Pelita Ingin Mbah Moen Jadi Pahlawan Nasional
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Semarang - Kalangan lintas Agama di Kota Semarang yang tergabung dalam Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) mendorong pemerintah RI agar mengangkat mendiang KH Maimun Zubair alias Mbah Moen sebagai Pahlawan Nasional.
Romo Aloysius Budi Purnomo, salah satu aktivis Pelita, mengatakan Mbah Moen memiliki jasa besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hingga akhir hayatnya, kata dia, Mbah Moen pun tetap mengajarkan nasionalisme dan patriotisme serta cinta NKRI kepada para santrinya dan seluruh masyarakat.
"Jasa perjuangan Mbah Moen sudah jelas. Sejarah bisa membuktikan bila Mbah Moen itu Tokoh Agama yang mengajarkan nasionalisme dan patriotisme kepada santri dan seluruh masyarakat. Sampai akhir hayat, beliau untuk NKRI. Jadi kami mendesak Presiden Jokowi keluarkan Kepres untuk menjadikan Mbah Moen sebagai Pahlawan Nasional," ujar Romo Aloysius dalam acara Doa Bersama 7 hari meninggalnya Mbah Moen yang digelar Pelita di Pastoran Johannes Maria Unika Sugiyopranoto Semarang, Senin (12/8/2019) malam.
Romo Aloysius mengatakan sepanjang hidupnya, Mbah Moen tidak pernah membenturkan Keindonesiaan dan Keislaman. Sebaliknya, kata dia, Mbah Moen justru menyatukan Islam dan Indonesia dalam perspektif Islam Nusantara.
"Ada aura sejuk di dalam diri Mbah Moen. Selama beberapa kali saya sowan bertatap muka, beliau selalu menyampaikan persatuan nasional, dengan kerukunan umat beragama. Soal Islam, beliau menyatukan Keislaman dan Keindonesiaan dalam perspektif Islam Nusantara," ujar Romo Aloysius Budi.
Hal senada juga disampaikan penghayat kepercayaan Trijaya, Bambang Permadi yang mengagumi sosok Mbah Moen meski belum pernah bertatap muka. Menurut Bambang, banyak ajaran yang didapat dari Mbah Moen yang mengajarkan kedamaian umat di Indonesia.
"Saya pribadi belum pernah bertemu langsung Mbah Moen. Tapi sangat mengagumi dari ajaran-ajarannya melalui banyak literasi. Jadi memang Mbah Moen sangat-sangat pantas jadi Pahlawan Nasional," kata Bambang.
Maimun Zubair wafat di Makkah, Arab Saudi di tengah persiapan akan menjalankan ibadah haji pada Selasa (6/8) sekitar pukul 04.17 waktu setempat.
Kiai sepuh Nahdlatul Ulama (NU) itu disalatkan di Masjidil Haram. Jenazahnya lalu dimakamkan di kompleks pemakaman tertua di Mekah, Al Ma'la, Makkah.
Mbah Moen lahir di Rembang pada 28 Oktober 1928, bertepatan saat Sumpah Pemuda diikrarkan. Dia adalah pimpinan pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang.
Mbah Moen merupakan putra Kiai Zubair, Sarang, seorang alim dan faqih. Ayahnya merupakan murid dari Syaikh SaÃd al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky.
Basis pendidikan agama Mbah Moen sangat kuat dipengaruhi dari orang tuanya. Dia meneruskan pendidikan mengajinya di Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan Kiai Abdul Karim. Selain itu, selama di Lirboyo, Mbah Moen juga mengaji kepada Kiai Mahrus Ali dan Kiai Marzuki.
Mbah Moen mulai belajar di Makkah pada usia 21 tahun. Saat itu dia didampingi oleh kakeknya sendiri, yakni Kiai Ahmad bin Syuaib.
Di Makkah, mbah Moen mengaji kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.
Mbah Moen juga mengaji ke beberapa ulama di Jawa. Beberapa di antaranya kepada Kiai Baidhowi, Kiai Ma'shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain.
Sepanjang hidupnya, Mbah Moen juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri. Di antaranya, kitab berjudul al-Ulama al-Mujaddidun.(CNN Indonesia)