Masa PPKM Darurat Habis, Pemerintah Diminta Kembali Pada UU
Font: Ukuran: - +
Penyekatan PPKM Darurat di Km 31 Tol Jakarta-Cikampek(Foto: KOMPAS.COM/STANLY RAVEL)
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali akan berakhir hari ini, Selasa (20/7). Namun, pemerintah belum memutuskan secara resmi langkah berikutnya, termasuk memperpanjang kebijakan tersebut.
Meski begitu, Epidemiolog dari Universitas Indonesia Hermawan Saputra menyarankan agar kebijakan PPKM Darurat tidak diperpanjang. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak efektif.
Ia mengatakan pemerintah harus kembali mengacu pada undang-undang yang ada terkait penanggulangan wabah. UU yang dimaksud oleh Hermawan adalah Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan Nomor 6 Tahun 2018.
"Seharusnya kita mengembalikan kepada UU itu sebagai acuan utama dan menjadi krusial ketika PPKM Darurat dinilai tidak efektif," ucap Hermawan.
Hermawan menilai kebijakan PPKM Darurat banyak yang bolong. Salah satunya, kebijakan itu absen dalam memberikan jaminan kebutuhan pada masyarakat yang rentan secara ekonomi.
Meski ada beberapa program bantuan sosial dari pemerintah, namun itu tidak masuk ke dalam kebijakan PPKM Darurat secara resmi. Sehingga, kata Hermawan, ada ketidakjelasan dalam implementasi.
"Ini pun banyak sekali keluhan di lapangan ini belum terealisasi padahal PPKM Darurat sudah berjalan dua pekan," ucap dia.
Berbeda dengan UU Kekarantinaan Kesehatan, Hermawan menyebut peraturan itu lebih baik. Sebab, dalam UU tersebut dikatakan setiap warga berhak mendapatkan jaminan kebutuhan selama karantina.
"Setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina," bunyi pasal 8 UU Kekarantinaan Kesehatan.
Hermawan menilai, itu menjadi salah satu pertimbangan kuat untuk diterapkannya UU Kekarantinaan Kesehatan. Ketimbang, memperpanjang PPKM Darurat.
"Kembali ke PSBB atau lockdown. Kalau PSBB sudah ada peraturan pemerintahnyanya (PP) nomor 21 tahun 2020 juga ada kewajiban juga memperkuat ekonomi lemah," jelas Hermawan.
Selain itu, Hermawan juga menjelaskan, UU Kekarantinaan sudah melewati tahapan kajian, penelitian, policy brief dan juga sudah melewati uji publik. Sehingga, jelas secara hukum.
Secara kedudukan, UU lebih kuat karena dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden. Sehingga, implementasi kebijakan juga akan menjadi jelas.
Berbeda dengan PPKM Darurat, Hermawan menyebut kebijakan tersebut lemah secara hukum. Sebab, kebijakan itu dikeluarkan oleh menteri.
Imbasnya, implementasi sulit direalisasikan dengan baik. Hermawan menilai, kebijakan tersebut tak seketat dan sedetil UU Kekarantinaan Kesehatan
"Ya memang PPKM darurat tidak memberi ruang cukup kuat ya untuk implementasi di lapangan," ucapnya.
"PPKM ini kan dasar hukumnya agak lemah juga ya karena Instruksi Menteri dalam Negeri," imbuhnya.
Terkait itu, Hermawan mengatakan pemerintah harus berani memutuskan kembali pada UU yang ada. Ia mengatakan hal itu harus dilakukan demi memutus mata rantai Covid-19
"Kebijakan itu kan semacam obat pengendalian, yang harusnya dikembalikan pada UU Kekarantinaan wilayah. Jangan mencari obat yang justru tidak pernah dilakukan uji terhadap obat itu," ucapnya.
"Tentu dari perspektif epidemiologi, karantina wilayah sangat efektif memutus rantai Covid-19. Tetapi memang pemerintah harus siap memberikan bantuan dan dukungan, perlindungan pada masyarakat kecil, yang lemah," pungkasnya. (CNN Ind)