distorsi di lapangan. Maka kami sampaikan bahwa dalam restrukturisasi ini, covenant [ketentuan kredit] itu harus betul-betul bahwa kredit yang bisa direstrukturisasi yang tidak macet sebelum dampak Covid-19, kalau sudah macet ga bisa [ikut program restrukturisasi]," tegas Wimboh, Rabu (6/5/2020). (Im/CNBCIndonesia)