Partai Demokrat Luruskan Sejarah Pembuatan Lambang dan Bendera Partai
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Polemik hak cipta merek dan logo Partai Demokrat terus menjadi pemberitaan hangat. Situasi ini ditanggapi oleh pendiri Partai Demokrat nomor 99, Steven Rumangkang guna mencegah kesimpangsiuran informasi.
Steven menjelaskan, bahwa dirinya terlibat langsung dengan sejarah pembuatan lambang dan bendera Partai Demokrat. Bahkan, Ia menjelaskan, ide dan gagasannya memang benar dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) waktu itu.
“Dalam proses pengerjaannya, saya memberi masukan ide, dibantu Ifan Pioh (pendiri no.30), dan kemudian disetujui mendiang Pak Vence Rumangkang,” ujar Steven dalam keterangannya, Rabu (14/4/2021).
Steven juga menuturkan, dirinya membuat serta menyempurnakan semua arahan dari SBY dalam bentuk teknis visual, sehingga terbentuk bintang segi tiga merah putih dengan latar belakang warna dasar biru dan biru muda serta tulisan Partai Demokrat di bawahnya seperti yang digunakan saat ini.
"Saya sendiri yang waktu itu turun tangan dalam kerja design grafis, dan sering berdiskusi langsung dengan mendiang Pak Vence Rumangkang," jelasnya.
Untuk menerjemahkan ide dari Pak SBY yang meminta agar logo partai dibuat seperti “bintang tiga”. Yang mana, pucuk atasnya menyimbolkan Nasionalis-Religius, sementara kaki pertama mewakili Humanisme dan kaki kedua mewakili Pluralisme, ujarnya.
"Agar tercipta logo Partai Demokrat yang genuine dan tidak menyerupai logo tertentu yang sudah ada, software yang saya gunakan Adobe Illustrator & Photoshop. Dan memakai Font Times New Roman yang lazim tersedia pada semua komputer. Sehingga memudahkan jika pengurus daerah nantinya ingin mencetak logo tersebut," jelasnya lagi.
Saat pertama kali didaftarkan ke Menkumham, logo bintang segi tiga milik Partai Demokrat itu masih dibingkai oleh bentuk Segi Lima dasar hitam yang juga merepresentasikan lima sila dalam Pancasila.
Selanjutnya menjelang Deklarasi 2002, Pak SBY merasa bahwa lambang dan pilihan warnanya masih belum optimal. Bingkai segi lima dihilangkan agar logo Bintang Segitiga terlihat lebih dinamis. Sementara tulisan Partai Demokrat, diletakkan di bawah logo Bintang Segitiga tanpa blok warna putih, dengan pilihan font Times New Roman dengan format huruf besar semua. Saat itu Pak SBY menyetujui.
Terkait dengan warna, Pak SBY memerintahkan untuk memasukkan unsur warna biru muda sebagai representasi warna biru Pasukan Penjaga Perdamaian Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dimana Pak SBY pernah bertugas sebagai Chief Military Observer di United Nation’s Peacekeeper Forces di Bosnia Herzegovina (1995-1996). Sementara, warna biru tua diminta oleh Pak SBY untuk diubah menjadi biru yang lebih terang.
"Saya ingat betul, arahan Pak SBY begitu detil dengan memberikan contoh warna biru yang beliau maksud adalah warna biru yang ada dalam bendera yang saat itu tengah dikibarkan di depan sebuah hotel di Jakarta Pusat, yang sering beliau lihat saat berkantor sebagai Menko Polhukam," tuturnya.
"Akhirnya, saya sendiri datang ke hotel tersebut, dan menanyakan langsung kepada pihak manajemen terkait warna biru terang. Setelah saya mendapatkan contoh kain dengan warna yang sesuai arahan Pak SBY tersebut, saya kemudian memerintahkan staf saya untuk mencari bahan dengan warna tersebut di Pasar Tanah Abang, agar bisa segera diproduksi cepat," jelasnya.
Steven menambahkan, awalnya kami berpandangan bahwa pilihan warna yang kaya dan beragam itu berpotensi memunculkan hambatan dalam proses cetak di daerah, yang umumnya saat itu masih menggunakan teknis sablon manual. Namun, saat kami utarakan pandangan tersebut, Pak SBY mengatakan “Tidak apa-apa, bendera negara-negara di Afrika saja sangat warna-warni”.
Mendengar arahan Pak SBY itu, kami sadar bahwa kekhawatiran kendala teknis percetakan sablon bukanlah hambatan untuk mengembangkan partai ini menjadi partai besar.
Selanjutnya, terkait proses pendirian partai, semula tim bersepakat membentuk tim 9 yang terdiri atas 9 orang pendiri. Tapi saat itu, aturan menyaratkan agar partai politik yang baru, dapat didirikan setidaknya oleh 50 orang. Lalu Bapak Vence Rumangkang memutuskan dari pada 50 orang, lebih baik kita buat menjadi 99 orang. Selain angka 99 adalah angka yang baik, angka ini juga memiliki ikatan emosional pada sosok Bapak SBY yang lahir pada 9 September 1949.
Atas ijin Tuhan YME, saat pertama kali mengikuti Pemilu 2004, Partai Demokrat juga mendapatkan nomor urut 9. Jadi, sejak awal, Partai Demokrat memang digagas, diinspirasi, dan dibesarkan oleh sosok Pak SBY dan Pak Vence Rumangkang. Wajar jika kami menganggap Pak SBY dan Pak Vence Rumangkang sebagai Founding Father Partai Demokrat.
Saya adalah putra kandung dari Pak Vence Rumangkang yang merupakan pelaku sejarah, dengan seluruh kesadaran saya menyatakan bahwa memang ide dan gagasan dari proses pembuatan logo, merek dan lambang Partai Demokrat, itu memang digagas oleh Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Beliau langsung memberikan arahan-arahan teknis secara langsung, secara detail, dan juga menerima saran dan masukan dari kami. Namun yang pasti, semua revisi dan perbaikan teknis lainnya, semua melalui persetujuan Pak SBY," katanya.
"Mengapa hal-hal ini perlu kami sampaikan? Karena di tengah situasi post-truth politics yang semakin menjadi-jadi dalam ruang demokrasi kita belakangan ini, maka poin-poin penjelasan di atas menjadi penting saya tegaskan, untuk meluruskan sejarah," jelasnya.
Di tengah post-truth politics, manipulasi sejarah bukanlah hal sulit untuk dilakukan. Sebab, di tengah menguatnya peyebaran hoax, fake news & hate speech, sebuah kebohongan yang diulang-ulang, bisa menjelma menjadi kebenaran yang baru.
Namun kita juga harus ingat, bahwa Partai Demokrat ini didirikan dengan prinsip dasar etika politik dan nilai-nilai berdemokrasi yang matang. Sehingga menjadi tugas kita semua, para anak bangsa pada umumnya dan para kader Partai Demokrat pada khususnya, untuk serius dan berkomitmen menjaga kebenaran dan keadilan bersikap dalam menghadapi berbagai dinamika. Yang benar akan menang, dan yang melawannya akan tumbang. Itulah rumus kehidupan yang patut kita teladani. (*)