Selasa, 15 Juli 2025
Beranda / Berita / Nasional / Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Kritisi Nikah Massal Harus Diiringi Konseling dan Pendampingan

Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Kritisi Nikah Massal Harus Diiringi Konseling dan Pendampingan

Selasa, 15 Juli 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Teuku Nurfaizil, mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Program Studi Hukum Keluarga. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Program pernikahan massal yang digagas Kementerian Agama Republik Indonesia di Masjid Istiqlal Jakarta menuai respons beragam dari berbagai kalangan.

Di satu sisi, program ini mendapat apresiasi karena dinilai membuka akses legalitas bagi pasangan tak mampu. Namun di sisi lain, sejumlah pihak mengingatkan agar jangan sampai seremoni besar ini justru melupakan substansi pernikahan itu sendiri.

Teuku Nurfaizil, mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Program Studi Hukum Keluarga menilai bahwa negara perlu mengevaluasi orientasi program pernikahan massal yang saat ini lebih menekankan pada aspek legalitas administratif semata, tanpa memperhatikan kesiapan emosional, psikologis, dan ekonomi pasangan yang menikah.

“Pernikahan bukan sekadar akad, bukan pula soal mahar dan resepsi. Ia adalah komitmen seumur hidup. Tapi ketika pernikahan dijadikan seremoni massal, apakah kita masih mengingat makna yang paling dalam dari sebuah ikatan pernikahan?” ujar Nurfaizil kepada Dialeksis.com, Selasa (15/7/2025).

Program pernikahan massal yang diadakan Kemenag di Istiqlal telah menarik minat publik secara masif. Tercatat ribuan pasangan mendaftar, meski hanya 100 pasangan yang lolos seleksi administratif.

Negara membiayai seluruh rangkaian pernikahan, termasuk makeup, penginapan satu malam, mahar, dan modal usaha sebesar Rp2,5 juta per pasangan.

Tujuan mulianya adalah membantu masyarakat yang selama ini terhalang menikah secara sah akibat persoalan ekonomi.

Namun, menurut Nurfaizil, langkah ini belum menyentuh akar permasalahan rumah tangga di Indonesia. Data Mahkamah Agung menyebutkan bahwa lebih dari 400 ribu kasus perceraian terjadi sepanjang tahun 2024.

Ironisnya, mayoritas perceraian tersebut bukan karena hubungan tidak sah secara hukum, melainkan akibat konflik internal, ketidaksiapan mental, dan tekanan ekonomi setelah pernikahan berlangsung.

Tak hanya itu, data dari Komnas Perempuan menunjukkan peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), terutama yang menimpa perempuan dari keluarga miskin. Ini mempertegas bahwa legalitas tidak serta-merta menjamin ketahanan rumah tangga.

“Negara tampaknya terlalu sibuk memfasilitasi akad nikah, tapi lupa bahwa rumah tangga tak hanya dibangun dengan ijab kabul. Ia butuh fondasi yang kuat pemahaman, kedewasaan, kesetaraan, dan keadilan,” jelas Nurfaizil.

Nurfaizil menekankan bahwa orientasi program pernikahan massal perlu bergeser dari seremoni menuju substansi. Negara, melalui Kementerian Agama, perlu lebih fokus pada kualitas keluarga yang terbentuk, bukan sekadar kuantitas pernikahan yang tercatat.

Ia mengusulkan dua strategi utama yang menurutnya mendesak dilakukan reformasi pendidikan pranikah dan transformasi fungsi KUA

Kurikulum bimbingan pernikahan perlu diperluas. Tak cukup hanya menyentuh aspek syariat, tetapi juga mencakup pelatihan komunikasi pasangan, manajemen konflik, literasi ekonomi, dan penguatan relasi setara dalam rumah tangga.

“Selama ini bimbingan pernikahan hanya formalitas menjelang akad. Harusnya bersifat bertahap, kontekstual, dan berbasis komunitas,” tegasnya.

Mernurutnya, KUA tidak cukup hanya menjadi pencatat nikah. Sudah saatnya dikembangkan menjadi pusat konseling keluarga, layanan mediasi konflik rumah tangga, bahkan pusat perlindungan bagi korban KDRT.

“Kalau KUA hanya mencatat dan menikahkan, maka ia hanya hadir di awal. Tapi ketika keluarga mulai goyah, negara seringkali absen. Padahal di situlah titik kritisnya,” lanjut Nurfaizil.

Nurfaizil menekankan bahwa dirinya tidak menolak program pernikahan massal. Justru ia melihat program ini sebagai langkah awal yang baik dalam membuka akses legalitas bagi masyarakat miskin. Namun, ia menolak romantisasi kemiskinan yang dibalut dengan simbolisme agama.

“Apakah pernikahan massal ini menyelesaikan akar persoalan keluarga kita, atau justru menjadi pintu masuk pernikahan yang rapuh dan tidak siap menghadapi realitas?” tanyanya.

Ia juga menyoroti tren menurunnya angka pernikahan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya, ini bukan semata karena generasi muda takut menikah, tapi karena mereka melihat betapa beratnya tanggung jawab membangun rumah tangga di tengah krisis ekonomi dan sosial.

Nurfaizil menegaskan bahwa sudah saatnya negara hadir secara utuh, tidak hanya pada saat ijab kabul diucapkan, tapi juga dalam dinamika kehidupan rumah tangga yang kompleks.

“Pernikahan adalah ruang tumbuh bersama, bukan sekadar status hukum. Negara harus hadir untuk memastikan bahwa pasangan yang menikah benar-benar siap, mampu bertumbuh, dan saling menguatkan. Barulah pernikahan menjadi jalan menuju keadilan, bukan sumber luka baru,” tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI