Beranda / Berita / Nasional / Pemerintah Kurangi Insentif Perpajakan Seiring Pulihnya Kegiatan Usaha di 2023

Pemerintah Kurangi Insentif Perpajakan Seiring Pulihnya Kegiatan Usaha di 2023

Senin, 30 Januari 2023 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah akan mulai mengurangi skala insentif perpajakan seiring pulihnya kondisi dunia usaha.

Seperti diketahui, saat pandemi Covid-19 melanda pada awal 2020, kondisi dunia usaha mengalami keterpurukan. Hal ini terjadi salah satunya karena adanya kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat.

“Sekarang kita lihat hampir semua pengusaha sudah kembali pulih dan sektor-sektornya sudah mulai pulih maka berbagai macam insentif itu kita turunkan skalanya,” tutur Sri Mulyani, Jumat (27/1/2023).

Dia mengatakan, pihaknya juga akan terus mendukung dan membuat kebijakan demi tercapainya realisasi investasi tahun ini yang ditargetkan Rp 1.400 triliun. 

Kementerian Keuangan akan tetap memberikan fasilitas tax allowance dan tax holiday yang sudah diatur dalam kriteria peraturan pemerintah.

Nantinya, sektor usaha yang inovatif dan merupakan sektor pionir hirilisasi akan diberikan support insentif tersebut. Selain itu, Sri Mulyani mengatakan, pihaknya juga akan menyiapkan segala fasilitas yang sesuai dengan aturan yang ada untuk mendukung dunia usaha terutama industri menufaktur agar berkembang pesat di Tanah Air.

“Begitu ada investor kalau tidak salah ada 16 kategori mereka akan dilihat oleh Kementerian investasi dan mereka akan menentukan bahwa investor yang memenuhi syarat untuk mendapatkan insentif,” tambahnya.

Sebelumnya, Direktorat Jendral Pajak (Ditjen Pajak) mengatakan pemerintah masih mempertimbangkan insentif pajak baru yang akan diberikan sebagai stimulus bagi dunia usaha pada tahun ini.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menambahkan, pihaknya akan berhati-hati dan menimbang dalam memberikan insentif yang ditanggung pemerintah (DTP). Menurutnya, setiap tahunnya pemerintah melakukan belanja perpajakan sebesar 1,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

“Tahun lalu di atas Rp 300 triliun. Mayoritas belanja perpajakan kita untuk sektor usaha baik yang UMKM maupun non UMKM. Kita lihat sektornya belanja perpajakan yang dinikmati oleh kalangan usaha adanya di sektor manufaktur ini bagus sekali,” kata Febrio.

Menurutnya, insentif yang diberikan pemerintah sejatinya akan mendorong sektor manufaktur agar lebih produktif lagi.

Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan, insentif perpajakan yang diberikan selama pandemi akan diberikan kepada pengusaha jika dirasa masih dibutuhkan. Akan tetapi jika sudah tidak diperlukan maka pemerintah tidak akan memperpanjang insnetif tersebut.

“Waktu tahun 2020 kemarin kan pandemi, ada insentif untuk mengungkit ekonomi. Kalau dirasa masih diperlukan akan dikasih. Tapi kalau dirasa sudah cukup scale down tidak akan dilanjut,” jelasnya.

Untuk diketahui, saat penyebaran pandemi Covid-19 masih tinggi yakni pada 2020 hingga 2022 pemerintah memberikan ragam insentif perpajakan bagi pengusaha dalam Program Pemulihan Ekonomi Nansional (PEN). 

Namun Suryo belum menjelaskan insentif dalam PEN mana yang akan dipertimbangkan untuk diperpanjang. 

Insentif tersebut di antaranya, insentif perpajakan diberikan dalam bentuk penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dari 25% menjadi 22%, serta skema insentif pajak lainnya bagi sektor industri yang terdampak pandemi.

Skema insentif pajak tersebut, antara lain PPh Pasal 21 DTP, PPh final UMKM DTP, pembebasan PPh Pasal 22 impor, pembebasan bea masuk, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, restitusi PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dipercepat, serta PPN atas sewa unit di mall DTP.

Selain itu, ada pula insentif untuk mendorong konsumsi kelas menengah, berupa Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) DTP untuk kendaraan bermotor dan PPN DTP untuk rumah.

Bahkan, setelah program PC-PEN berakhir pada 2022, kebijakan tarif PPh badan sebesar 22% tetap berlaku, termasuk insentif berupa batas peredaran bruto atau omzet tidak kena pajak senilai Rp 500 juta pada Wajib Pajak orang pribadi UMKM.

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda