Pemerintah Pastikan Tunjangan Kinerja Dosen Tak Cair 2025, Kalangan Akademisi Kritik
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Teuku Kemal Fasya Dosen Unimal dan Firdaus Mirza Dosen USK. Foto: Kolase Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Aceh - Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) mengonfirmasi bahwa dana tunjangan kinerja (tukin) untuk dosen dan pegawai yang berada di bawah naungan kementerian tersebut tidak akan cair pada tahun 2025. Keputusan ini menimbulkan beragam reaksi, terutama dari kalangan akademisi yang menilai pemerintah belum serius memperjuangkan kesejahteraan dosen.
Merespon kebijakan berpolemik tersebut, Teuku Kemal Fasya, penulis dan dosen di Universitas Malikussaleh, memberikan pandangannya terkait isu ini. Menurutnya, kredibilitas Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dalam memperjuangkan kesejahteraan dosen sangat diragukan.
"PP no 27 tahun 2021 adalah janji negara yang harus ditunaikan, karena di kementerian lain Tukin ASN sudah dijalankan. Upaya menteri untuk mempersiapkan Perpres ini tidak boleh bertentangan dengan PP, jadi terlihat harmonisasinya berjalan," ujar Kemal kepada Dialeksis.com, Minggu (12/01/2025).
Ia juga menyoroti ketimpangan antara tunjangan dosen dan ASN di kementerian lain, khususnya di sektor keuangan dan pajak.
"Posisi ASN dosen masih inferior dibandingkan ASN kementerian, apalagi di keuangan dan pajak. Sayangnya, meskipun tukin ASN Keuangan dan Pajak lebih besar, itu tidak menjamin mereka lebih profesional atau kredibel," tambahnya.
Kemal juga menilai bahwa tidak ada upaya konkret dari Menteri Pendidikan Tinggi saat ini untuk meningkatkan profesionalitas dosen dan menutup gap antara dosen negeri dan swasta.
"Roadmap untuk meningkatkan profesionalitas dosen dan menutup kesenjangan antara dosen negeri dan swasta tidak ada di kementerian sekarang. Dibandingkan menteri sebelumnya yang bukan profesor, visinya tidak lebih baik. Mungkin sudah saatnya para dosen bersatu untuk memperjuangkan hak-haknya," tegas Kemal.
Senada dengan Kemal, Firdaus Mirza Nusuary, seorang ahli sosiologi dari Universitas Syiah Kuala, juga mengungkapkan kekesalannya atas keputusan pemerintah tersebut. Menurutnya, tidak cairnya tukin pada tahun 2025 mencerminkan kurangnya perhatian terhadap profesionalitas dan kesejahteraan dosen di Indonesia.
"Dosen adalah ujung tombak dalam dunia pendidikan, namun justru mereka yang sering kali terpinggirkan dalam hal kesejahteraan. Keputusan ini semakin menegaskan bahwa pemerintah tidak memberikan perhatian serius pada sektor pendidikan tinggi," katanya melalui komunikasi kepada Dialeksis.com.
Firdaus juga menyoroti bahwa kebijakan ini bisa berdampak pada motivasi dan kualitas pengajaran dosen.
"Jika kebijakan ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin akan ada penurunan kualitas pendidikan yang disebabkan oleh rendahnya motivasi dosen. Pemerintah harus segera mencari solusi agar tunjangan kinerja dapat dicairkan dan memberikan dampak positif bagi profesionalisme dosen," tambahnya.
“Keputusan pemerintah untuk tidak mencairkan tukin pada 2025 menjadi sorotan serius, terutama bagi para dosen yang selama ini berharap ada peningkatan kesejahteraan seiring dengan meningkatnya tuntutan dan tanggung jawab dalam dunia pendidikan tinggi,” jelasnya lagi.
Tidak hanya itu, pemikiran Firdaus lanjut menjelaskan menurunnya motivasi dosen ketika tukin tidak di cairkan, terganggunya proses pembelajaran, dan menurunnya kualitas pendidikan.
"dosen berada dalam posisi subordinasi dibandingkan kementerian yang memiliki kekuasaan atas alokasi dana. Ketidakcairan tunjangan ini dapat dilihat sebagai bentuk ketidakadilan struktural di mana pihak yang memegang kekuasaan (kementerian) mengontrol akses terhadap sumber daya ekonomi," tegasnya.
Dirinya semakin menegaskan lagi, ketika tunjangan kinerja tidak dicairkan, hal ini menunjukkan bagaimana kelompok elite (pengambil kebijakan) mungkin gagal memenuhi kebutuhan kelompok pekerja akademik.
"Ketidakcairan tunjangan kinerja dosen bukan hanya persoalan administratif atau teknis, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial yang kompleks. Dari stabilitas sistem, hinga ketidakmampuan negara mensejahterakan pendidik,"pungkasnya.