Jum`at, 17 Oktober 2025
Beranda / Berita / Nasional / Pegiat Literasi Aceh Peringatkan Bahaya Hilangnya Kesantunan di Dunia Maya

Pegiat Literasi Aceh Peringatkan Bahaya Hilangnya Kesantunan di Dunia Maya

Kamis, 16 Oktober 2025 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Pegiat Literasi dan Budaya Aceh, Azhari. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di tengah derasnya arus digital, di mana setiap kata bisa melintasi benua dalam hitungan detik, muncul tantangan besar bagi umat manusia yaitu menjaga bahasa dan kebenaran.

Pegiat Literasi dan Budaya Aceh, Azhari menilai bahwa era digital telah mengubah cara manusia berinteraksi, berpikir, bahkan memaknai kebenaran itu sendiri.

“Dunia digital membuka ruang kebebasan, tapi kebebasan tanpa tanggung jawab hanya akan melahirkan kebisingan intelektual. Kita hidup di zaman di mana orang berlomba-lomba berbicara, tetapi sedikit yang mau mendengar. Banyak yang ingin terlihat benar, tapi enggan mencari kebenaran," ujarnya kepada wartawan dialeksis.com, Kamis (16/10/2025).

Menurutnya, bahasa adalah jantung dari kebudayaan. Dalam tradisi Aceh, tutur kata bukan hanya sekadar alat komunikasi, melainkan juga cermin moral dan nilai-nilai kehidupan.

“Ketika seseorang berbicara, lisannya memperlihatkan siapa dirinya. Itulah sebabnya, dalam budaya Aceh, ada cara menyapa, cara menegur, dan cara mengkritik. Semuanya diatur oleh adab,” jelasnya.

Namun kini, lanjut Azhari, media sosial telah mengaburkan batas-batas etika berbahasa. Banyak orang menulis tanpa berpikir, berbicara tanpa menimbang, dan mengkritik tanpa memahami.

“Bahasa kehilangan kesantunan karena kita lebih sibuk mengejar sensasi. Padahal, setiap kata yang kita tulis adalah doa sekaligus senjata. Ia bisa membangun, tapi juga bisa menghancurkan,” tuturnya.

Azhari menilai bahwa tantangan terbesar generasi digital bukan hanya pada kemajuan teknologi, melainkan pada degradasi moral yang lahir dari cara berbahasa dan berpikir. Menurutnya, bahasa dan kebenaran saling terkait erat.

 “Menjaga bahasa berarti menjaga peradaban, sedangkan menjaga kebenaran berarti menjaga hati nurani manusia,” ungkapnya.

Ia menambahkan, derasnya arus informasi yang tak terverifikasi di dunia maya kini telah menciptakan kabut kebenaran.

Fakta bercampur dengan opini, logika bercampur dengan emosi. Akibatnya, masyarakat mudah terprovokasi, bahkan kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih.

“Dulu kebenaran adalah sesuatu yang diperjuangkan. Sekarang, kebenaran bisa dikalahkan oleh algoritma. Islam mengajarkan kita untuk berkata benar walau pahit, tapi di dunia digital, banyak orang takut menyuarakan kebenaran karena takut kehilangan dukungan atau diserang balik," ujarnya.

Azhari mengatakan literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga kemampuan menimbang kebenaran dan menjaga tutur.

"Kita perlu menanamkan etika literasi digital di sekolah, di keluarga, bahkan di ruang publik. Dunia maya seharusnya jadi ruang belajar dan berdialog, bukan tempat mencaci atau menebar kebohongan,” ujarnya.

Ia menilai bahwa budaya menulis dan berbicara dengan santun adalah bagian dari identitas bangsa yang harus dijaga. Ketika masyarakat kehilangan adab berbahasa, maka yang hilang bukan hanya sopan santun, tetapi juga nilai kemanusiaan.

“Bahasa adalah identitas, dan kebenaran adalah arah. Bila keduanya hilang, maka hilanglah jati diri bangsa,” katanya.

Dalam refleksinya, Azhari mengingatkan generasi muda agar tidak larut dalam arus digital yang serba cepat dan dangkal. Ia mengajak agar setiap individu menjadi perahu yang mampu menavigasi ombak digital dengan hati, bukan dengan emosi.

“Kita harus menjadi generasi yang berpikir sebelum berbicara, membaca sebelum menilai, dan mencari kebenaran sebelum menghakimi. Bahasa yang santun akan melahirkan masyarakat yang beradab. Dan kebenaran yang dijaga akan melahirkan bangsa yang bermartabat,” pungkas Azhari. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI