DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pemerintah memperkuat komitmen menuntaskan tuberkulosis (TBC) pada 2030 dengan menyiapkan skema perlindungan sosial bagi pasien, terutama pekerja informal yang rentan kehilangan penghasilan akibat penyakit ini.
“Penanggulangan TBC tidak cukup hanya dari sisi medis, tapi juga ekonomi dan sosial,” ujar Wakil Menteri Kesehatan, dr. Benjamin P. Octavianus yang disapa dr Benny, dalam keterangan resmi yang diterima pada Selasa (4/11/2025).
Ia menekankan pentingnya pendekatan komprehensif, mulai dari deteksi dini, pendampingan pengobatan, hingga perlindungan sosial bagi pasien TBC.
Strategi yang tengah diperluas pemerintah antara lain active case finding, pemeriksaan dengan tes molekuler cepat, serta pendampingan pengobatan berbasis komunitas. Pendekatan ini juga terintegrasi dengan layanan gizi, HIV, dan penyakit kronis.
Selain itu, dr. Benny menegaskan, “Pasien TBC harus dijauhkan dari diskriminasi dan tetap mendapat akses layanan kesehatan hingga pengobatan tuntas.”
Perlindungan sosial akan diperkuat melalui kerja sama lintas kementerian. Kemenko PMK mengembangkan dashboard digital berbasis Analisis Kebijakan Mikro (AKM) untuk memantau kasus TBC dan stunting secara real-time.
Sementara itu, Menteri Koordinator PMK Pratikno menambahkan, Pendekatan digital ini memudahkan pemantauan program dan memastikan kebijakan berbasis data, termasuk larangan diskriminasi di tempat kerja dan kompensasi bagi pekerja informal.
Transformasi penanganan TBC juga mengadopsi sistem One Health, menghubungkan data kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan untuk mendeteksi penyakit menular lebih cepat.
Selain itu, pemerintah menekankan modernisasi kompetensi tenaga kesehatan dan integrasi Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) untuk memperkuat daya tahan tubuh generasi muda.
“Upaya ini adalah investasi untuk kualitas manusia Indonesia. Eliminasi TBC bukan hanya tentang kesehatan, tapi juga menjaga produktivitas dan masa depan bangsa,” tutup dr. Benny. [in]