Senin, 14 Juli 2025
Beranda / Berita / Nasional / Pengajar BPIP Yusri dan Andrio Caesario Kupas Tuntas Intoleransi dan Premanisme, Simak!

Pengajar BPIP Yusri dan Andrio Caesario Kupas Tuntas Intoleransi dan Premanisme, Simak!

Senin, 14 Juli 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

CumiCumi.com mengundang dua narasumber nasionalis Andrio Caesario, Ketua Umum Barisan 8 Center sekaligus Pengajar BPIP, dan Yusri Kasim, Sekretaris Umum Lemhanas Aceh serta Pengajar Utama BPIP bahas aksi intoleransi dan premanisme. Foto: Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Indonesia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit intoleransi yang merusak fondasi kehidupan berbangsa. 

Penyerangan terhadap rumah ibadah dan pembubaran paksa kegiatan keagamaan yang terjadi di Cidahu dan Depok menandakan adanya krisis dalam kesadaran kolektif bangsa terhadap pentingnya menjaga keberagaman. 

Dalam Special Interview eksklusif bersama CumiCumi.com, dua narasumber nasionalis Andrio Caesario, Ketua Umum Barisan 8 Center sekaligus Pengajar BPIP, dan Yusri Kasim, Sekretaris Umum Lemhanas Aceh serta Pengajar Utama BPIP angkat bicara tegas dan terang.

Dalam membuka diskusi, Andrio Caesario menentang segala bentuk tindakan premanisme yang mengatasnamakan agama.

Menurutnya, agama mana pun tidak ada yang mengajarkan keburukan, apalagi kekerasan. Semua agama adalah jalan menuju kebaikan, kasih sayang, dan kemanusiaan.

Andrio mengungkapkan keprihatinannya atas aksi - aksi kekerasan terhadap pemeluk agama tertentu. Menurutnya, tindakan semacam ini lahir bukan karena agama, tetapi karena absennya pemahaman akan nilai ideologi bangsa

“Kalau kita tidak punya ideologi, kita seperti tidak memakai pakaian. Telanjang secara nilai. Dan itu memalukan,” ujarnya dilansir media dialeksis.com, Senin, 14 Juli 2025.

Ia menyamakan ideologi Pancasila sebagai pakaian bangsa. “Pancasila itu jati diri kita. Ia bukan sekadar lambang. Tapi fondasi yang membuat kita utuh sebagai bangsa. Jika itu kita lupakan, maka yang tersisa hanyalah kebencian dan kekacauan,” tambah Andrio.

Ia mendesak pemerintah untuk mengembalikan pelajaran kebangsaan sebagai materi wajib dari SD hingga perguruan tinggi. 

“Jangan hanya jargon Pancasila. Tapi implementasi nilai dan filosofinya harus masuk dalam keseharian masyarakat," ujarnya. 

Andrio lalu membagikan kisah nyata saat dirinya berkunjung ke bekas wilayah konflik di Poso, Sulawesi Tengah. Di sana, ia bertamu ke rumah seorang pendeta setempat dan meminta izin untuk melaksanakan salat maghrib. Hasilnya mengejutkan.

“Pak pendeta itu mempersilakan saya beribadah di mana saja. Bahkan dia bilang, ‘kami yang jamin keamanan bapak.’ Itu adalah contoh nyata bahwa jika pemerintah dan masyarakat sama-sama membina toleransi, bekas luka masa lalu bisa sembuh,” tutur Andrio.

Ia menegaskan bahwa apa yang terjadi hari ini bukan karena masyarakat Indonesia tidak toleran, tapi karena segilintir provokator yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan tertentu. 

“Mayoritas kita ini damai. Hanya saja suara yang kecil, yang keras, yang viral. Padahal mereka tidak mewakili kita," ujarnya. 



Berangkat dari kasus penyerangan rumah ibadah, Yusri Kasim, putra Aceh yang kini dipercaya menjadi pengajar utama di BPIP, mengangkat sisi yang lebih mendalam. Menurutnya, penyebab utama rentannya masyarakat terhadap isu agama adalah karena lemahnya ketahanan sosial.

“Kita ini mudah sekali terprovokasi. Begitu ada informasi yang belum tentu benar, langsung bereaksi berlebihan. Ini tanda bahwa ketahanan sosial kita rapuh. Kita belum selesai memahami esensi hidup dalam perbedaan,” kata Yusri.

Yusri menegaskan bahwa perbedaan adalah takdir yang Tuhan ciptakan. “Tuhan menciptakan siang dan malam. Kita tidak pernah memperdebatkannya. Tapi kenapa ketika berbeda keyakinan kita justru terjebak dalam konflik?” katanya.

Dalam pengamatannya, masyarakat cenderung masih menghakimi keyakinan orang lain, seolah apa yang diyakini kelompok sendiri adalah kebenaran absolut. 

“Ini berbahaya. Karena kita bukan hidup sendiri di negara ini. Dunia ini milik bersama. Setiap orang berhak hidup damai dalam keyakinannya masing-masing," ujarnya. 

Salah satu benang merah dalam diskusi malam itu adalah lemahnya edukasi Pancasila. Yusri menyebutkan bahwa sejak Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dihapuskan dari kurikulum, kesadaran ideologis bangsa perlahan tergerus.

“Anak muda sekarang banyak yang tidak paham butir-butir Pancasila. Mereka hanya dengar kata ‘Pancasila’, tapi tidak tahu bahwa di dalamnya ada nilai yang menolak segala bentuk kekerasan, penindasan, dan intoleransi,” ujar Yusri.

Yusri mengingatkan pentingnya supremasi hukum dalam menangani aksi-aksi intoleransi. negara tidak boleh kalah oleh tekanan massa.

“Kalau rumah ibadah dibubarkan karena tidak ada izin, itu bukan alasan untuk tindakan sepihak. Tugas pemerintah adalah memfasilitasi perizinan, bukan diam ketika warga main hakim sendiri,” tegas Yusri.

Menurut Yusri, setiap daerah memang punya peraturan lokal. Namun dalam prinsip hukum, ketika tidak ada larangan eksplisit, maka suatu tindakan tidak bisa serta-merta dianggap salah. 

"Beribadah adalah hak yang dijamin konstitusi. Negara wajib hadir untuk memastikan hak itu tidak dilanggar,” katanya.

Yusri, sebagai pengajar BPIP, mengakui bahwa tantangan lembaganya ke depan semakin berat. Apalagi di tengah era digital, di mana satu informasi bisa menyebar ke seluruh dunia dalam hitungan detik. 

“Kami harus lebih aktif menjangkau masyarakat. Tidak bisa hanya di kelas. Harus masuk ke kampung, ke media, ke komunitas,” ujarnya.

Ia pun mengingatkan pentingnya membentuk keetahanan digital. "Kalau dulu Bung Karno bilang, ‘beri aku 10 pemuda, akan kuguncang dunia’. Sekarang, cukup satu pemuda dan satu giga. Dunia terguncang,” ujarnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI